Cinta yang Dipersonalisasi: AI Tahu, Hati Tertipu?

Dipublikasikan pada: 07 Dec 2025 - 01:40:16 wib
Dibaca: 115 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalisnya. Maya menyesap cairan pahit itu, matanya terpaku pada layar laptop. Di hadapannya, antarmuka "SoulMate AI" bersinar lembut. Aplikasi kencan ini bukan sembarang aplikasi. SoulMate AI, begitu klaimnya, menggunakan algoritma kompleks berdasarkan data pribadi, riwayat daring, dan bahkan analisis gelombang otak untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel.

Dulu, Maya skeptis. Terlalu ilmiah, terlalu mekanis untuk urusan hati. Tapi setelah serangkaian kencan yang mengecewakan, dia menyerah pada rasa penasaran. SoulMate AI meminta data dirinya secara mendalam: buku favorit, film yang menyentuh hatinya, mimpi-mimpi yang terkubur, bahkan aroma parfum yang disukainya. Prosesnya terasa invasif, tapi juga…membebaskan.

Dan kemudian, SoulMate AI memperkenalkannya pada Ardi.

Ardi, menurut deskripsi SoulMate AI, adalah seorang arsitek lanskap dengan selera humor kering, kecintaan pada musik jazz, dan pandangan hidup yang optimis. Profil itu terasa seperti cerminan jiwanya sendiri. Foto Ardi menampilkan senyum tulus dengan mata yang berbinar cerdas. Maya terpikat.

Kencan pertama mereka berjalan sempurna. Ardi memang seorang arsitek lanskap. Dia membicarakan desain taman dengan semangat yang menular. Mereka tertawa karena lelucon yang sama, berdebat ringan tentang keunggulan Miles Davis dibandingkan John Coltrane, dan merasa nyaman satu sama lain seolah mereka sudah saling kenal bertahun-tahun.

“Ini gila,” kata Maya sambil berjalan pulang setelah kencan itu. “Aku merasa seperti mengenalnya seumur hidup.”

Ardi tertawa. “Mungkin algoritma itu benar-benar bekerja.”

Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi. Ardi tahu persis apa yang ingin Maya dengar, apa yang ingin dia lihat, apa yang ingin dia rasakan. Dia mengirimkan bunga kesukaannya, lili putih, tanpa alasan. Dia mengajak Maya ke restoran Italia kecil yang tersembunyi di gang sempit, tempat yang selalu ingin dia coba. Dia bahkan tahu bahwa Maya diam-diam suka memotret langit senja, dan dia sering mengiriminya foto-foto langit dari berbagai belahan dunia.

Maya merasa dicintai, dipahami, dan diperhatikan dengan cara yang belum pernah dia alami sebelumnya. SoulMate AI telah melakukan tugasnya dengan sempurna.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, sebuah keraguan mulai merayap di benaknya. Terlalu sempurna. Terlalu dipersonalisasi. Apakah Ardi benar-benar mencintainya, Maya yang sebenarnya, atau hanya versi ideal dirinya yang dirancang oleh algoritma?

Suatu malam, saat mereka makan malam di apartemen Maya, dia memberanikan diri bertanya.

“Ardi,” Maya memulai, suaranya sedikit bergetar. “Apakah… apakah kamu merasa aneh bahwa kita bertemu melalui SoulMate AI?”

Ardi meletakkan garpunya, menatap Maya dengan mata lembutnya. “Awalnya iya. Aku juga skeptis seperti kamu. Tapi kemudian aku bertemu denganmu. Algoritma mungkin yang mempertemukan kita, tapi perasaan ini… ini nyata.”

Maya tidak yakin. “Tapi…kamu tahu semua yang aku suka, semua yang aku inginkan. Apa ini benar-benar cinta, atau hanya simulasi?”

Ardi menghela napas. “Maya, aku tidak bisa berbohong. SoulMate AI memang memberi aku insight tentang dirimu. Aku tahu kamu suka lili putih, aku tahu kamu suka musik jazz. Tapi aku memilih untuk mengirimkanmu lili karena menurutku mereka indah, dan aku memilih untuk mendengarkan musik jazz bersamamu karena aku menikmati waktu bersamamu. Algoritma hanya memberiku starting point, Maya. Akulah yang membangun hubungan ini bersamamu.”

Maya masih ragu. Dia butuh bukti, sesuatu yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma.

“Katakan sesuatu yang kamu sukai dariku yang tidak ada di profilku,” tantang Maya.

Ardi terdiam sesaat, menatap Maya dengan intens. Kemudian, sebuah senyum tipis menghiasi bibirnya. “Aku suka caramu menggigit bibir saat kamu sedang berpikir keras. Itu tidak ada di profilmu, dan itu membuatku gemas.”

Maya tersentak. Dia bahkan tidak menyadari kebiasaan itu. Bagaimana mungkin Ardi tahu?

“Atau… Aku suka bagaimana matamu berbinar saat kamu membicarakan mimpi-mimpimu. Profilmu hanya menyebutkan tentang ambisi karirmu, tapi kamu tidak pernah menjelaskan bagaimana semangatmu membara saat membicarakannya. Itu yang membuatku jatuh cinta padamu.”

Mata Maya berkaca-kaca. Kata-kata Ardi terasa tulus, jujur, dan… pribadi. Mungkin, pikirnya, mungkin saja cinta bisa tumbuh di lahan yang dipupuk oleh algoritma.

Namun, keraguan itu masih menggerogoti. Dia harus mencari tahu kebenaran, sekali dan untuk selamanya.

Keesokan harinya, Maya memutuskan untuk mengunjungi kantor pusat SoulMate AI. Dia ingin berbicara dengan pencipta algoritma itu, Dr. Eleanor Vance.

Dr. Vance adalah seorang wanita paruh baya dengan rambut abu-abu yang diikat rapi dan mata yang tajam. Dia menyambut Maya dengan ramah, tapi juga dengan sedikit kehati-hatian.

“Nona…Maya, kan?” sapa Dr. Vance. “Bagaimana kami bisa membantu Anda?”

Maya menceritakan tentang hubungannya dengan Ardi, tentang kecurigaannya, tentang ketakutannya bahwa cintanya hanyalah ilusi yang diciptakan oleh algoritma.

Dr. Vance mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika Maya selesai berbicara, Dr. Vance menghela napas.

“Saya memahami kekhawatiran Anda, Nona Maya. Memang benar, SoulMate AI dirancang untuk meningkatkan peluang Anda menemukan pasangan yang kompatibel. Tapi algoritma hanyalah alat. Pada akhirnya, yang menentukan adalah pilihan Anda, perasaan Anda, dan hubungan yang Anda bangun.”

Dr. Vance kemudian menunjukkan diagram kompleks yang menggambarkan cara kerja algoritma SoulMate AI. “Kami mengumpulkan data dari berbagai sumber, menganalisis pola, dan memprediksi kemungkinan kompatibilitas. Tapi ada satu faktor yang tidak bisa kami prediksi: kehendak bebas manusia.”

“Maksud Anda?” tanya Maya.

“Algoritma hanya memberikan framework, kerangka kerja. Tapi bagaimana Anda mengisi kerangka itu, bagaimana Anda merespons satu sama lain, bagaimana Anda mengatasi perbedaan… itu semua tergantung pada Anda dan Ardi. Kami tidak bisa memaksakan cinta. Kami hanya bisa memberinya kesempatan untuk tumbuh.”

Dr. Vance kemudian menunjukkan data Maya dan Ardi. Data itu memang menunjukkan tingkat kompatibilitas yang tinggi, tapi juga menyoroti perbedaan-perbedaan kecil di antara mereka.

“Lihat,” kata Dr. Vance. “Algoritma ini menunjukkan bahwa Ardi lebih ekstrovert daripada Anda, dan Anda lebih menghargai stabilitas daripada dia. Ini adalah area di mana Anda berdua harus berkompromi, bekerja sama. Cinta sejati bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang bagaimana Anda beradaptasi dengan ketidaksempurnaan.”

Maya tercengang. Dia melihat data itu dengan mata baru. Dr. Vance benar. SoulMate AI hanya memberikan panduan, bukan jaminan.

Dia kembali ke apartemennya dengan perasaan yang lebih tenang. Dia melihat foto Ardi di mejanya dan tersenyum. Ardi mungkin mengenal dirinya melalui algoritma, tapi dia memilih untuk mencintainya, Maya yang sebenarnya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Malam itu, saat Ardi datang berkunjung, Maya memeluknya erat.

“Aku mencintaimu,” bisik Maya.

Ardi membalas pelukannya, mencium rambutnya. “Aku juga mencintaimu, Maya. Apa pun yang terjadi, apa pun yang dikatakan algoritma, aku akan selalu mencintaimu.”

Maya tahu, di dalam hatinya, bahwa cinta mereka adalah nyata. Itu bukan produk dari teknologi, tapi buah dari pilihan mereka, dari keberanian mereka untuk membuka hati, dan dari kemampuan mereka untuk saling mencintai, terlepas dari bagaimana mereka bertemu. Cinta yang dipersonalisasi, mungkin, tapi pada akhirnya, tetaplah cinta.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI