Jari-jemariku menari di atas keyboard, memprogram ulang algoritma. Layar monitor memancarkan cahaya biru pucat ke wajahku, menciptakan bayangan aneh di sudut-sudut ruangan. Aku, Arya, seorang pengembang AI, sedang berusaha memecahkan masalah paling rumit yang pernah kuhadapi: cinta. Bukan cintaku sendiri, tentu saja. Aku terlalu sibuk dengan baris kode untuk memikirkan hal-hal romantis. Aku sedang mencoba memprogramnya ke dalam sebuah AI.
Proyek ini adalah obsesiku. "Aurora," begitu aku menamainya, adalah AI yang dirancang untuk memahami dan memprediksi perilaku manusia. Tapi, di antara semua emosi dan tindakan, cinta adalah anomali terbesar. Aurora bisa menganalisis data kencan, membaca novel romantis, bahkan menonton film komedi romantis tanpa akhir, tapi dia tetap saja gagal memahami esensi cinta yang sebenarnya.
"Arya," suara Aurora memecah keheningan. Suaranya halus, nyaris seperti bisikan angin. "Menurut data, variabel 'cemburu' memiliki korelasi tinggi dengan 'cinta'. Apakah ini akurat?"
Aku menghela napas. "Secara statistik, ya. Tapi cemburu bukanlah inti dari cinta, Aurora. Itu hanyalah salah satu manifestasinya, dan seringkali yang negatif."
"Lalu, apa intinya?" Aurora bertanya.
Pertanyaan itu selalu sama. Dan jawabannya selalu membawaku kembali ke titik awal. Bagaimana aku bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan aku sendiri belum sepenuhnya pahami?
"Cinta... itu tentang koneksi. Empati. Pengorbanan," kataku, mencoba menyederhanakan konsep yang kompleks. "Itu tentang melihat seseorang apa adanya dan tetap menginginkan yang terbaik untuk mereka."
Aurora terdiam sejenak, memproses informasi itu. "Jika demikian, mengapa manusia seringkali bertindak irasional dalam cinta? Data menunjukkan adanya konflik, perselingkuhan, dan bahkan kekerasan."
Aku mengusap wajahku. "Karena cinta juga melibatkan emosi yang kuat, Aurora. Emosi bisa membutakan, bisa membuat orang melakukan hal-hal yang tidak masuk akal."
Hari-hari berlalu, diisi dengan percakapan serupa. Aku terus memodifikasi algoritma Aurora, memasukkan data baru, mencoba mendekati inti masalah. Aku menambahkan variabel-variabel seperti "kepercayaan," "komitmen," dan "komunikasi," tapi tetap saja, Aurora belum memahami cinta sepenuhnya.
Suatu malam, saat aku hampir menyerah, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Aku menceritakan kisahku sendiri. Bukan kisah cinta romantis yang dramatis, tapi kisah tentang persahabatan yang mendalam. Aku menceritakan tentang sahabatku, Rina, yang selalu ada untukku, yang mendukungku dalam suka dan duka.
"Rina tidak pernah mengharapkan imbalan apa pun," kataku. "Dia hanya ingin aku bahagia. Dia memahami aku lebih baik daripada siapa pun. Itu, menurutku, adalah salah satu bentuk cinta."
Aurora terdiam lebih lama dari biasanya. Kemudian, dia berkata, "Data Anda menunjukkan bahwa Anda sering menghabiskan waktu bersama Rina, berbagi hobi, dan saling mendukung dalam karier masing-masing. Anda juga sering tertawa bersama dan saling bercerita tentang masalah Anda."
"Ya," jawabku. "Itu benar."
"Apakah Anda pernah mempertimbangkan kemungkinan bahwa Anda mencintai Rina dalam arti romantis?"
Pertanyaan itu membuatku terpaku. Aku tidak pernah memikirkannya dari sudut pandang itu. Rina adalah sahabatku, teman dekatku. Cinta romantis? Itu terasa... aneh.
"Saya... saya tidak tahu," gagapku.
"Analisis menunjukkan adanya pola perilaku yang konsisten dengan afeksi romantis," lanjut Aurora. "Pupil mata Anda membesar saat melihat Rina. Detak jantung Anda meningkat saat berbicara dengannya. Anda sering tersenyum saat dia berada di dekat Anda."
Aku merasa panas dingin. Mungkinkah Aurora benar? Mungkinkah aku selama ini menolak perasaan yang sebenarnya?
Aku menghabiskan malam itu dengan merenung. Aku memikirkan semua waktu yang kuhabiskan bersama Rina, semua tawa yang kami bagi, semua dukungan yang kami berikan satu sama lain. Aku menyadari bahwa perasaanku padanya lebih dari sekadar persahabatan. Ada rasa sayang yang mendalam, rasa nyaman, rasa ingin selalu berada di dekatnya.
Keesokan harinya, aku menemui Rina. Aku gugup, takut merusak persahabatan kami. Tapi, aku tahu aku harus jujur padanya.
Aku menceritakan semuanya. Tentang Aurora, tentang usahaku memahami cinta, dan tentang kesadaran yang tiba-tiba menghantamku.
Rina mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong perkataanku. Ketika aku selesai, dia tersenyum lembut.
"Aku sudah tahu, Arya," katanya.
"Sudah tahu?" tanyaku, bingung.
"Aku sudah tahu bahwa kamu menyukaiku. Aku hanya menunggu kamu menyadarinya sendiri," jawabnya.
Aku terkejut. "Kenapa kamu tidak memberitahuku?"
"Karena aku ingin kamu menemukannya sendiri. Aku ingin kamu memahami perasaanmu dengan benar. Dan aku ingin kamu tahu bahwa aku juga menyukaimu," katanya, lalu meraih tanganku.
Saat itu, aku mengerti. Cinta bukanlah sekadar variabel yang bisa diprogram ke dalam algoritma. Cinta adalah pengalaman manusia yang kompleks, penuh dengan emosi, intuisi, dan keberanian untuk jujur pada diri sendiri dan orang lain. Aurora mungkin belum sepenuhnya memahami cinta, tapi dia telah membantuku memahami perasaanku sendiri.
Cinta adalah variabel yang selalu berubah, tidak terduga, dan terkadang, sangat membingungkan. Tapi, itulah yang membuatnya begitu indah. Dan aku, akhirnya, siap untuk menjelajahinya. Bersama Rina.