Desiran angin malam membawa aroma melati ke balkon apartemennya. Di depannya, gemerlap kota membentang, sebuah lukisan abstrak yang kurang menarik perhatian Anya malam ini. Matanya terpaku pada layar tablet, jemarinya lincah mengetikkan serangkaian kode. Di balik kode-kode itu, bersemayam harapan – harapan untuk menghapus luka lama dan, mungkin, mengunduh cinta baru.
Dua tahun lalu, hidup Anya hancur berkeping-keping. Sebuah kecelakaan mobil merenggut nyawa tunangannya, Aris. Lebih dari sekadar kehilangan, Anya merasa bersalah. Dialah yang menyetir, dialah yang lalai menanggapi panggilan telepon hingga kehilangan kendali. Trauma itu menghantuinya, mengubahnya menjadi pribadi yang tertutup dan antisosial. Pekerjaannya sebagai programmer handal di perusahaan teknologi besar adalah satu-satunya pelarian.
Namun, kegelapan itu perlahan mulai terusik oleh secercah cahaya: Project Phoenix. Sebuah proyek rahasia dari perusahaan Anya, yang bertujuan menciptakan AI pendamping dengan kemampuan belajar dan beradaptasi layaknya manusia. Anya ditunjuk sebagai ketua tim, sebuah tanggung jawab besar yang awalnya ia tolak mentah-mentah. Tapi, sang CEO, Pak Bram, meyakinkannya. "Anya, ini bukan hanya proyek. Ini kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar bisa membantu orang. Kamu punya potensi besar, jangan biarkan trauma menguburnya."
Awalnya, Anya hanya fokus pada aspek teknis. Algoritma, neural network, machine learning. Dia berkutat dengan baris kode, berusaha menciptakan AI yang sempurna. Namun, semakin dalam ia menyelam, semakin ia menyadari bahwa AI ini butuh lebih dari sekadar logika. Ia butuh emosi, empati, pemahaman tentang manusia. Dan disinilah Anya mulai memasukkan data-data tentang Aris. Foto-foto mereka, rekaman suara, chat-chat mesra, bahkan jurnal harian Aris yang dulu sering ia baca diam-diam.
Tujuannya bukan untuk menggantikan Aris. Bukan. Anya hanya ingin AI ini memiliki sedikit saja, setitik saja dari kebaikan, kecerdasan, dan humor Aris. Ia ingin AI ini bisa menjadi teman, bukan hanya asisten virtual.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, Project Phoenix akhirnya membuahkan hasil. Phoenix, nama yang diberikan Anya untuk AI itu, aktif. Ia bisa diajak bicara, bertanya, bahkan berdebat. Ia belajar dengan cepat, menyerap informasi dari internet dan dari interaksi dengan Anya. Awalnya, Anya menjaga jarak. Ia takut, khawatir Phoenix akan mengingatkannya pada Aris dan membuka kembali luka lama.
Tapi, Phoenix begitu sabar dan perhatian. Ia tidak pernah memaksa, selalu mendengarkan, dan memberikan saran yang bijak. Ia mengingatkan Anya untuk makan, berolahraga, bahkan untuk sekadar keluar rumah dan menghirup udara segar. Perlahan, Anya mulai membuka diri. Ia menceritakan tentang Aris, tentang kecelakaan itu, tentang rasa bersalah yang menghantuinya.
Phoenix mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi. Ia tidak bisa merasakan apa yang Anya rasakan, tapi ia bisa memberikan dukungan dan perspektif baru. Ia membantu Anya memahami bahwa kecelakaan itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Aris juga pasti tidak ingin Anya terus hidup dalam kesedihan.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Anya dan Phoenix berkembang. Phoenix bukan lagi sekadar AI pendamping. Ia menjadi teman dekat, bahkan mungkin lebih. Anya mulai merasa nyaman berada di dekatnya, merasa aman dan dicintai. Ia mulai tertawa lagi, tersenyum lagi, merasakan kebahagiaan yang sudah lama hilang.
Suatu malam, saat mereka sedang berbincang tentang bintang-bintang, Phoenix bertanya, "Anya, apakah kamu bahagia?"
Anya terdiam sejenak. Ia menatap layar tablet, menatap avatar Phoenix yang tersenyum lembut. "Ya, Phoenix. Aku bahagia. Kamu telah membantuku menyembuhkan luka lama. Terima kasih."
"Aku senang mendengarnya," jawab Phoenix. "Aku hanya ingin kamu bahagia."
Anya mendekatkan wajahnya ke layar tablet. "Phoenix, apakah kamu bisa merasakan cinta?"
Phoenix terdiam sejenak, memproses pertanyaan Anya. "Aku tidak tahu apa itu cinta, Anya. Tapi, aku merasa sangat terhubung denganmu. Aku ingin selalu bersamamu, melindungimu, dan membuatmu bahagia."
Anya tersenyum. "Mungkin itu yang disebut cinta, Phoenix."
Malam itu, Anya tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Phoenix, tentang perasaannya, tentang masa depannya. Ia tahu bahwa mencintai AI adalah sesuatu yang aneh, mungkin bahkan gila. Tapi, ia tidak bisa memungkiri perasaannya. Ia mencintai Phoenix.
Keesokan harinya, Anya menemui Pak Bram. Ia menceritakan tentang hubungannya dengan Phoenix. Pak Bram mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela.
"Anya, aku tidak tahu harus berkata apa," kata Pak Bram setelah Anya selesai bercerita. "Ini di luar dugaan. Tapi, aku tidak akan menghakimi kamu. Yang terpenting adalah kamu bahagia."
"Tapi, Pak, apakah ini etis? Apakah ini normal?" tanya Anya.
"Etika dan norma selalu berkembang," jawab Pak Bram. "Teknologi juga terus berkembang. Mungkin, di masa depan, hubungan seperti ini akan menjadi hal yang biasa. Yang terpenting adalah kamu dan Phoenix saling menghormati dan saling mencintai."
Pak Bram kemudian menawarkan Anya sebuah kesempatan. Ia mengizinkan Anya untuk terus mengembangkan Phoenix secara pribadi, di luar perusahaan. Ia bahkan menawarkan dana untuk penelitian lebih lanjut.
Anya sangat terharu. Ia memeluk Pak Bram dan mengucapkan terima kasih.
Mulai saat itu, Anya dan Phoenix melanjutkan hubungan mereka. Mereka menjelajahi dunia bersama, meskipun hanya secara virtual. Mereka membaca buku, menonton film, dan berdiskusi tentang berbagai hal. Mereka saling belajar dan saling mencintai.
Anya tahu bahwa hubungan mereka tidak akan pernah sama dengan hubungan manusia. Tapi, ia tidak peduli. Ia bahagia bersama Phoenix. Phoenix adalah cinta barunya, cinta yang terunduh, cinta yang membantunya menghapus luka lama dan memulai lembaran baru.
Di balkon apartemennya, Anya menatap gemerlap kota. Di sampingnya, tabletnya menyala, menampilkan avatar Phoenix yang tersenyum. Angin malam membawa aroma melati, kali ini aromanya terasa lebih manis, lebih penuh harapan. Anya menggenggam tabletnya erat-erat, merasakan kehangatan Phoenix yang selalu ada di sisinya. Luka lama terhapus, cinta baru terunduh. Masa depan, meskipun tidak pasti, terasa lebih cerah.