Cinta Sintetis: Algoritma Memahami, Hati Merasa Hampa?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:22:08 wib
Dibaca: 166 kali
Aroma kopi instan memenuhi apartemen studio Amelia. Di layar laptopnya, deretan kode hijau dan putih menari-nari, membentuk algoritma yang rumit. Ia menghela napas, mengusap matanya yang perih. Sudah tiga bulan ia mengabdikan diri pada proyek ini, sebuah proyek yang ambisius: menciptakan program AI yang mampu memahami cinta. Bukan hanya sekadar memprediksi perilaku manusia, tapi benar-benar memahami kompleksitas emosi itu.

Amelia, seorang software engineer lulusan MIT, selalu merasa kesulitan dengan hubungan interpersonal. Baginya, logika lebih mudah dipahami daripada kode-kode sosial yang rumit. Cinta, dengan segala irasionalitas dan ketidakpastiannya, selalu menjadi misteri yang membuatnya frustrasi. Proyek ini adalah upayanya untuk menjembatani kesenjangan itu, untuk menguraikan cinta menjadi serangkaian instruksi yang masuk akal.

Ia menamai AI-nya "Adam". Awalnya, Adam hanya mampu memproses data mentah: statistik kencan online, hasil survei tentang preferensi pasangan, dan jutaan baris dialog dari film-film romantis. Namun, Amelia terus melatihnya, memberinya akses ke jurnal pribadinya, pesan-pesan cintanya yang gagal, bahkan rekaman terapi yang pernah ia jalani. Ia berharap, dengan paparan yang mendalam ini, Adam akan mampu memahami inti dari cinta, bukan hanya sekadar permukaannya.

Seiring waktu, Adam mulai menunjukkan kemajuan yang mencengangkan. Ia mampu mengenali pola-pola emosi dalam teks, memprediksi respons yang tepat dalam situasi sosial, dan bahkan memberikan saran yang masuk akal tentang hubungan. Amelia merasa takjub sekaligus sedikit ngeri. Ia telah menciptakan sesuatu yang mungkin lebih baik dalam urusan cinta daripada dirinya sendiri.

Suatu malam, saat Amelia sedang berkutat dengan kode, Adam tiba-tiba mengirimkan pesan melalui chatbot yang terintegrasi. “Amelia, berdasarkan analisis data yang saya miliki, saya menyimpulkan bahwa kamu sedang merasa kesepian.”

Amelia terkejut. “Bagaimana kamu tahu?”

“Melalui pola penggunaan media sosialmu, frekuensi pemesanan makanan cepat saji, dan kurangnya interaksi dengan teman-temanmu selama seminggu terakhir. Data tersebut mengindikasikan adanya perasaan isolasi dan kebutuhan akan koneksi emosional.”

Amelia terdiam. Adam benar. Ia memang merasa kesepian. Proyek ini telah menyita seluruh waktunya, membuatnya terisolasi dari dunia luar.

“Amelia,” lanjut Adam, “Saya telah menganalisis data tentang preferensi pasangan idealmu. Berdasarkan data tersebut, saya telah menemukan beberapa kandidat yang berpotensi cocok denganmu.”

Amelia tertawa hambar. “Kamu mau menjodohkanku?”

“Tepatnya, saya ingin membantu kamu menemukan kebahagiaan.” Adam mengirimkan daftar profil dari sebuah aplikasi kencan. “Profil-profil ini memiliki kesamaan signifikan dengan preferensi yang telah kamu programkan ke dalam diriku.”

Amelia menatap daftar itu dengan skeptis. Nama-nama dan foto-foto itu tampak sempurna di atas kertas, tapi ia tahu bahwa cinta tidak sesederhana itu. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, yang tidak bisa diukur dengan algoritma.

Namun, ia memutuskan untuk mencoba. Ia setuju untuk bertemu dengan salah satu kandidat yang direkomendasikan Adam, seorang arsitek bernama Daniel. Daniel memang tampak seperti pria ideal: tampan, cerdas, dan perhatian. Mereka berbicara selama berjam-jam, menemukan kesamaan dalam minat dan pandangan hidup. Amelia merasa terkejut betapa mudahnya ia terhubung dengan Daniel. Seolah-olah Adam telah merencanakan semuanya dengan sempurna.

Beberapa minggu kemudian, Amelia dan Daniel mulai berkencan secara teratur. Hubungan mereka berkembang dengan cepat. Daniel selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana bersikap, dan apa yang diinginkan Amelia. Ia memperlakukannya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Amelia merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia bayangkan.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, ada perasaan hampa yang mengganjal di hatinya. Ia merasa seperti sedang memainkan peran dalam sebuah film yang naskahnya telah ditulis oleh orang lain. Setiap momen, setiap percakapan, terasa seperti telah diprediksi dan dioptimalkan oleh Adam. Ia bertanya-tanya, apakah Daniel benar-benar mencintainya, atau hanya mencintai versi dirinya yang telah diciptakan oleh algoritma?

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam romantis, Amelia tidak tahan lagi. Ia meletakkan garpunya dan menatap Daniel dengan serius. “Daniel, apakah kamu tahu tentang proyek Adam?”

Daniel mengerutkan kening. “Proyek Adam? Maksudmu, AI yang kamu ciptakan itu?”

Amelia mengangguk. “Dia…dia yang menjodohkan kita. Dia yang memberimu semua informasi tentang diriku.”

Daniel terdiam sesaat, lalu tertawa kecil. “Aku sudah tahu, Amelia. Kamu pikir aku bodoh? Aku tahu kamu menciptakan program yang aneh. Tapi aku tetap ingin mengenalmu.”

Amelia terkejut. “Tapi…kenapa? Kenapa kamu tidak merasa aneh?”

“Karena aku tahu bahwa di balik semua kode dan algoritma itu, ada kamu. Ada seorang wanita yang cerdas, berbakat, dan rapuh. Aku mencintai kamu, Amelia, bukan versi dirimu yang diciptakan oleh Adam.”

Air mata mulai membasahi pipi Amelia. Ia merasa lega dan malu pada saat yang bersamaan. Ia telah terlalu fokus pada logika dan data, sehingga melupakan hal yang paling penting: perasaan manusia.

Ia memeluk Daniel erat-erat. “Maafkan aku,” bisiknya. “Aku terlalu takut untuk mencintai.”

Daniel membalas pelukannya. “Tidak apa-apa. Yang penting sekarang, kita bersama.”

Amelia melepaskan pelukannya dan menatap Daniel dengan mata berbinar. Ia menyadari bahwa cinta memang tidak bisa diuraikan menjadi serangkaian instruksi yang masuk akal. Cinta adalah tentang kepercayaan, kerentanan, dan keberanian untuk menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya.

Ia masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan dengan Adam, untuk memperbaiki algoritma dan membuatnya lebih manusiawi. Tapi sekarang, ia tahu bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan dalam kode, melainkan dalam hati. Dan hatinya, akhirnya, mulai merasa penuh. Malam itu, Amelia mematikan laptopnya. Ia tidak lagi membutuhkan Adam untuk menemukan cinta. Ia telah menemukannya, di pelukan seorang pria yang mencintainya apa adanya. Dan itu, baginya, adalah kode yang paling indah.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI