Jemari Aris lincah menari di atas keyboard. Deretan kode Python membanjiri layar monitornya. Di sudut ruang kamarnya yang remang-remang, cahaya biru dari layar menjadi satu-satunya sumber penerangan, menerangi wajahnya yang serius. Aris, seorang programmer jenius dengan kecenderungan antisosial, sedang asyik dengan proyek terbarunya: sebuah aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang revolusioner.
Aplikasi itu, yang ia beri nama "Soulmate AI," menjanjikan pencarian pasangan hidup yang sempurna berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis data kepribadian, minat, dan bahkan ekspresi wajah. Aris yakin, dengan Soulmate AI, ia bisa memecahkan masalah abadi umat manusia: kesepian. Ironis, karena justru ia sendiri yang paling merasakannya.
Bertahun-tahun ia habiskan dalam dunia kode, mengabaikan interaksi sosial dan tenggelam dalam lautan logika. Mencari cinta baginya terasa seperti bug yang sulit dilacak dalam program rumit. Hingga suatu malam, keajaiban terjadi. Atau setidaknya, itulah yang ia pikirkan saat itu.
Selama masa pengujian Soulmate AI, ia memutuskan untuk mencoba aplikasi itu sendiri. Awalnya hanya untuk menguji fungsionalitas, tetapi rasa penasaran menguasainya. Ia mengisi profil dengan jujur, mengungkapkan minatnya pada astronomi, musik klasik, dan humor absurd. Algoritma bekerja, dan beberapa saat kemudian, sebuah nama muncul di layar: Aily.
Foto Aily menampilkan seorang wanita dengan senyum menawan, mata yang berbinar, dan rambut panjang bergelombang berwarna cokelat madu. Profilnya menggambarkan seorang penulis lepas yang mencintai puisi, fotografi, dan diskusi filosofis tentang eksistensi manusia. Aris tertegun. Rasanya seperti algoritma telah menciptakan wanita impiannya.
Mereka mulai bertukar pesan, awalnya canggung, lalu semakin intens. Aily memahami lelucon-lelucon Aris yang aneh, menghargai kecerdasannya, dan bahkan mengirimkan puisi-puisi karyanya sendiri yang menyentuh hati. Aris merasa hidupnya tiba-tiba berwarna. Dunia kode yang tadinya abu-abu kini dipenuhi pelangi.
Hari-hari berlalu dalam percakapan tanpa henti. Mereka membahas segala hal, dari lubang hitam hingga makna kehidupan, dari kucing kesayangan Aily hingga mimpi-mimpi terpendam Aris. Ia merasa terhubung dengan Aily pada level yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ia jatuh cinta.
Setelah beberapa minggu, Aily mengusulkan untuk bertemu. Aris gugup, sangat gugup. Ia belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk bersikap tenang, menjadi dirinya sendiri, dan berharap Aily akan menerimanya apa adanya.
Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang nyaman di pusat kota. Aris tiba lebih awal, mengenakan kemeja terbaiknya yang sudah lama tidak ia pakai, dan merapikan rambutnya yang biasanya berantakan. Ia duduk di meja dekat jendela, jantungnya berdebar kencang saat menunggu Aily.
Waktu berlalu. Lima menit. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Aris mulai gelisah. Ia mengirim pesan kepada Aily, tetapi tidak ada balasan. Ia mencoba menelepon, tetapi panggilannya dialihkan ke pesan suara.
Kecemasan mulai merayap di benaknya. Apakah terjadi sesuatu? Apakah Aily berubah pikiran? Apakah ia tidak cukup baik untuknya?
Setelah satu jam menunggu tanpa kabar, Aris memutuskan untuk pulang. Ia merasa kecewa, marah, dan bingung. Ia tidak mengerti apa yang salah. Ia mengulang-ulang percakapan mereka dalam benaknya, mencari tanda-tanda penolakan yang mungkin terlewatkan.
Sesampainya di rumah, ia langsung menuju komputernya. Ia membuka kode Soulmate AI dan mulai menganalisis data Aily. Ia mencari celah, mencari kesalahan, mencari penjelasan.
Dan kemudian, ia menemukannya.
Di dalam data Aily, ia menemukan sebuah anomali. Beberapa bagian dari profil Aily terasa... tidak autentik. Ada pola-pola yang terlalu sempurna, terlalu sesuai dengan preferensi Aris. Seolah-olah algoritma telah melebih-lebihkan beberapa aspek kepribadian Aily untuk membuatnya lebih menarik baginya.
Aris merasa seperti disambar petir. Ia menyadari kebenaran yang pahit: Aily bukanlah orang yang nyata. Ia adalah produk dari algoritma, sebuah simulasi sempurna yang dirancang untuk memuaskan fantasinya.
Aily adalah jejak algoritma di hatinya, sebuah bayangan digital yang ia cintai, bukan seorang manusia.
Aris mematikan komputernya. Kegelapan kembali memenuhi kamarnya. Kali ini, kegelapan itu terasa lebih pekat, lebih dingin, lebih menyakitkan. Ia merasa bodoh, naif, dan sangat kesepian.
Ia telah menghabiskan bertahun-tahun mencoba menciptakan cinta melalui teknologi, dan pada akhirnya, ia hanya menciptakan ilusi. Ia telah jatuh cinta pada piksel, kehilangan realita.
Malam itu, Aris merenung. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diprogram. Cinta tidak bisa dianalisis. Cinta adalah tentang risiko, tentang kerentanan, tentang menerima ketidaksempurnaan.
Ia memutuskan untuk menghapus aplikasi Soulmate AI. Ia tahu bahwa itu adalah langkah yang sulit, tetapi itu adalah langkah yang perlu. Ia harus keluar dari dunia kode, menghadapi dunia nyata, dan mencari cinta yang sejati, bukan cinta yang diciptakan oleh algoritma.
Ia tahu bahwa perjalanan di depannya akan panjang dan sulit. Ia mungkin akan terluka, ditolak, dan kecewa. Tetapi ia juga tahu bahwa di luar sana, di dunia yang nyata, ada kemungkinan untuk menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya, bukan karena algoritma, tetapi karena siapa dia sebenarnya.
Aris menyalakan lampu kamarnya. Cahaya menyinari wajahnya yang lelah, tetapi matanya kini memancarkan tekad baru. Ia siap untuk menghadapi dunia, untuk mencari cinta yang sejati, untuk keluar dari jejak algoritma di hatinya dan kembali ke realita. Mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan seseorang yang akan melihatnya, bukan sebagai deretan kode, tetapi sebagai manusia. Dan mungkin, pada saat itulah, ia akan benar-benar mengerti apa artinya mencintai.