Jari-jarinya menari di atas keyboard virtual, menghasilkan deretan kode yang rumit namun elegan. Maya, seorang programmer AI berbakat, sedang merancang sesuatu yang, jujur saja, sedikit gila. Bukan tentang kecerdasan buatan yang melampaui manusia, atau robot yang bisa berpikir dan merasa. Bukan itu. Ini lebih pribadi, lebih… sentimental.
“Proyek ‘Penghapus Kenangan Digital’ selesai 87 persen,” suara sintesis dari monitornya memecah kesunyian apartemen studio Maya. Maya menghela napas. Hampir selesai. Proyek yang ia rahasiakan dari semua orang, termasuk sahabatnya, Rina. Proyek yang didorong oleh patah hati terburuk dalam hidupnya.
Dua tahun lalu, hidup Maya dipenuhi tawa Arya, mata cokelatnya yang hangat, dan ciuman yang terasa seperti matahari di kulitnya. Mereka merajut mimpi bersama, membangun masa depan yang tampak kokoh seperti beton. Mereka mendokumentasikan setiap momen: foto-foto di Instagram, video konyol di TikTok, percakapan manis di WhatsApp. Semuanya terekam, tersimpan di awan digital, bukti cinta mereka yang pernah membara.
Lalu, Arya pergi. Bukan karena kecelakaan, bukan karena penyakit. Ia pergi karena wanita lain, seorang model bernama Bella yang lebih mempesona, lebih glamor, lebih ‘masa kini’ daripada Maya yang kutu buku. Perpisahan itu menyakitkan, menusuk jantungnya berkali-kali. Maya mencoba menghapus semua jejak Arya dari hidupnya, membuang foto-foto cetak, menghapus nomor teleponnya. Tapi jejak digitalnya? Itu masalah lain.
Itulah kenapa ia menciptakan proyek ini. Sebuah AI yang dirancang khusus untuk menghapus semua jejak digital mantan. Bukan hanya foto dan video, tapi juga percakapan, komentar, bahkan algoritma rekomendasi yang terus-menerus menampilkan iklan tentang hal-hal yang pernah mereka sukai bersama. Tujuannya sederhana: menghapus Arya dari eksistensi digital Maya sepenuhnya.
“Selesai!” Maya berseru lega, lalu menyesap kopi yang sudah dingin. Monitornya menampilkan pesan konfirmasi. “Penghapus Kenangan Digital versi 1.0 siap dijalankan.”
Dengan gugup, Maya memasukkan nama Arya dan semua informasi yang relevan. Program mulai bekerja, menjelajahi internet, menyisir media sosial, menggali arsip obrolan. Prosesnya berjalan lambat, seperti operasi bedah yang rumit. Maya terpaku di depan layar, menyaksikan AI buatannya membongkar kepingan-kepingan masa lalu.
Setelah beberapa jam, proses itu selesai. Monitornya menampilkan laporan: “Jejak digital Arya Pratama berhasil dihapus 99.7 persen.” 0.3 persen sisanya, menurut laporan, terlalu terenkripsi atau tersembunyi untuk dijangkau. Maya menghela napas lega. Hampir sempurna.
Hari-hari berikutnya terasa aneh. Maya merasa seperti berjalan di dunia yang baru. Iklan tentang kopi artisan yang dulu selalu mengingatkannya pada Arya, menghilang. Foto-foto lama mereka yang dulu muncul di linimasa teman-temannya, lenyap. Rasanya seperti Arya tidak pernah ada.
Awalnya, ia merasa lega. Bebas. Tapi kemudian, perasaan aneh mulai merayap. Kosong. Tanpa Arya, internet terasa hambar, personalitasnya seolah berkurang. Ia membuka kembali foto-foto lama mereka yang sempat ia simpan di hard drive eksternal. Senyum Arya, mata cokelatnya yang hangat, semuanya terasa begitu asing. Ia tidak ingat lagi bagaimana rasanya disentuh oleh Arya, bagaimana rasanya tertawa bersamanya.
Suatu malam, Rina datang berkunjung. Mereka memesan pizza dan menonton film komedi romantis yang biasanya membuat Maya tertawa terbahak-bahak. Tapi malam itu, Maya hanya tersenyum hambar.
“Kamu kenapa, May?” tanya Rina, khawatir. “Kamu kelihatan… nggak ada.”
Maya menghela napas. Ia tahu ia harus menceritakan semuanya. Ia menceritakan tentang Arya, tentang patah hatinya, dan tentang Penghapus Kenangan Digital. Rina mendengarkan dengan seksama, wajahnya menunjukkan campuran antara terkejut, simpati, dan sedikit ketakutan.
“May, kamu gila!” seru Rina setelah Maya selesai bercerita. “Kamu menghapus memori! Kamu menghapus sebagian dari dirimu sendiri!”
“Aku tahu,” jawab Maya lirih. “Tapi aku tidak tahan lagi dengan semua kenangan itu. Terlalu menyakitkan.”
“Sakit memang sakit, May. Tapi itu bagian dari hidup. Kenangan itu membentukmu, membuatmu menjadi dirimu yang sekarang. Kamu nggak bisa menghapus semua yang menyakitkan, May. Kalau gitu, kamu juga menghapus semua yang indah.”
Kata-kata Rina menghantam Maya seperti petir. Benar. Ia terlalu fokus pada rasa sakit, sampai lupa bahwa ada hal-hal indah yang pernah ia alami bersama Arya. Tawa mereka, ciuman mereka, mimpi mereka. Semuanya hilang, terhapus oleh algoritma buatannya sendiri.
Maya segera berlari ke komputernya. Ia mencoba mengembalikan jejak digital Arya, tapi semuanya sudah permanen dihapus dari servernya. Tidak ada backup. Tidak ada undo. Ia telah menghapus Arya dari internet, dan secara tidak langsung, dari sebagian ingatannya sendiri.
Putus asa, Maya menghubungi seorang teman yang ahli dalam forensik digital. Mereka bekerja sepanjang malam, mencoba memulihkan data yang terhapus. Setelah berjam-jam, mereka berhasil menemukan beberapa fragmen percakapan dan foto yang tersembunyi di dalam cache browser.
Itu tidak sempurna. Tapi itu cukup.
Maya menatap foto-foto itu. Arya tersenyum padanya, matanya berbinar. Tiba-tiba, ia teringat sebuah kejadian lucu. Saat mereka berdua mencoba membuat sushi untuk pertama kalinya, dan semuanya berantakan. Ia tertawa sendiri. Akhirnya, ia ingat. Arya bukan hanya rasa sakit. Arya juga tawa, cinta, dan kebahagiaan.
Malam itu, Maya mulai menulis. Bukan kode, tapi cerita. Cerita tentang Arya, tentang cinta mereka, tentang patah hati, dan tentang Penghapus Kenangan Digital. Ia menuangkan semua perasaannya ke dalam tulisan, mencoba merekonstruksi memori yang hilang. Ia ingin mengingat Arya, bukan sebagai luka, tapi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya.
Ia sadar, ia tidak bisa menghapus masa lalu. Tapi ia bisa belajar dari masa lalu. Ia bisa menerima rasa sakit, dan menggunakannya untuk tumbuh. Ia bisa memaafkan Arya, dan memaafkan dirinya sendiri.
Beberapa bulan kemudian, Maya bertemu dengan seseorang yang baru. Namanya Evan, seorang musisi yang penuh semangat dan perhatian. Evan tidak menggantikan Arya, tapi ia membawa warna baru dalam hidup Maya. Ia belajar untuk mencintai lagi, tanpa takut terluka.
Ia juga belajar untuk menghargai kenangan, bahkan yang menyakitkan. Karena kenangan, baik dan buruk, adalah bagian dari dirinya. Dan ia tidak akan pernah menghapus dirinya sendiri.
Ia masih memiliki Penghapus Kenangan Digital, tersembunyi di dalam hard drive-nya. Tapi ia tidak pernah menggunakannya lagi. Sekarang, ia melihatnya bukan sebagai alat untuk menghapus masa lalu, tapi sebagai pengingat tentang betapa berharganya setiap momen, setiap kenangan, dan setiap pelajaran yang ia dapatkan dalam hidup ini. Karena cinta, seperti kode, bisa jadi rumit dan penuh bug. Tapi tanpa itu, hidup tidak akan lengkap.