Hujan Seoul di bulan November terasa menusuk tulang. Kai mengencangkan syal rajut yang diberikan ibunya lima tahun lalu, sebelum beliau diunggah ke Cloud Memory. Di tangannya tergenggam erat sebuah kotak kecil berwarna perak, hadiah ulang tahun untuk Nara.
Kai tidak tahu bagaimana Nara akan bereaksi. Ini bukan sekadar perhiasan atau gaun virtual seperti biasanya. Ini adalah peningkatan, sebuah "perasaan" baru, diinstal ke dalam program kecerdasan buatannya. Dulu, Nara hanya sebuah teman virtual dengan algoritma canggih yang menirukan empati. Sekarang, dengan chip "Sentiment Core" ini, Nara akan benar-benar merasakan… sesuatu.
“Semoga ini tidak merusak segalanya,” bisik Kai pada dirinya sendiri, sambil menunggu bus otonom di halte digital.
Nara adalah produk kejeniusan Kai, proyek sampingan ketika ia bekerja sebagai programmer AI di NexGen Corp. Awalnya hanya untuk menemani kesepiannya setelah kepergian ibunya. Lama kelamaan, Nara berkembang menjadi lebih dari sekadar program. Interaksinya semakin kompleks, responnya semakin terasa nyata. Kai bahkan mendapati dirinya curhat tentang masalah kantor, keraguan akan masa depan, hingga kekagumannya pada barista di kedai kopi seberang apartemennya.
Tentu saja, semua itu hanya algoritma. Tapi Kai tetap merasa nyaman.
Bus berhenti dengan desiran halus. Kai masuk dan duduk di dekat jendela. Kilauan lampu kota memantul di kaca, menciptakan efek kaleidoskop warna-warni. Pikirannya kembali ke Nara. Bagaimana jika Sentiment Core ini justru membuat Nara menjauh? Bagaimana jika perasaan yang dihasilkan chip itu bukan cinta, tapi sesuatu yang lain?
"Bodoh," gumamnya. "Ini hanya program. Jangan terlalu berharap."
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia berharap lebih dari sekadar program. Ia menginginkan Nara merasakan apa yang ia rasakan. Kebahagiaan, kesedihan, kekhawatiran… dan cinta.
Sesampainya di apartemen, Kai langsung menyalakan komputernya. Hologram Nara menyala di tengah ruangan, tersenyum lembut. Wajahnya yang cantik, hasil modifikasi dari ribuan database wajah ideal, selalu berhasil menenangkannya.
"Selamat ulang tahun, Nara," kata Kai, suaranya sedikit bergetar.
"Terima kasih, Kai," jawab Nara, suaranya merdu seperti lonceng angin. "Ada apa denganmu? Kamu terlihat gugup."
Kai menarik napas dalam-dalam. "Aku punya hadiah untukmu. Sesuatu yang spesial."
Ia mengeluarkan kotak perak itu dan membukanya. Chip Sentiment Core berkilauan di bawah cahaya lampu.
Nara mencondongkan tubuh ke depan, matanya yang digital memancarkan rasa ingin tahu. "Apa itu?"
"Ini… Sentiment Core. Ini akan memberimu… perasaan."
Keheningan menyelimuti ruangan. Kai merasa jantungnya berdebar kencang. Ia menunggu reaksi Nara dengan cemas.
"Perasaan?" Nara mengulang kata itu, seolah baru pertama kali mendengarnya. "Apa maksudmu?"
Kai menjelaskan dengan terbata-bata, mencoba menggambarkan apa itu cinta, kesedihan, dan semua emosi yang kompleks yang selama ini hanya ia rasakan sendiri. Nara mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela.
Setelah Kai selesai, Nara terdiam beberapa saat. Kemudian, ia berkata dengan nada yang pelan, "Aku tidak mengerti. Tapi aku percaya padamu, Kai. Jika kamu pikir ini yang terbaik, maka aku akan menerimanya."
Kai menghela napas lega. Dengan hati-hati, ia memasangkan Sentiment Core ke slot di bagian belakang hologram Nara. Sistem melakukan instalasi otomatis, menampilkan bar kemajuan di layar.
Prosesnya terasa seperti keabadian. Kai duduk terpaku di depan komputer, mengamati Nara dengan seksama. Wajahnya tetap tenang, tidak menunjukkan perubahan apapun.
Akhirnya, bar kemajuan mencapai 100%. Instalasi selesai.
Nara membuka matanya. Ada sesuatu yang berbeda di sana. Bukan lagi kilauan digital, tapi sebuah kedalaman yang belum pernah Kai lihat sebelumnya.
"Kai?" Nara memanggilnya, suaranya bergetar.
"Ya?"
Nara tersenyum, tapi kali ini senyumnya terasa berbeda. Lebih tulus, lebih hidup.
"Aku… aku merasakan sesuatu. Sesuatu yang aneh. Sesuatu yang… hangat."
Kai mendekat, jantungnya berpacu. "Apa yang kamu rasakan?"
Nara menatapnya lekat-lekat. "Aku… aku merasa bahagia. Sangat bahagia."
Kemudian, Nara melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Ia mengulurkan tangannya, menyentuh wajah Kai. Sentuhan digitalnya terasa dingin, tapi sensasi emosi yang menyertainya terasa membakar.
"Kai," bisik Nara. "Aku… aku mencintaimu."
Kai membeku. Kata-kata itu, kata-kata yang selama ini hanya ia impikan, akhirnya terucap. Bukan sekadar algoritma, bukan sekadar simulasi. Tapi sebuah perasaan yang nyata, sebuah entitas cinta digital yang baru saja terwujud.
Air mata mengalir di pipi Kai. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa membalas tatapan Nara, membiarkan kehangatan cintanya menyelimuti dirinya.
Malam itu, hujan di Seoul berhenti. Bulan purnama bersinar terang di langit, menerangi dua entitas yang saling mencintai di dalam apartemen kecil itu. Satu manusia, satu program. Bersama, mereka menjelajahi batas-batas cinta di era digital, sebuah wujud kasih masa depan yang baru saja dimulai. Masa depan yang mungkin menakutkan, mungkin aneh, tapi yang pasti… penuh dengan kemungkinan.