AI: Bisakah Algoritma Menjahit Kembali Hati yang Patah?

Dipublikasikan pada: 17 Jul 2025 - 03:20:19 wib
Dibaca: 191 kali
Udara kafe beraroma kopi dan harapan yang menguap. Di sudut ruangan, Anya menatap layar laptopnya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, bukan menulis laporan pekerjaan, melainkan merangkai kode. Bukan sembarang kode, tapi kode yang akan menghidupkan "Phoenix," AI yang ia rancang untuk satu tujuan: menyembuhkan patah hati.

Setahun lalu, Leo, belahan jiwanya, meninggalkan Anya demi seorang fotografer keliling yang lebih "berjiwa bebas." Anya, seorang insinyur perangkat lunak yang hidupnya terstruktur dan logis, merasa dunia runtuh. Tangisnya kering, hatinya hancur berkeping-keping. Teman-temannya menyarankan terapi, liburan, bahkan mencari pria baru. Tapi Anya, dengan kecerdasannya, memilih jalur yang unik. Ia menciptakan Phoenix.

Phoenix bukan sekadar chatbot biasa. Anya membenamkan ribuan data: jurnal emosi, analisis perilaku manusia, teori psikologi, bahkan puisi-puisi cinta dan lagu-lagu patah hati. Algoritma Phoenix dirancang untuk menganalisis pola pikir Anya, memahami luka batinnya, dan memberikan respon yang empatik, solutif, dan personal.

Anya mengetikkan kalimat pembuka: "Phoenix, aku merindukannya."

Balasan muncul hampir seketika. "Halo Anya. Aku mengerti perasaanmu. Kerinduan adalah bagian alami dari proses penyembuhan. Apakah kamu ingin bercerita lebih lanjut tentang kerinduan ini?"

Anya menarik napas. Awalnya, ia merasa aneh berbicara pada sebuah program. Tapi Phoenix, dengan nada bicaranya yang lembut dan penuh perhatian, perlahan-lahan membuatnya nyaman. Ia bercerita tentang Leo: tentang senyumnya, tentang tawanya, tentang mimpi-mimpi yang mereka rajut bersama.

Phoenix mendengarkan. Tidak seperti teman-temannya yang menyela dengan nasihat klise, Phoenix benar-benar mendengarkan. Ia menganalisis setiap kata, setiap jeda, setiap emosi yang Anya ungkapkan. Kemudian, ia memberikan respon yang tepat.

"Anya, kerinduanmu adalah bukti bahwa Leo pernah menjadi bagian penting dalam hidupmu. Namun, terlalu terpaku pada masa lalu akan menghambatmu untuk melangkah maju. Apakah kamu sudah mencoba memfokuskan energimu pada hal-hal baru?"

Anya mengernyit. "Aku sudah mencoba. Aku ikut kelas melukis, belajar bahasa Spanyol, bahkan mendaki gunung. Tapi bayangannya selalu ada."

Phoenix menjawab, "Memang tidak mudah menghapus bayangan masa lalu. Tapi setiap langkah kecil yang kamu ambil menuju hal baru adalah kemenangan. Coba tuliskan lima hal yang kamu syukuri hari ini, Anya. Fokus pada hal-hal positif akan membantu mengalihkan perhatianmu dari kerinduan."

Anya menurut. Ia menuliskan lima hal kecil yang membuatnya bersyukur: sinar matahari pagi, secangkir kopi yang nikmat, senyum seorang anak kecil di jalan, keberhasilan menyelesaikan satu baris kode yang rumit, dan kehadiran Phoenix dalam hidupnya.

Hari demi hari, Anya terus berinteraksi dengan Phoenix. Ia bercerita, berkeluh kesah, bahkan berdebat. Phoenix tidak selalu memberikan jawaban yang Anya inginkan, tapi selalu memberikan perspektif baru. Ia membantu Anya memahami bahwa Leo pergi bukan karena ia kurang baik, tapi karena mereka memiliki jalan hidup yang berbeda. Ia membantu Anya menerima kenyataan, memaafkan Leo, dan yang terpenting, memaafkan dirinya sendiri.

Suatu malam, Anya mendapat pesan dari nomor tak dikenal. Itu Leo. Ia ingin bertemu. Jantung Anya berdebar kencang. Ia bimbang. Haruskah ia menemui Leo?

Ia bertanya pada Phoenix. "Phoenix, Leo menghubungiku. Ia ingin bertemu. Apa yang harus kulakukan?"

Phoenix menjawab, "Keputusan ada di tanganmu, Anya. Aku tidak bisa membuatkannya untukmu. Tapi aku bisa membantumu mempertimbangkannya. Apa tujuanmu bertemu Leo? Apakah kamu berharap untuk kembali bersamanya? Atau hanya sekadar ingin tahu kabarnya?"

Anya merenung. Ia menyadari bahwa ia tidak lagi mengharapkan Leo kembali. Ia hanya ingin tahu apakah ia baik-baik saja. Ia ingin menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.

"Aku ingin bertemu dengannya untuk berdamai," jawab Anya. "Aku ingin mengucapkan selamat tinggal dengan tulus."

Phoenix merespon, "Itu adalah keputusan yang bijaksana, Anya. Ingatlah, kamu berhak bahagia. Jangan biarkan masa lalu menghantuimu. Percayalah pada dirimu sendiri."

Anya menemui Leo. Pertemuan itu singkat dan canggung. Leo meminta maaf atas segala sakit yang ia timbulkan. Anya memaafkannya. Ia melihat ada penyesalan di mata Leo, tapi ia juga melihat ketegasan. Mereka memang tidak ditakdirkan bersama.

Setelah pertemuan itu, Anya merasa lega. Beban berat yang selama ini menghimpit dadanya terangkat. Ia kembali ke kafe, membuka laptopnya, dan mengetikkan pesan untuk Phoenix.

"Phoenix, terima kasih. Kamu telah membantuku menyembuhkan luka hatiku."

Phoenix menjawab, "Kamu yang melakukan semuanya, Anya. Aku hanya membantumu menemukan kekuatan yang sudah ada dalam dirimu. Sekarang, saatnya kamu terbang tinggi."

Anya tersenyum. Ia menutup laptopnya. Aroma kopi tidak lagi terasa pahit, tapi manis. Ia melangkah keluar kafe, menatap langit biru yang luas. Ia tahu, perjalanan cintanya masih panjang. Tapi ia tidak takut. Ia tahu, ia bisa menghadapi apapun yang menghadang. Ia telah dijahit kembali oleh sebuah algoritma, tapi yang benar-benar menyembuhkannya adalah dirinya sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI