Algoritma Rindu: Cinta dalam Pusaran Data dan Kenangan

Dipublikasikan pada: 30 Jun 2025 - 00:40:10 wib
Dibaca: 171 kali
Jemarinya lincah menari di atas keyboard. Di balik layar laptop, wajah Maya memendar biru, diterangi cahaya dunia maya yang tak pernah tidur. Pukul 02:37 dini hari, dan dia masih terjaga, tenggelam dalam lautan kode. Kali ini, bukan kode program kantor, melainkan kode cinta. Atau setidaknya, itulah yang dia harap.

"Algoritma Rindu," gumamnya, nyaris tak terdengar. Di layar, baris-baris kode Python berkelip. Ia mencoba menyusun sebuah program yang, menurutnya, bisa menangkap esensi kerinduannya pada Arya.

Arya. Nama itu bagaikan password yang membuka semua folder kenangan di benaknya. Senyumnya, aroma kopi yang selalu dibawanya, tatapannya yang teduh, semuanya tersimpan rapi dalam file-file digital di otaknya. Dulu, mereka bekerja di perusahaan teknologi yang sama, satu tim. Dulu, dunia mereka berputar di sekitar baris kode, server, dan deadline. Dulu, cinta mereka terasa nyata, semanis sintaksis yang sempurna.

Namun, semua itu berubah ketika Arya memutuskan untuk menerima tawaran bekerja di Silicon Valley. Mimpi besar membawanya pergi, meninggalkan Maya di Jakarta, bersama rindu yang semakin hari semakin membuncah. Mereka berjanji untuk tetap berhubungan, menjaga api cinta tetap menyala. Namun, jarak dan kesibukan seolah menjadi firewall yang menghalangi koneksi mereka.

Pesan singkat semakin jarang, panggilan video semakin singkat. Arya sibuk dengan impiannya, Maya tenggelam dalam kesendirian. Rindu itu menggerogoti, menjadi bug yang merusak sistem kebahagiaannya.

Maka, lahirlah ide gila ini: Algoritma Rindu. Maya ingin menciptakan program yang bisa menganalisis data percakapan mereka, pola interaksi mereka, bahkan ekspresi wajah mereka saat video call. Tujuannya? Untuk memahami, apa yang salah? Di mana celah yang membuat cinta mereka merenggang? Apakah rindu Arya padanya sama besarnya dengan rindunya pada Arya?

“Gila,” bisiknya lagi, menggelengkan kepala. "Tapi, aku tidak punya pilihan lain."

Ia terus berkutat dengan kode. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Maya mengumpulkan semua data yang bisa ia dapatkan: riwayat chat, rekaman video call, foto-foto lama, bahkan unggahan media sosial mereka. Ia melatih algoritmanya dengan data-data tersebut, berharap ia bisa mendapatkan jawaban.

Suatu malam, ketika algoritma itu akhirnya selesai, Maya merasa gugup. Ia menekan tombol "run". Proses analisis dimulai. Laptopnya bekerja keras, memproses gigabyte data. Di layar, angka-angka dan grafik bermunculan, bagaikan bahasa alien yang hanya bisa dipahami oleh mesin.

Setelah beberapa saat, layar berhenti. Muncul sebuah pesan: "Probabilitas Rindu Arya: 67%."

Maya terdiam. 67%? Angka itu terasa ambigu, tak pasti. Apakah itu cukup? Apakah itu berarti Arya masih mencintainya, meskipun tidak sebesar dulu?

Ia terus menatap layar, berharap ada penjelasan lebih lanjut. Kemudian, muncul lagi pesan: "Faktor Pengurang Rindu: Tekanan Pekerjaan, Perbedaan Zona Waktu, Kurangnya Komunikasi Tatap Muka."

Maya menghela napas. Algoritma itu hanya memberikan konfirmasi dari apa yang sudah ia ketahui. Arya sibuk, jarak memisahkan mereka, dan komunikasi mereka tidak seintens dulu. Bukan cinta yang hilang, melainkan terkikis oleh keadaan.

Ia merasa kecewa. Algoritma Rindu ternyata tidak seajaib yang ia bayangkan. Ia hanya sebuah program yang bisa menganalisis data, bukan membaca hati.

Tiba-tiba, terdengar suara notifikasi dari laptopnya. Sebuah pesan video masuk. Dari Arya.

Jantung Maya berdegup kencang. Ia ragu-ragu sebelum membuka pesan itu. Di layar, Arya terlihat lelah, namun senyumnya masih sama seperti yang ia ingat.

"Hai, Maya," sapanya, suaranya sedikit serak. "Maaf ya, akhir-akhir ini aku sibuk banget. Pekerjaan di sini benar-benar menyita waktu. Tapi, aku nggak pernah lupa sama kamu."

Arya menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu, kita jarang komunikasi. Aku tahu, jarak ini berat. Tapi, aku janji, aku akan berusaha lebih baik. Aku akan meluangkan waktu untukmu. Aku akan berusaha untuk tetap dekat, meskipun kita terpisah ribuan kilometer."

Kemudian, Arya tersenyum tulus. "Aku rindu kamu, Maya. Sangat rindu."

Mata Maya berkaca-kaca. Ia menutup laptopnya. Ia tidak membutuhkan algoritma untuk mengukur rindu Arya. Ia bisa merasakannya, dari tatapannya, dari suaranya, dari kata-katanya.

Ia sadar, cinta tidak bisa diukur dengan angka. Cinta adalah tentang perasaan, tentang komitmen, tentang usaha untuk tetap bersama, meskipun banyak rintangan menghadang.

Ia membuka ponselnya dan membalas pesan Arya. Singkat saja: "Aku juga rindu kamu, Arya. Sangat rindu."

Kemudian, ia mematikan lampu kamarnya. Malam itu, ia tidur dengan senyum di bibirnya. Algoritma Rindu mungkin gagal memberikan jawaban pasti, namun pesan dari Arya memberinya harapan baru. Harapan bahwa cinta mereka masih bisa diperjuangkan, meskipun dalam pusaran data dan kenangan. Mungkin, yang mereka butuhkan bukanlah algoritma, melainkan usaha yang lebih nyata, komunikasi yang lebih jujur, dan kepercayaan yang lebih besar. Dan itu, jauh lebih berharga daripada sekadar angka.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI