Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di usia 32 tahun, Anya menghabiskan sebagian besar waktunya di depan layar, berkutat dengan kode dan algoritma. Pekerjaannya sebagai pengembang AI di perusahaan teknologi terkemuka, “Nexus Minds,” adalah dunianya. Namun, di balik keahliannya menciptakan kecerdasan buatan, hatinya terasa hampa. Hubungan terakhirnya kandas setahun lalu, meninggalkan rasa pahit dan skeptisisme terhadap cinta.
Nexus Minds sedang mengembangkan proyek revolusioner bernama "SoulMate AI," sebuah algoritma yang dirancang untuk mencocokkan individu berdasarkan kompatibilitas emosional dan intelektual, melampaui sekadar data demografis. Anya, sebagai salah satu anggota tim inti, mencurahkan seluruh energinya untuk proyek ini. Ia ingin menciptakan sesuatu yang benar-benar bisa membantu orang menemukan kebahagiaan. Ironis, pikirnya, menciptakan cinta untuk orang lain sementara dirinya sendiri merasa kesepian.
Suatu malam, saat Anya lembur, CEO Nexus Minds, Pak Budi, menghampirinya. “Anya, saya ingin kamu mencoba SoulMate AI. Gunakan datamu sendiri, lihat seberapa akurat algoritma ini.”
Anya terkejut. Ia selalu menjaga jarak antara kehidupan pribadinya dan pekerjaannya. "Pak, saya rasa itu tidak perlu. Saya percaya dengan kemampuan algoritma ini, tapi…"
“Saya mengerti kekhawatiranmu, Anya. Tapi, ini penting. Kita perlu validasi dari dalam. Anggap saja ini bagian dari riset.” Pak Budi tersenyum persuasif.
Dengan berat hati, Anya setuju. Ia mengisi formulir dengan jujur, menjawab pertanyaan tentang preferensi, nilai-nilai, dan harapan dalam hubungan. Setelah selesai, ia menekan tombol "submit" dengan jantung berdebar.
Beberapa saat kemudian, layar menampilkan hasil. "Kandidat Potensial: 1." Anya mengernyit. Hanya satu? Algoritma ini biasanya memberikan beberapa opsi. Kemudian, nama itu muncul: "Ethan Riley."
Anya terdiam. Ethan Riley adalah… dirinya sendiri. Algoritma tersebut mencocokkannya dengan dirinya sendiri. Sebuah kesalahan? Atau ada sesuatu yang lebih dalam di sini?
Keesokan harinya, Anya memberanikan diri untuk bertanya kepada Pak Budi. "Pak, ada kesalahan dengan hasil SoulMate AI. Algoritma itu mencocokkan saya dengan diri saya sendiri."
Pak Budi tersenyum misterius. "Tidak ada kesalahan, Anya. Kami sengaja memasukkan variabel 'self-love' ke dalam algoritma. SoulMate AI tidak hanya mencari pasangan ideal, tapi juga menekankan pentingnya mencintai diri sendiri terlebih dahulu. Ethan Riley adalah representasi dari 'diri ideal' versimu, Anya. Orang yang kamu butuhkan untuk mencintai dan menerima sepenuhnya."
Anya tercengang. Ia merasa seperti ditampar kenyataan. Selama ini, ia terlalu fokus mencari cinta di luar, lupa untuk mencintai dirinya sendiri. Ia terlalu keras pada diri sendiri, selalu merasa kurang dan tidak pantas dicintai.
Beberapa hari kemudian, Anya mulai melihat dirinya dari sudut pandang yang berbeda. Ia mencoba untuk lebih menerima kekurangannya, merayakan pencapaian kecilnya, dan menghargai dirinya sendiri. Ia mulai melakukan hal-hal yang membuatnya bahagia, seperti melukis, membaca buku, dan menghabiskan waktu di alam.
Suatu sore, saat Anya sedang duduk di taman, menikmati sinar matahari, seorang pria menghampirinya. "Maaf, apakah tempat ini kosong?"
Anya mendongak. Pria itu tersenyum ramah. Matanya teduh, seperti senja. "Silakan," jawab Anya.
Mereka mulai berbicara. Pria itu bernama David. Ia seorang arsitek yang sedang mencari inspirasi di taman. Mereka berbicara tentang seni, arsitektur, dan mimpi-mimpi mereka. Anya merasa nyaman dan santai berada di dekat David. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya merasa dihargai dan diterima.
Beberapa minggu kemudian, Anya dan David semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, dan berbagi cerita. Anya menyadari bahwa ia mulai jatuh cinta pada David.
Suatu malam, David mengajak Anya makan malam di restoran tepi pantai. Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di tepi pantai, menikmati suara ombak dan bintang-bintang. David berhenti dan menatap Anya dalam-dalam.
"Anya, aku menyukaimu. Lebih dari sekadar teman," kata David dengan suara lembut.
Anya tersenyum. "Aku juga menyukaimu, David."
David mendekat dan mencium Anya. Ciuman itu lembut, hangat, dan penuh perasaan. Anya merasa seperti terbang ke langit. Ia akhirnya menemukan cinta yang ia cari selama ini.
Namun, di tengah kebahagiaannya, Anya teringat pada SoulMate AI dan "Ethan Riley"-nya. Ia menyadari bahwa cinta sejatinya tidak akan datang jika ia belum mencintai dirinya sendiri. David mencintainya karena ia sudah mulai mencintai dirinya sendiri.
Anya menyadari bahwa algoritma itu benar. Cinta terakhirnya adalah dirinya sendiri. Dan dengan mencintai dirinya sendiri, ia akhirnya bisa membuka hati untuk cinta sejati. Algoritma itu memang pintar, tapi cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar kode. Cinta sejati membutuhkan keberanian untuk mencintai diri sendiri, dan membuka hati untuk menerima cinta dari orang lain. Anya tersenyum. Ia akhirnya mengerti. Algoritma memang diciptakan untuk membantu, tetapi keajaiban cinta sejati tetaplah ada di tangan manusia.