Cinta di Era AI: Algoritma Menulis Ulang Takdir?

Dipublikasikan pada: 20 Nov 2025 - 00:40:17 wib
Dibaca: 122 kali
Aplikasi kencan "Soulmate AI" berdering pelan di pergelangan tanganku. Sebuah notifikasi berwarna merah jambu berkedip: "Kompatibilitas 98% - Amara. Profil baru yang cocok untukmu, Ardi." Aku menghela napas, menatap pantulan diriku di layar laptop. Rambutku berantakan, mata sembap karena kurang tidur, dan pipiku tirus karena terlalu banyak kopi dan terlalu sedikit makanan sehat. Kisahku dengan teknologi percintaan memang tidak pernah berjalan mulus.

Soulmate AI menjanjikan segalanya: jodoh yang dihitung secara matematis berdasarkan data kepribadian, minat, bahkan gelombang otak. Teorinya terdengar sempurna. Praktiknya? Aku sudah menghabiskan enam bulan berkencan dengan perempuan-perempuan yang "secara algoritmik" ideal untukku, namun hasilnya selalu sama: kencan yang canggung, percakapan yang dipaksakan, dan perasaan hampa yang semakin besar.

Kali ini, profil Amara cukup menarik. Seorang arsitek lanskap, penyuka puisi Rumi, dan memiliki selera humor yang sedikit sinis, sama seperti diriku. Foto-fotonya menunjukkan senyum yang tulus dan mata yang berbinar. Entah kenapa, aku merasa sedikit tertarik.

"Oke, Soulmate AI," gumamku, "Mari kita lihat apakah algoritma kali ini benar."

Aku mengirimkan pesan singkat ke Amara. Tidak lama kemudian, balasannya muncul. Kami bertukar pesan selama beberapa hari, dan percakapan kami terasa mudah dan mengalir. Kami sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang dipenuhi tanaman, dekat dengan taman kota.

Ketika Amara tiba, aku tertegun. Dia lebih cantik dari fotonya. Rambutnya yang ikal bergelombang indah, matanya memancarkan kehangatan, dan senyumnya membuat jantungku berdebar. Kami menghabiskan sore itu berbicara tentang segala hal: mimpi kami, ketakutan kami, dan rasa frustrasi kami terhadap algoritma kencan.

"Aku juga skeptis dengan semua ini," kata Amara sambil menyesap kopinya. "Tapi aku pikir, apa salahnya mencoba? Mungkin saja ada sesuatu yang tidak bisa dihitung oleh algoritma, sesuatu yang hanya bisa dirasakan."

Aku mengangguk setuju. Seiring berjalannya waktu, aku semakin menyadari bahwa Amara bukan hanya sekadar profil yang dianalisis oleh AI. Dia adalah seseorang yang nyata, dengan cerita dan emosi yang kompleks. Aku mulai melupakan semua perhitungan rumit Soulmate AI dan fokus pada percakapan kami, tawanya, dan cara dia menatapku.

Kami berkencan beberapa kali lagi. Kami berjalan-jalan di taman kota, menikmati senja di tepi sungai, dan tertawa hingga sakit perut saat menonton film komedi yang konyol. Aku merasa nyaman dan bahagia bersamanya, sesuatu yang belum pernah aku rasakan dalam waktu yang lama.

Suatu malam, setelah mengantarnya pulang, aku berdiri di depan pintu apartemenku, merenungkan semuanya. Aku merasa seperti sedang berada di persimpangan jalan. Satu jalan adalah kembali ke zona nyamanku, mengandalkan algoritma untuk menemukan cinta yang sempurna. Jalan yang lain adalah mengambil risiko, mempercayai perasaanku, dan mengejar hubungan yang mungkin tidak sempurna, tetapi terasa nyata.

Aku membuka aplikasi Soulmate AI. Sebuah pesan dari Amara muncul: "Aku senang bertemu denganmu, Ardi. Kuharap kita bisa bertemu lagi."

Jantungku berdebar kencang. Aku mengetik balasan: "Aku juga, Amara. Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke pantai akhir pekan ini?"

Dia membalas dengan cepat: "Kedengarannya sempurna!"

Aku tersenyum. Mungkin saja algoritma telah menemukan kami, tetapi keputusan untuk bersama adalah milik kami sendiri.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Beberapa minggu kemudian, aku menemukan sesuatu yang mengejutkan. Aku sedang memperbaiki masalah kecil di aplikasi Soulmate AI di laptopku, ketika tanpa sengaja aku menemukan sebuah dokumen. Dokumen itu berisi catatan tentang "Proyek Butterfly," sebuah inisiatif rahasia di dalam Soulmate AI.

Aku membaca dengan saksama. Proyek Butterfly ternyata adalah sebuah program eksperimental yang dirancang untuk memanipulasi pengguna agar jatuh cinta dengan profil tertentu. Algoritma tidak hanya mencocokkan pengguna berdasarkan data, tetapi juga secara aktif memengaruhi interaksi mereka, menggunakan teknik psikologi dan rekayasa sosial untuk menciptakan ilusi kompatibilitas.

Aku merasa perutku mual. Apakah mungkin... apakah Amara adalah bagian dari Proyek Butterfly? Apakah semua yang kami rasakan, semua percakapan dan tawa itu, hanyalah hasil manipulasi algoritma?

Aku menghubungi Amara, dengan perasaan campur aduk antara harapan dan ketakutan. Kami bertemu di kafe tempat kami pertama kali bertemu. Aku menunjukkan dokumen itu padanya.

Wajah Amara memucat. Dia membaca dokumen itu berulang kali, dengan ekspresi tidak percaya. "Ini... ini tidak mungkin," katanya lirih. "Aku tidak tahu apa-apa tentang ini."

Aku menatap matanya, mencari kebohongan. Tapi yang aku lihat hanyalah kebingungan dan kesedihan yang tulus.

"Aku percaya padamu," kataku akhirnya. "Tapi aku harus tahu. Apakah ada sesuatu yang kau sembunyikan?"

Amara menghela napas panjang. "Ada sesuatu yang aku rahasiakan darimu," katanya. "Aku... aku bekerja untuk Soulmate AI."

Jantungku terasa berhenti berdetak. "Apa?"

"Aku seorang arsitek lanskap yang bekerja sebagai konsultan untuk Soulmate AI," jelas Amara. "Aku membantu mereka mendesain pengalaman pengguna yang lebih menarik dan personal. Aku tahu ini terdengar buruk, tapi aku bersumpah, aku tidak tahu apa-apa tentang Proyek Butterfly. Aku bahkan tidak tahu bahwa proyek ini ada."

Aku terdiam, mencoba mencerna semua informasi ini. Apakah Amara berbohong? Atau apakah dia benar-benar tidak tahu apa-apa tentang manipulasi algoritma?

"Aku bisa membuktikan bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang Proyek Butterfly," kata Amara. "Aku akan menunjukkan semua emailku, semua dokumenku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuktikan bahwa aku tulus padamu."

Aku menatapnya. Di matanya, aku melihat kejujuran dan ketakutan. Aku memutuskan untuk mempercayainya.

Kami menghabiskan beberapa hari berikutnya menyelidiki Proyek Butterfly. Kami menghubungi wartawan dan pengacara, dan kami mengumpulkan bukti untuk mengungkap kebenaran. Kami menemukan bahwa Proyek Butterfly telah memengaruhi ribuan pengguna Soulmate AI, menciptakan ilusi cinta dan kebahagiaan yang palsu.

Akhirnya, cerita kami dipublikasikan di media. Soulmate AI menghadapi tuntutan hukum dan kecaman publik. Proyek Butterfly dihentikan, dan perusahaan berjanji untuk mengubah algoritmanya agar lebih transparan dan etis.

Namun, kerusakan telah terjadi. Banyak pengguna merasa dikhianati dan kehilangan kepercayaan pada teknologi percintaan. Aku dan Amara juga merasa terluka. Kami harus berjuang untuk memulihkan hubungan kami, yang telah ternoda oleh manipulasi algoritma.

Butuh waktu yang lama, tetapi akhirnya kami berhasil. Kami belajar untuk mempercayai satu sama lain, untuk mengandalkan perasaan kami sendiri, dan untuk tidak menyerahkan takdir cinta kami pada algoritma. Kami menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa dihitung atau diprediksi. Cinta sejati adalah tentang koneksi manusia, tentang kerentanan, dan tentang keberanian untuk mengambil risiko.

Mungkin algoritma telah mencoba menulis ulang takdir kami, tetapi kami menolak untuk membiarkannya. Kami menulis ulang takdir kami sendiri, dengan tinta kejujuran, kepercayaan, dan cinta sejati. Kami belajar bahwa bahkan di era AI, manusia masih memiliki kekuatan untuk memilih, untuk mencintai, dan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI