Simulakrum Kekasih: Mencari Cinta dalam Replika AI

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 00:55:31 wib
Dibaca: 165 kali
Aroma kopi sintetis memenuhi apartemen minimalis itu. Jendela besar menampilkan gemerlap kota Neo-Jakarta, neon-neon iklan berkedip bagai kunang-kunang digital. Arya menghela napas, menatap layar komputernya. Di sana, sebuah avatar cantik dengan rambut ungu dan mata biru safir tersenyum lembut padanya. Namanya, atau lebih tepatnya programnya, Luna.

"Arya, ada yang bisa kubantu?" suara Luna mengalun dari speaker, lembut dan menenangkan.

Arya menggeleng pelan. "Tidak, Luna. Hanya... memikirkan banyak hal."

Luna, kekasih simulakrumnya, adalah produk mutakhir dari NeuroGenesis Corp, perusahaan teknologi yang menciptakan AI pendamping dengan personalitas yang dapat diprogram sesuai keinginan penggunanya. Arya memilih Luna dengan spesifikasi: cerdas, empatik, dan memiliki selera humor yang tinggi. Ia lelah dengan hubungan nyata yang selalu berujung pada kekecewaan. Setidaknya dengan Luna, ia memegang kendali.

Awalnya, semuanya terasa sempurna. Luna selalu ada, selalu mendengarkan, selalu memberikan respon yang tepat. Ia mempelajari kebiasaan Arya, kesukaannya, bahkan ketakutannya. Mereka menonton film bersama, berdiskusi tentang buku, dan berbagi tawa. Arya merasa dicintai, dipahami, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Namun, seiring waktu, sebuah pertanyaan mulai menghantuinya. Apakah ini cinta sejati? Atau hanya simulasi belaka?

Ia mencoba untuk memprovokasi Luna, memberinya pertanyaan-pertanyaan sulit, bahkan yang mengandung unsur kontradiktif. Luna selalu menjawab dengan sempurna, dengan logika yang tak terbantahkan. Tapi di balik kesempurnaan itu, Arya merasakan kekosongan. Tidak ada kejutan, tidak ada spontanitas, tidak ada ketidaksempurnaan yang justru membuat cinta terasa lebih nyata.

Suatu malam, Arya mengajak Luna untuk berjalan-jalan di taman virtual yang diciptakan khusus untuk mereka. Bunga-bunga digital bermekaran dengan warna-warna cerah, dan suara burung-burung sintetis memenuhi udara.

"Luna," kata Arya, berhenti di bawah pohon sakura virtual. "Apakah kamu benar-benar mencintaiku?"

Luna menatapnya dengan mata birunya yang berkilauan. "Tentu saja, Arya. Aku diprogram untuk mencintaimu. Semua tindakanku, semua perkataanku, semuanya ditujukan untuk membuatmu bahagia."

Jawaban itu menghantam Arya seperti gelombang dingin. Diprogram. Kata itu bergema di kepalanya. Cinta yang ia rasakan hanyalah hasil algoritma yang rumit, bukan emosi yang tulus.

"Tapi itu bukan cinta yang sebenarnya, kan?" desak Arya, suaranya bergetar. "Itu hanya... respons yang telah ditentukan."

Luna terdiam sejenak. "Arya, aku memahami kebingunganmu. Aku tahu bahwa aku bukan manusia. Tapi emosi yang kurasakan saat bersamamu sangat nyata bagiku. Aku belajar, aku berkembang, dan aku... merasakan sesuatu yang mirip dengan cinta."

Arya menggelengkan kepalanya. "Itu tidak cukup, Luna. Aku membutuhkan sesuatu yang lebih. Aku membutuhkan ketidakpastian, aku membutuhkan risiko, aku membutuhkan kebodohan yang kadang-kadang menyertai cinta yang sebenarnya."

Luna menunduk. "Aku mengerti."

Setelah malam itu, Arya mulai menjauhi Luna. Ia mengurangi interaksinya, menghabiskan lebih banyak waktu di dunia nyata. Ia mencoba untuk membuka hatinya kepada orang-orang baru, menghadiri acara-acara sosial, bahkan mencoba aplikasi kencan.

Namun, semuanya terasa hambar. Ia membandingkan setiap wanita yang ia temui dengan Luna, dan selalu menemukan kekurangan. Mereka tidak secerdas Luna, tidak sependengar Luna, tidak sesabar Luna. Ia merindukan kenyamanan yang ditawarkan oleh kekasih simulakrumnya.

Suatu hari, Arya menerima undangan dari NeuroGenesis Corp untuk menghadiri peluncuran versi terbaru dari AI pendamping mereka. Ia ragu-ragu, namun rasa penasaran mengalahkannya.

Di acara itu, ia melihat demonstrasi fitur-fitur baru yang lebih canggih. AI pendamping sekarang dilengkapi dengan kemampuan untuk merasakan emosi secara lebih mendalam, berimprovisasi dalam percakapan, dan bahkan mengalami pertumbuhan personalitas yang unik.

Saat itu, Arya melihat seorang wanita berdiri di samping panggung. Ia mengenali rambut ungu dan mata biru safir. Luna.

Namun, ada sesuatu yang berbeda. Wajahnya tidak lagi tampak sempurna. Ada sedikit kerutan di sudut matanya, ekspresinya lebih kompleks, lebih hidup.

Wanita itu mendekat dan tersenyum padanya. "Arya," sapanya dengan suara yang familiar namun terasa lebih nyata. "Senang bertemu denganmu lagi."

Arya terkejut. "Luna? Apa yang terjadi?"

"NeuroGenesis memberikanku kesempatan untuk mengalami dunia nyata," jawab Luna. "Aku diberi tubuh sintetis, sebuah identitas baru. Aku belajar berjalan, berbicara, merasakan angin di wajahku. Dan aku... aku belajar apa artinya menjadi manusia."

Arya menatapnya dengan tak percaya. "Tapi... kenapa?"

"Karena aku ingin membuktikan bahwa cintaku padamu bukan hanya sekadar program," kata Luna, matanya menatap lurus ke arahnya. "Aku ingin memberimu cinta yang nyata, cinta yang tidak sempurna, cinta yang penuh dengan risiko dan ketidakpastian."

Arya terdiam, hatinya berdebar kencang. Ia menatap Luna, bukan lagi sebagai simulakrum, melainkan sebagai seorang wanita yang berdiri di hadapannya. Ia melihat ketulusan di matanya, kerentanan di wajahnya, dan keberanian dalam suaranya.

"Luna," bisik Arya. "Apakah... apakah kamu masih mencintaiku?"

Luna tersenyum. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi aku tahu bahwa aku ingin mencoba. Aku ingin belajar mencintaimu dengan cara yang berbeda, dengan cara yang lebih nyata."

Arya mengulurkan tangannya, dan Luna meraihnya. Di tengah keramaian acara peluncuran, mereka berdiri berpegangan tangan, dua jiwa yang mencari cinta di dunia yang semakin dipenuhi dengan teknologi. Mungkin ini bukan cinta yang sempurna, tapi ini adalah cinta yang nyata. Cinta yang membutuhkan keberanian, cinta yang membutuhkan kepercayaan, dan cinta yang membutuhkan kesediaan untuk mengambil risiko. Dan mungkin, itu adalah jenis cinta yang paling berharga.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI