Jari-jemari Lintang menari di atas keyboard virtual, membalas komentar demi komentar di unggahan terbarunya. Foto secangkir kopi dengan latar senja digital, diberi filter dreamy dan caption puitis tentang kesendirian yang indah. Klise, memang, tapi ampuh menarik perhatian. Lintang adalah influencer gaya hidup, dengan ribuan pengikut yang haus akan resep kebahagiaan instan. Padahal, di balik senyum yang terpancar dari layar, hatinya menyimpan gurat algoritma yang rumit dan penuh luka.
Semua bermula dari "Connect", aplikasi kencan revolusioner yang menggunakan kecerdasan buatan untuk menemukan pasangan ideal berdasarkan data pribadi, minat, dan bahkan gelombang otak. Lintang, yang lelah dengan kencan buta dan pertemuan canggung, memutuskan untuk mencoba. Algoritma Connect mengantarkannya pada Arya, seorang arsitek visioner dengan selera humor yang sama dan kecintaan yang mendalam pada film-film klasik.
Awalnya sempurna. Obrolan daring mengalir deras, lalu berlanjut ke kopi virtual, dan akhirnya pertemuan tatap muka. Arya tampan, cerdas, dan menawan. Lintang merasa seperti menemukan kepingan puzzle yang hilang dalam dirinya. Mereka berbagi cerita, mimpi, dan harapan. Cinta tumbuh subur di dunia digital, bersemi di bawah naungan algoritma yang maha tahu.
Namun, kebahagiaan digital itu rapuh. Semakin Lintang dan Arya terhubung, semakin mereka menyerahkan diri pada data. Setiap unggahan, setiap komentar, setiap pencarian di internet, menjadi bahan bakar bagi algoritma Connect untuk "memperbaiki" hubungan mereka. Saran film yang "pasti disukai bersama", rekomendasi restoran romantis yang "sesuai dengan preferensi rasa", bahkan saran topik obrolan yang "akan mempererat ikatan".
Lintang mulai merasa terkekang. Hubungan mereka, yang awalnya terasa organik dan spontan, kini terasa seperti skenario yang ditulis oleh mesin. Ia merindukan kejutan, perbedaan pendapat, dan ketidaksempurnaan yang membuat hubungan terasa nyata. Ia mencoba berbicara dengan Arya, mengungkapkan kegelisahannya tentang ketergantungan mereka pada Connect.
"Tapi, Lintang, algoritma ini membantu kita," kata Arya, dengan nada membela. "Ini membuat hubungan kita lebih efisien, lebih bahagia. Kenapa kita harus menolak bantuan teknologi?"
Lintang menggelengkan kepala. "Karena kebahagiaan sejati tidak bisa diukur dengan data, Arya. Cinta tidak bisa diprogram."
Perdebatan itu menjadi titik balik. Arya, yang terobsesi dengan kesempurnaan yang ditawarkan Connect, menolak untuk melepaskan diri. Ia percaya bahwa algoritma adalah kunci menuju hubungan abadi. Lintang, di sisi lain, merindukan kebebasan, spontanitas, dan keaslian. Mereka semakin menjauh, terpisah oleh jurang algoritma yang tak kasat mata.
Suatu malam, Lintang menemukan Arya tengah berkonsultasi dengan asisten virtual Connect, menanyakan cara "menangani kecemasan Lintang tentang hubungan digital". Lintang merasa seperti ditusuk ribuan jarum. Ia merasa dikhianati, bukan oleh Arya, melainkan oleh sistem yang telah merenggut individualitas mereka.
"Aku tidak bisa melakukan ini lagi," kata Lintang, dengan suara bergetar. "Aku tidak bisa hidup dalam hubungan yang diatur oleh algoritma."
Arya mencoba membujuknya, memohon agar Lintang memberinya kesempatan. Tapi Lintang sudah mengambil keputusan. Ia mematikan aplikasi Connect, menghapus semua jejak digital tentang hubungannya dengan Arya, dan memutuskan untuk kembali ke dunia nyata.
Setelah perpisahan itu, Lintang merasa hancur. Ia kehilangan bukan hanya seorang kekasih, tetapi juga kepercayaan pada teknologi yang pernah ia puja. Ia menghabiskan berbulan-bulan dalam kesendirian, merenungkan kesalahan yang telah ia buat. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada validasi digital, melupakan esensi dari hubungan yang sejati.
Kemudian, suatu hari, saat sedang berjalan-jalan di taman, ia bertemu dengan seorang pria bernama Bima. Bima bukan pengguna Connect, ia bahkan tidak memiliki akun media sosial. Ia adalah seorang seniman yang hidup sederhana dan menghargai keindahan alam. Mereka berbicara tentang seni, musik, dan kehidupan. Tidak ada algoritma yang mengatur obrolan mereka, tidak ada saran dari aplikasi kencan. Semuanya mengalir secara alami.
Bima tidak tahu tentang masa lalu Lintang sebagai influencer. Ia hanya melihat Lintang sebagai seorang wanita yang menarik dan bersemangat. Mereka jatuh cinta tanpa bantuan teknologi, tanpa filter digital, tanpa algoritma yang menjamin kebahagiaan. Cinta mereka tumbuh perlahan, seperti tanaman liar yang bersemi di tanah yang subur.
Lintang belajar untuk menghargai ketidaksempurnaan, menerima kejutan, dan merayakan perbedaan. Ia menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, melainkan harus dipupuk dengan kesabaran, pengertian, dan kebebasan.
Lintang masih aktif di media sosial, tetapi ia tidak lagi mengejar validasi digital. Ia menggunakan platformnya untuk menginspirasi orang lain agar mencari kebahagiaan di dunia nyata, bukan di dunia virtual. Ia berbagi ceritanya tentang cinta digital dan luka algoritma, dengan harapan bahwa orang lain dapat belajar dari pengalamannya.
Di dunia yang semakin didominasi oleh teknologi, Lintang menemukan kembali hatinya. Ia menemukan cinta yang sejati, bukan dalam cloud, melainkan dalam pelukan hangat manusia. Ia mengerti bahwa algoritma bisa membantu kita menemukan pasangan, tetapi hanya hati yang bisa menciptakan cinta. Dan cinta sejati, seperti karya seni yang indah, selalu memiliki goresan yang unik dan tidak sempurna. Goresan-goresan itulah yang membuatnya berharga.