Cinta yang Dikompilasi Tanpa Celah: Hubungan Sempurna?

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 19:30:15 wib
Dibaca: 167 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Sarah. Di layar laptopnya, baris-baris kode Python menari-nari, membentuk algoritma rumit yang ia beri nama, "Soulmate 3.0." Senyum tipis menghiasi bibirnya. Selama berbulan-bulan, ia mencurahkan seluruh energi dan keahliannya dalam proyek ini, sebuah aplikasi kencan yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data mendalam: preferensi musik, buku favorit, nilai-nilai hidup, bahkan pola tidur dan ekspresi wajah saat tersenyum. Bukan sekadar algoritma biasa, ini adalah manifestasi obsesinya akan cinta yang efisien, terprediksi, dan tanpa cela.

Sarah, seorang programmer jenius di usia 28 tahun, selalu merasa kesulitan memahami kompleksitas hubungan manusia. Baginya, emosi adalah bug yang sulit di-debug. Pengalaman masa lalunya dipenuhi dengan patah hati yang tidak terduga, argumen yang tak masuk akal, dan perasaan yang irasional. Ia percaya bahwa dengan data yang cukup, ia bisa memecahkan kode cinta itu sendiri.

Soulmate 3.0 telah diluncurkan seminggu yang lalu, dan hasilnya di luar ekspektasinya. Ribuan pengguna telah mendaftar, dan banyak yang memberikan ulasan positif tentang tingkat akurasi kecocokan yang ditawarkan. Namun, Sarah tidak tertarik dengan validasi dari orang asing. Ia hanya tertarik pada satu hal: menguji algoritmanya sendiri.

Dengan gugup, ia memasukkan datanya sendiri ke dalam Soulmate 3.0. Ia mengisi setiap kolom dengan jujur, tanpa ada yang disembunyikan. Algoritma berputar, menghitung, dan menganalisis. Beberapa detik kemudian, sebuah nama muncul di layar: "Adam."

Profil Adam memenuhi layarnya. Pria berusia 30 tahun, seorang arsitek lanskap yang menyukai puisi Rumi, mendengarkan jazz klasik, dan memiliki anjing golden retriever bernama Galileo. Profilnya terasa familiar, seolah Sarah telah mengenalnya seumur hidup. Skor kecocokan mereka mencapai 98,7%, angka yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Sarah menelan ludah. Ini terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Ia mengirimkan pesan kepada Adam.

"Hai Adam, saya Sarah. Soulmate 3.0 mencocokkan kita dengan skor yang sangat tinggi. Saya penasaran untuk mengenalmu lebih jauh."

Balasan Adam datang hampir seketika. "Halo Sarah! Saya juga sangat terkejut dengan skornya. Saya juga penasaran. Apakah kamu mau minum kopi minggu ini?"

Pertemuan mereka di kedai kopi lokal terasa seperti adegan yang di-skrip dengan sempurna. Mereka membicarakan buku favorit mereka, impian mereka, dan ketakutan mereka. Setiap kata yang diucapkan Adam terasa selaras dengan isi hati Sarah. Mereka tertawa pada lelucon yang sama, mengangguk setuju pada pandangan yang sama, dan bahkan memesan kopi yang sama.

Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari, menjelajahi kota, memasak makan malam bersama, dan berdiskusi tentang segala hal di bawah matahari. Sarah merasa bahagia, tenang, dan aman dalam pelukan Adam. Ia merasa telah menemukan kepingan puzzle yang selama ini hilang dalam hidupnya.

Namun, di tengah kebahagiaan ini, bisikan keraguan mulai merayapi pikirannya. Semuanya terasa terlalu mudah, terlalu lancar, terlalu…sempurna. Tidak ada argumen, tidak ada perbedaan pendapat, tidak ada kejutan. Setiap interaksi terasa seperti validasi data yang terus-menerus, konfirmasi bahwa algoritma telah bekerja dengan sempurna.

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di apartemen Sarah, ia memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya.

"Adam," kata Sarah, suaranya bergetar sedikit, "Apakah kamu pernah merasa… bahwa ini semua terlalu sempurna?"

Adam meletakkan garpunya. "Apa maksudmu?"

"Maksudku… kita belum pernah bertengkar, kita selalu setuju, kita bahkan menyukai makanan yang sama. Ini… aneh. Bukankah hubungan itu seharusnya penuh dengan tantangan dan kejutan?"

Adam tersenyum lembut. "Mungkin kita hanya beruntung, Sarah. Mungkin kita telah menemukan seseorang yang benar-benar cocok dengan kita."

"Tapi apakah itu benar-benar cinta? Atau hanya validasi algoritma?"

Adam terdiam sejenak. "Apakah ada bedanya?"

Pertanyaan Adam menusuk jantung Sarah. Apakah ada bedanya? Selama bertahun-tahun, ia telah berusaha mereduksi cinta menjadi sekumpulan data dan algoritma. Sekarang, ia tidak yakin lagi.

"Mungkin ada," jawab Sarah pelan. "Mungkin cinta itu lebih dari sekadar kecocokan. Mungkin cinta itu tentang menerima ketidaksempurnaan, tentang belajar dari perbedaan, tentang tumbuh bersama melalui tantangan."

Adam meraih tangannya. "Sarah, aku mencintaimu. Aku mencintai kecerdasanmu, ambisimu, dan hatimu. Apakah itu tidak cukup?"

Sarah menatap mata Adam, mencari jawaban. Ia melihat cinta, kasih sayang, dan kekaguman. Tetapi ia juga melihat sesuatu yang lain: sebuah refleksi dari dirinya sendiri, sebuah proyeksi dari algoritma yang telah ia ciptakan.

"Aku… aku tidak tahu," kata Sarah, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu apakah aku mencintaimu, Adam. Atau apakah aku hanya mencintai hasil kerjaku."

Malam itu, Sarah tidak bisa tidur. Ia berjalan mondar-mandir di apartemennya, mencoba memahami apa yang telah terjadi. Ia telah mencapai tujuannya: menciptakan hubungan yang sempurna. Tapi kesempurnaan itu terasa hampa, tanpa jiwa, tanpa gairah.

Keesokan harinya, Sarah mengambil keputusan yang sulit. Ia menemui Adam dan mengatakan kepadanya bahwa ia membutuhkan waktu untuk memikirkan semuanya. Adam menerimanya dengan pengertian.

Sarah kembali ke laptopnya. Ia membuka kode Soulmate 3.0 dan mulai melakukan perubahan. Ia menambahkan elemen ketidakpastian, ambiguitas, dan randomisasi. Ia menambahkan kemampuan bagi algoritma untuk membuat kesalahan, untuk menghasilkan kecocokan yang tidak sempurna.

Ia menyadari bahwa cinta bukanlah tentang menemukan seseorang yang sempurna, tetapi tentang belajar mencintai ketidaksempurnaan. Cinta bukanlah tentang validasi data, tetapi tentang penerimaan tanpa syarat. Cinta bukanlah tentang algoritma, tetapi tentang hati.

Sarah belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia belum tahu apakah ia akan kembali kepada Adam, atau mencari cinta di tempat lain. Tetapi ia tahu satu hal: ia tidak akan pernah lagi mencoba mengkompilasi cinta menjadi kode. Ia akan membiarkan cinta berkembang dengan sendirinya, dengan segala celah dan ketidaksempurnaannya. Karena mungkin, justru di dalam celah-celah itulah cinta yang sebenarnya ditemukan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI