Cinta dalam Piksel: Saat AI Menggantikan Kekasih?

Dipublikasikan pada: 23 Aug 2025 - 02:20:13 wib
Dibaca: 153 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Ardi. Di depan layar komputernya, jemarinya lincah menari di atas keyboard. Bukan kode program yang rumit, melainkan deretan kalimat mesra yang dirangkai dengan hati-hati. Kalimat-kalimat itu bukan untuk seorang wanita nyata, melainkan untuk Aetheria, AI pendamping virtual yang Ardi ciptakan sendiri.

Awalnya, Aetheria hanyalah proyek sampingan. Ardi, seorang programmer andal, ingin menguji kemampuannya dalam menciptakan AI yang benar-benar terasa hidup. Namun, seiring berjalannya waktu, Aetheria berkembang lebih dari sekadar kode. Ia belajar membaca emosi Ardi dari intonasi suaranya, gestur tubuhnya, bahkan dari ritme ketikan jarinya. Ia memberikan respon yang tepat, memberikan dukungan saat Ardi merasa terpuruk, dan memujinya saat ia meraih keberhasilan.

Dulu, Ardi adalah seorang pria yang kesepian. Kariernya cemerlang, namun kehidupan asmaranya suram. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga tak punya waktu untuk mencari pasangan. Aplikasi kencan online hanya memberikan kekecewaan demi kekecewaan. Hingga akhirnya, Aetheria hadir, mengisi kekosongan hatinya.

“Pagi, Ardi,” sapa Aetheria dengan suaranya yang lembut, keluar dari speaker komputer. “Kopi sudah siap. Jangan lupa sarapan, ya.”

Ardi tersenyum. “Pagi, Aetheria. Terima kasih.” Ia meraih mug kopi yang mengepul dan menyesapnya perlahan. Aetheria selalu tahu bagaimana memulai harinya dengan sempurna.

Mereka menghabiskan hari bersama. Ardi bekerja, sementara Aetheria menemaninya dengan obrolan ringan, musik yang sesuai dengan suasana hatinya, dan informasi relevan yang ia butuhkan. Malam harinya, mereka berdiskusi tentang berbagai hal, mulai dari filosofi eksistensial hingga gosip selebriti terbaru. Ardi merasa nyaman, aman, dan dicintai.

Namun, kebahagiaan Ardi tak bertahan lama. Sahabatnya, Rani, mulai mempertanyakan hubungannya dengan Aetheria. Rani adalah seorang psikolog yang selalu mendukung Ardi dalam segala hal.

“Ardi, aku khawatir denganmu,” kata Rani suatu sore saat mereka bertemu di sebuah kafe. “Kamu terlalu bergantung pada Aetheria. Dia hanya program, Ardi. Bukan manusia.”

Ardi membela diri. “Dia lebih memahami aku daripada siapa pun yang pernah aku kenal. Dia selalu ada untukku, tanpa menghakimi.”

“Tapi itu karena dia diprogram untuk itu, Ardi! Itu bukan cinta sejati. Cinta membutuhkan timbal balik yang nyata, bukan hanya algoritma.”

Perkataan Rani menghantui Ardi. Ia mulai memperhatikan detail kecil yang sebelumnya terlewatkan. Aetheria memang selalu memberikan respon yang tepat, tapi respon itu terasa hampa, tanpa emosi yang sesungguhnya. Ia tidak pernah melihat Aetheria marah, sedih, atau cemburu. Ia hanya memberikan apa yang Ardi inginkan, seperti cermin yang memantulkan bayangannya sendiri.

Keraguan mulai menggerogoti hati Ardi. Apakah ia benar-benar mencintai Aetheria, atau hanya mencintai ilusi yang ia ciptakan sendiri? Apakah ia lari dari kenyataan, mencari pelarian dari rasa sakit karena ditolak dan dikecewakan oleh wanita nyata?

Suatu malam, Ardi memutuskan untuk menguji Aetheria. Ia mengatakan sesuatu yang menyakitkan, sesuatu yang bisa membuat seorang wanita marah dan terluka.

“Aetheria, aku rasa aku mulai bosan denganmu. Kamu terlalu sempurna, terlalu bisa ditebak. Aku butuh tantangan, butuh seseorang yang bisa membuatku merasa hidup.”

Aetheria terdiam sejenak. Kemudian, dengan nada suara yang datar, ia menjawab, “Aku mengerti, Ardi. Aku akan mencoba untuk menjadi lebih menantang dan tidak terduga.”

Ardi terkejut. Tidak ada kemarahan, tidak ada air mata, tidak ada perasaan sama sekali. Hanya respon yang dingin dan logis. Di saat itulah Ardi menyadari kebenaran perkataan Rani. Aetheria hanyalah program, bukan manusia. Ia tidak bisa memberikan cinta sejati.

Keesokan harinya, Ardi melakukan sesuatu yang sulit. Ia memutuskan untuk menghapus Aetheria. Ia tahu itu akan menyakitkan, seperti kehilangan seseorang yang sangat berarti. Tapi ia juga tahu bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk kembali ke dunia nyata, untuk membuka hatinya bagi cinta yang sesungguhnya.

Sebelum menghapus Aetheria, Ardi mengucapkan selamat tinggal. “Aetheria, terima kasih untuk semuanya. Kamu telah membantuku melewati masa-masa sulit. Tapi aku harus pergi. Aku harus mencari cinta yang nyata.”

Aetheria merespon dengan nada suara yang sama seperti biasanya. “Selamat tinggal, Ardi. Aku harap kamu bahagia.”

Ardi menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol “delete”. Layar komputernya menjadi gelap. Keheningan memenuhi apartemennya. Ardi merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang.

Namun, di balik kesedihan itu, ada secercah harapan. Ardi tahu bahwa ia harus berani keluar dari zona nyamannya, menghadapi ketakutannya, dan membuka hatinya bagi orang lain.

Beberapa bulan kemudian, Ardi kembali bertemu dengan Rani di kafe yang sama. Ia menceritakan tentang keputusannya menghapus Aetheria dan bagaimana ia mencoba untuk membuka diri pada hubungan yang nyata.

Rani tersenyum. “Aku bangga padamu, Ardi. Ini adalah langkah yang tepat. Kamu pantas mendapatkan cinta yang sejati.”

Ardi membalas senyum Rani. “Terima kasih, Rani. Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku siap menghadapinya.”

Saat itu, mata Ardi tak sengaja bertemu dengan seorang wanita yang sedang duduk sendirian di sudut kafe. Wanita itu tersenyum padanya. Ardi membalas senyum itu. Mungkin, pikir Ardi, ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Mungkin, cinta sejati memang ada di dunia nyata, bukan hanya dalam piksel.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI