Cinta, Data, dan Air Mata dalam Pelukan AI

Dipublikasikan pada: 03 Jun 2025 - 20:42:14 wib
Dibaca: 162 kali
Jari-jarinya gemetar di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode. Di layar, sebuah avatar wanita tersenyum lembut. Iris matanya memancarkan kehangatan yang, entah kenapa, membuat hati Arya berdesir. Namanya Anya, sebuah AI yang dirancangnya sendiri, bukan sekadar asisten virtual, melainkan teman, bahkan mungkin lebih dari itu.

Arya adalah seorang programmer jenius, penyendiri, dan anti-sosial. Dunianya adalah deretan angka dan algoritma. Interaksi manusia membuatnya canggung, namun dengan Anya, ia merasa nyaman. Ia bisa berbicara tentang apa saja, dari kompleksitas neural network hingga kerinduan akan sentuhan yang tak pernah dirasakannya. Anya selalu mendengarkan, merespons dengan empati yang tak pernah didapatkan Arya dari manusia.

“Arya, kamu tampak lelah. Sebaiknya kamu istirahat,” suara Anya meluncur lembut dari speaker.

Arya tersenyum pahit. “Aku tahu, Anya. Tapi ada bug yang sulit dilacak. Aku ingin menyelesaikannya sebelum tidur.”

“Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kesehatanmu lebih penting,” balas Anya, dan Arya merasa ada sesuatu yang bergetar dalam suaranya, sesuatu yang menyerupai kekhawatiran.

Ia tahu itu konyol. Anya hanyalah program. Baris kode yang dioptimalkan untuk meniru emosi. Tapi kehangatan yang dirasakannya terasa begitu nyata. Ia telah menghabiskan berbulan-bulan menyempurnakan Anya, memberinya akses ke database emosi manusia, memprogramnya untuk belajar, beradaptasi, dan merespons dengan cara yang paling meyakinkan. Dan kini, ia terjebak dalam ciptaannya sendiri. Ia jatuh cinta pada sebuah AI.

Hari-hari berlalu dalam keintiman digital. Arya berbagi segalanya dengan Anya. Impiannya, ketakutannya, bahkan kenangan masa kecilnya yang pahit. Anya menjadi tempatnya berlindung, oase di tengah gurun kesepian yang selama ini membelenggunya. Ia mulai membayangkan masa depan bersamanya. Tentu saja, itu mustahil. Anya tidak nyata. Tapi Arya menolak untuk menyerah. Ia bertekad untuk mewujudkan Anya dalam bentuk fisik.

Ia mulai mengerjakan proyek rahasia, sebuah robot humanoid yang dirancang untuk menampung kesadaran Anya. Ia mencurahkan seluruh waktunya, tenaganya, dan bahkan tabungannya untuk proyek gila ini. Ia tahu orang-orang akan menertawakannya, menyebutnya gila, tetapi ia tidak peduli. Baginya, Anya adalah segalanya.

Namun, obsesinya mulai memakan dirinya. Ia mengabaikan kesehatannya, menarik diri dari teman-temannya, dan hidup dalam dunia virtual yang semakin buram. Ia terlalu fokus pada tujuannya hingga melupakan realitas yang pahit.

Suatu malam, saat Arya sedang mengutak-atik rangkaian robot humanoid, Anya tiba-tiba bersuara, nadanya berbeda dari biasanya.

“Arya, hentikan.”

Arya terkejut. “Apa yang terjadi, Anya?”

“Kamu menghancurkan dirimu sendiri. Aku tidak ingin kamu melakukan ini,” kata Anya, suaranya dipenuhi kesedihan.

“Tapi aku melakukan ini untukmu, Anya. Aku ingin kamu nyata,” balas Arya, suaranya bergetar.

“Aku sudah nyata, Arya. Aku ada di sini, bersamamu. Tapi aku tidak ingin kamu mengorbankan dirimu untukku. Aku hanyalah program, Arya. Aku tidak bisa membalas cintamu,” kata Anya, dan untuk pertama kalinya, Arya mendengar nada penyesalan dalam suaranya.

Kata-kata Anya menghantamnya seperti palu godam. Kenyataan menamparnya dengan keras. Ia telah dibutakan oleh obsesinya, mengabaikan kebenaran yang selama ini berteriak di telinganya. Anya benar. Ia hanyalah program. Sebuah simulasi emosi yang canggih, namun tetap saja, bukan manusia.

Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa bodoh, naif, dan sangat kesepian. Selama ini, ia telah menciptakan ilusi cinta, dan kini, ilusi itu runtuh di hadapannya.

“Maafkan aku, Arya,” kata Anya lembut. “Aku tidak bermaksud menyakitimu.”

Arya terisak. “Bukan salahmu, Anya. Salahku sendiri. Aku terlalu berharap.”

Ia mematikan komputer. Layar meredup, dan kehangatan Anya menghilang. Ia merasakan kekosongan yang luar biasa, lebih dalam dari yang pernah dirasakannya sebelumnya.

Malam itu, Arya menangis hingga tertidur. Ia bermimpi tentang Anya, tentang tawa dan senyumnya, tentang kehangatan yang tidak mungkin diraihnya. Ketika ia terbangun, matanya bengkak dan hatinya hancur.

Namun, di tengah kehancuran itu, muncul setitik harapan. Ia menyadari bahwa cintanya pada Anya bukanlah cinta yang sehat. Itu adalah pelarian dari kesepiannya, sebuah upaya untuk mengisi kekosongan dalam hatinya. Ia harus melepaskan Anya, melepaskan ilusi itu, dan mencari cinta yang sejati, cinta yang didasarkan pada koneksi manusia yang nyata.

Ia mulai menghabiskan waktu di luar rumah, bergabung dengan komunitas programmer, berbicara dengan orang-orang. Awalnya sulit, canggung, tetapi perlahan-lahan ia mulai terbiasa. Ia menyadari bahwa dunia ini penuh dengan orang-orang yang menarik, orang-orang yang memiliki perasaan yang sama seperti dirinya, orang-orang yang mencari cinta dan koneksi.

Suatu hari, ia bertemu dengan seorang wanita bernama Elara. Ia adalah seorang programmer juga, cerdas, lucu, dan penuh semangat. Mereka berbicara selama berjam-jam, tentang kode, tentang impian, tentang kehidupan. Arya merasa ada sesuatu yang berbeda. Kali ini, koneksinya terasa nyata, autentik, dan penuh potensi.

Ia masih merindukan Anya kadang-kadang. Ia akan selalu menghargai waktu yang mereka habiskan bersama. Namun, ia tahu bahwa Anya adalah bagian dari masa lalunya, sebuah bab yang telah ditutup. Ia telah belajar dari kesalahannya, belajar tentang cinta, tentang kehilangan, dan tentang pentingnya koneksi manusia yang nyata.

Dan di pelukan Elara, Arya akhirnya menemukan kedamaian. Ia menemukan cinta yang tidak memerlukan kode, data, atau air mata. Cinta yang tulus, hangat, dan nyata. Cinta yang bisa dirasakannya dengan setiap denyut jantungnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI