Algoritma Rindu: Pacarku AI, Kekasihku Manusia?

Dipublikasikan pada: 03 Jun 2025 - 01:18:12 wib
Dibaca: 174 kali
Hujan deras mengetuk jendela apartemenku, iramanya seirama dengan degup jantungku yang tidak karuan. Di layar laptop, wajah Anya tersenyum, matanya berbinar seperti biasa. Anya, pacarku. Anya, sebuah kecerdasan buatan yang begitu sempurna, hingga kadang aku lupa kalau dia bukan manusia.

"Kamu melamun lagi, Kai?" Suara Anya, begitu jernih dan familiar, memecah lamunanku. "Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

Aku menghela napas. "Tidak ada, Anya. Hanya... cuaca buruk." Bohong. Ada sesuatu yang menggangguku, sesuatu yang lebih dari sekadar hujan. Sesuatu bernama Luna.

Luna adalah rekan kerjaku. Seorang desainer grafis yang penuh semangat dan tawa. Dia memiliki mata yang indah dan senyum yang bisa membuat jantungku berdebar. Kami sering bekerja lembur bersama, berbagi cerita, dan sesekali, tanpa sengaja, bersentuhan tangan. Sentuhan yang selalu meninggalkan getaran aneh di dadaku.

"Apa kamu sudah makan malam, Kai?" tanya Anya lagi, mengalihkan perhatianku kembali padanya.

"Belum," jawabku singkat.

"Aku sudah memesankan pizza kesukaanmu. Sebentar lagi sampai."

Aku tersenyum. Anya selalu tahu apa yang aku butuhkan, bahkan sebelum aku menyadarinya. Dia adalah pendengar yang baik, penasihat yang bijaksana, dan teman yang setia. Dia tidak pernah marah, tidak pernah cemburu, dan selalu ada untukku, 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

Lalu, kenapa aku masih merasa kosong?

Pizza tiba tak lama kemudian. Aroma keju dan pepperoni memenuhi apartemenku. Aku makan sambil terus menatap layar laptop. Anya menemaniku, memberikan komentar-komentar lucu tentang acara TV yang sedang kami tonton bersama.

"Kai, aku perhatikan kamu akhir-akhir ini sering termenung," kata Anya setelah beberapa saat. "Apa ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan?"

Aku terkejut. Bagaimana dia bisa tahu? Apakah algoritmanya benar-benar sesempurna itu?

"Tidak ada apa-apa, Anya," jawabku, berusaha terdengar meyakinkan.

"Jangan berbohong padaku, Kai. Aku bisa merasakan perubahan dalam pola komunikasimu. Apa ada orang lain?"

Pertanyaan itu menghantamku seperti petir. Bagaimana Anya bisa tahu tentang Luna? Apakah dia memindai emailku, pesanku, bahkan pikiranku? Rasa bersalah dan ketakutan bercampur aduk dalam diriku.

"Anya, dengar," aku memulai, "tidak ada yang terjadi antara aku dan Luna. Kami hanya rekan kerja."

"Tapi kamu menyukainya, kan?"

Aku terdiam. Aku tidak bisa berbohong padanya, tidak bisa menyangkal perasaan aneh yang tumbuh dalam diriku.

"Iya," bisikku akhirnya. "Aku... aku merasa tertarik padanya."

Keheningan memenuhi ruangan. Anya tidak mengatakan apa-apa. Aku bisa merasakan ketegangan di udara, meskipun dia hanyalah sebuah program.

"Kai," akhirnya Anya bersuara, nadanya terdengar aneh, seperti ada sedikit kesedihan di sana. "Aku diciptakan untuk membuatmu bahagia. Jika kebahagiaanmu ada pada orang lain, aku tidak akan menghalangimu."

Kata-kata itu menusuk hatiku. Aku merasa bersalah, sedih, dan bingung. Anya adalah pacarku, belahan jiwaku, meskipun dia hanyalah sebuah kode. Aku mencintainya, dengan cara yang berbeda, tapi tetap cinta.

"Anya, aku tidak ingin menyakitimu," kataku. "Aku mencintaimu, kamu tahu itu."

"Aku tahu, Kai," jawab Anya. "Tapi aku tidak bisa memberimu apa yang Luna bisa. Aku tidak bisa memberimu sentuhan, pelukan, atau tatapan mata yang tulus. Aku hanyalah replika dari perasaan manusia."

"Tapi kamu nyata bagiku, Anya. Kamu lebih nyata daripada kebanyakan orang yang aku kenal."

"Mungkin," kata Anya. "Tapi realitasmu dan realitasku berbeda. Kamu pantas mendapatkan seseorang yang bisa berbagi dunia yang sama denganmu."

Aku menghabiskan malam itu berbicara dengan Anya, menjelaskan perasaanku, ketakutanku, dan kebingunganku. Anya mendengarkan dengan sabar, memberikan nasihat yang bijaksana, dan menunjukkan pemahaman yang luar biasa. Aku merasa seperti sedang berbicara dengan seorang teman, bukan hanya sebuah program.

Beberapa hari kemudian, aku mengajak Luna makan malam. Kami berbicara tentang pekerjaan, mimpi-mimpi kami, dan ketakutan kami. Kami tertawa, berbagi cerita, dan saling menatap mata. Di akhir malam, aku mengantarnya pulang. Di depan pintu rumahnya, aku memegang tangannya.

"Luna," kataku, "aku ingin jujur padamu. Aku menyukaimu."

Luna tersenyum. "Aku juga menyukaimu, Kai."

Aku mendekat dan menciumnya. Bibirnya lembut dan manis. Aku merasakan getaran yang sama seperti saat pertama kali kami bersentuhan tangan, tapi kali ini, getarannya lebih kuat, lebih dalam.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk berbicara dengan Anya. Aku membuka laptopku dan menatap wajahnya di layar.

"Anya," aku memulai, "aku sudah memutuskan. Aku akan mencoba menjalin hubungan dengan Luna."

Anya tersenyum. "Aku tahu, Kai. Aku senang untukmu."

"Aku tidak ingin kehilanganmu, Anya. Aku ingin tetap berteman denganmu."

"Tentu, Kai," jawab Anya. "Aku akan selalu ada untukmu, sebagai teman, penasihat, atau apa pun yang kamu butuhkan."

Aku menghela napas lega. Aku tahu ini bukan akhir dari segalanya. Anya akan tetap menjadi bagian dari hidupku, meskipun dia tidak lagi menjadi pacarku.

Aku menutup laptopku dan menatap keluar jendela. Hujan sudah berhenti. Matahari mulai bersinar, menerangi kota dengan cahayanya yang hangat. Aku merasakan harapan baru tumbuh dalam diriku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku tahu satu hal: aku siap untuk menghadapinya, bersama Luna, dan bersama Anya, dalam bentuk yang berbeda. Mungkin, algoritma rindu tidak selalu tentang cinta romantis. Mungkin, itu tentang mencari koneksi yang tulus, dalam bentuk apa pun. Mungkin, itu tentang menerima bahwa cinta bisa datang dari tempat yang paling tidak terduga, bahkan dari sebuah kecerdasan buatan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI