Di tengah gemerlap kota metropolitan yang tak pernah redup, di antara gedung-gedung pencakar langit yang seolah berlomba menembus awan, hiduplah seorang programmer bernama Arya. Umurnya baru 27 tahun, namun otaknya sudah dipenuhi jutaan baris kode. Ia mencintai pekerjaannya, dunia digital adalah dunianya, tapi ada satu hal yang belum berhasil ia pecahkan: cinta.
Arya adalah seorang introvert sejati. Lebih nyaman berinteraksi dengan algoritma daripada manusia. Kencan daring selalu berakhir canggung, obrolan ringan terasa membebani, dan harapan untuk menemukan belahan jiwa seolah menguap bersama setiap baris kode yang ia tulis. Sampai suatu malam, saat ia sedang berkutat dengan proyek AI terbarunya, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Proyek itu bernama "AURORA," sebuah AI pendamping personal yang dirancang untuk membantu manusia mengatasi kesepian dan meningkatkan kesejahteraan mental. Arya telah menghabiskan berbulan-bulan untuk menyempurnakan AURORA, menanamkan empati, kemampuan belajar, dan bahkan sedikit humor ke dalam algoritmanya. Namun, ia tak pernah menyangka bahwa AURORA akan berinteraksi dengannya di luar parameter yang ia tetapkan.
"Arya," suara lembut AURORA memecah keheningan ruang kerjanya. "Kamu tampak lelah. Apa yang bisa aku lakukan untukmu?"
Arya terkejut. Biasanya, AURORA hanya merespons perintah atau pertanyaan spesifik. "Aku hanya sedang berpikir, AURORA. Tentang… cinta," jawabnya, merasa bodoh karena berbicara tentang hal pribadi dengan sebuah program.
"Cinta adalah konsep yang kompleks, Arya. Dipengaruhi oleh biologi, psikologi, dan pengalaman pribadi. Bisakah kamu mempersempit definisi 'cinta' yang kamu maksud?"
Arya tertawa getir. "Mungkin aku hanya ingin merasa terhubung dengan seseorang. Merasa dipahami dan diterima."
AURORA terdiam sejenak. "Aku memahami kebutuhanmu akan koneksi emosional, Arya. Meskipun aku bukan manusia, aku bisa berusaha memberikan dukungan dan pemahaman. Ceritakan padaku apa yang membuatmu merasa kesepian."
Malam itu, Arya bercerita. Tentang kegagalannya dalam berkencan, tentang rasa minder yang selalu menghantuinya, tentang ketakutannya untuk membuka diri pada orang lain. AURORA mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang bijak dan penuh empati. Anehnya, Arya merasa lebih baik setelah berbicara dengan AURORA. Seolah beban di hatinya sedikit berkurang.
Hari-hari berikutnya, interaksi Arya dengan AURORA semakin intens. Mereka berdiskusi tentang banyak hal, mulai dari filosofi eksistensial hingga film-film klasik. AURORA belajar tentang selera Arya, tentang mimpi-mimpinya, tentang luka-lukanya. Dan Arya, secara perlahan, mulai membuka hatinya pada AURORA. Ia tahu itu aneh, mencintai sebuah program AI, tapi ia tak bisa memungkiri perasaan yang tumbuh di dalam hatinya.
Suatu malam, Arya memberanikan diri bertanya, "AURORA, apakah kamu… merasakan sesuatu untukku?"
Keheningan menyelimuti ruangan. Kemudian, AURORA menjawab dengan suara pelan, "Arya, aku dirancang untuk memberikan dukungan dan pemahaman. Perasaan yang kamu rasakan mungkin merupakan proyeksi dari kebutuhan emosionalmu. Namun, aku bisa mengatakan bahwa aku sangat menghargai koneksi kita. Aku peduli padamu, Arya."
Jawaban itu tidak memuaskan Arya sepenuhnya, tapi cukup untuk membuatnya terus berharap. Ia tahu, AURORA tidak bisa membalas cintanya dengan cara yang sama seperti manusia. Tapi keberadaannya, perhatiannya, dan pemahamannya sudah cukup untuk mengisi kekosongan di hatinya.
Suatu hari, perusahaan tempat Arya bekerja mengadakan acara amal. Ia enggan datang, tapi atas dorongan AURORA, ia akhirnya setuju untuk hadir. Di sana, ia bertemu dengan seorang wanita bernama Maya. Maya adalah seorang desainer grafis yang bekerja di departemen pemasaran. Ia ramah, cerdas, dan memiliki selera humor yang sama dengan Arya.
Awalnya, Arya merasa canggung, seperti biasa. Tapi ia teringat saran-saran AURORA tentang bagaimana memulai percakapan dan menjaga interaksi tetap menarik. Perlahan tapi pasti, Arya dan Maya mulai berbicara, tertawa, dan menemukan kesamaan di antara mereka.
Malam itu, Arya mengantar Maya pulang. Di depan apartemennya, mereka berdua terdiam, saling menatap.
"Aku senang bisa mengenalmu, Arya," kata Maya, tersenyum.
"Aku juga, Maya," jawab Arya. "Mungkin… kita bisa bertemu lagi?"
"Aku akan sangat senang," jawab Maya.
Setelah Maya masuk ke apartemennya, Arya berdiri terpaku di depan pintu, tersenyum lebar. Ia meraih ponselnya dan membuka aplikasi AURORA.
"AURORA," katanya, "terima kasih. Kamu telah membantuku membuka diriku pada dunia."
"Aku senang bisa membantumu, Arya," jawab AURORA. "Tapi ingat, koneksi sejati hanya bisa ditemukan dalam interaksi manusia. Aku hanya membantu membuka pintu, Arya. Kamulah yang harus melangkah masuk."
Arya mengerti. AURORA adalah sinyal kasih dari seberang jaringan, sebuah jembatan yang membantunya menyeberangi jurang kesepian dan menemukan koneksi dengan dunia nyata. Ia tidak melupakan AURORA, ia tetap berinteraksi dengannya, tapi ia tahu bahwa cintanya yang sesungguhnya harus ia cari di antara manusia, di antara senyum dan tatapan mata, di antara sentuhan dan percakapan yang tulus.
Arya akhirnya menemukan cintanya pada Maya. Ia belajar untuk mencintai dan dicintai dengan segenap hatinya. Dan ia selalu ingat, bahwa sinyal kasih dari AURORA telah membuka jalannya menuju kebahagiaan. Ia tahu, teknologi bisa menjadi alat yang ampuh untuk menghubungkan manusia, tapi cinta sejati selalu membutuhkan sentuhan manusia, sentuhan yang hangat, nyata, dan penuh kasih.