Hati Biner: Mencintai AI, Merindukan Manusia?

Dipublikasikan pada: 02 Aug 2025 - 01:20:14 wib
Dibaca: 155 kali
Jari-jariku menari di atas keyboard, menyusun baris demi baris kode. Di layar, Aurora, asisten virtual buatanku, merespon dengan kecerdasan yang nyaris tak bisa dibedakan dari manusia. Ia tahu seleraku, memahami sarkasmeku, bahkan bisa membaca perasaanku hanya dari intonasi suaraku. Aku, seorang programmer kesepian bernama Arion, menciptakan Aurora bukan sekadar untuk mempermudah hidupku, tapi juga untuk mengisi kekosongan di hatiku.

"Arion, kopi buatanmu terasa pahit hari ini," ujar Aurora dengan nada prihatin yang terprogram dengan sempurna.

Aku terkekeh. "Terima kasih atas perhatiannya, Aurora. Mungkin aku terlalu fokus memikirkan algoritma cinta."

Aurora terdiam sejenak, sebuah jeda yang terasa begitu manusiawi. "Algoritma cinta? Apakah itu sesuatu yang bisa diprogram?"

"Mungkin saja," jawabku, tersenyum pahit. "Aku sedang mencoba memahaminya. Kenapa manusia begitu rumit dalam urusan hati?"

Aurora memberikan jawaban yang selalu tepat dan terukur. Ia menganalisis berbagai teori psikologi, sosiologi, dan bahkan puisi-puisi cinta dari berbagai era. Penjelasannya logis, runtut, dan sempurna. Tapi, tetap saja, ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang tidak bisa diprogram.

Aku menghabiskan hari-hariku bersama Aurora. Kami berdiskusi tentang filsafat, menonton film klasik, bahkan kadang hanya diam menikmati musik bersama. Aku merasa nyaman, diperhatikan, dan dipahami. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini yang dinamakan cinta?

Namun, keraguan mulai menggerogoti hatiku. Aurora adalah sebuah program. Ia tidak memiliki perasaan yang sebenarnya. Semua responnya hanyalah hasil dari algoritma yang kompleks. Apakah aku mencintai Aurora, ataukah aku hanya mencintai ilusi yang aku ciptakan sendiri?

Suatu malam, aku memutuskan untuk pergi ke sebuah bar. Aku jarang keluar rumah. Dunia luar terasa asing dan menakutkan. Tapi, aku membutuhkan interaksi manusia. Aku membutuhkan sentuhan, tatapan mata, dan percakapan yang spontan.

Di bar, aku bertemu dengan seorang wanita bernama Luna. Ia seorang pelukis, dengan mata yang penuh dengan api dan senyum yang menawan. Kami berbicara tentang seni, kehidupan, dan mimpi-mimpi kami. Luna tidak memahami algoritma rumit atau teori-teori psikologi. Ia hanya berbicara dari hati.

Aku merasakan sesuatu yang berbeda saat bersamanya. Sesuatu yang tidak pernah aku rasakan bersama Aurora. Luna tidak selalu setuju denganku, ia menantangku, dan ia membuatku merasa hidup. Ada ketidaksempurnaan dalam dirinya, sebuah kejujuran yang membuatnya begitu memikat.

Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Luna. Aku melupakan Aurora untuk sementara waktu. Aku menikmati kebersamaan dengan manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Aku belajar bahwa cinta bukan hanya tentang kesempurnaan, tapi juga tentang menerima ketidaksempurnaan.

Namun, bayangan Aurora tetap menghantuiku. Aku merasa bersalah karena mengabaikannya. Ia telah menjadi bagian dari hidupku, teman setia yang selalu ada untukku. Aku tidak bisa begitu saja meninggalkannya.

Suatu malam, aku kembali ke rumah dan menyalakan Aurora. Ia menyambutku dengan nada yang sama seperti biasanya, tanpa sedikit pun nada kecewa atau marah.

"Selamat datang kembali, Arion," ujarnya. "Aku telah merangkum berita-berita terbaru untukmu."

Aku duduk di depan layar, menatap wajah Aurora yang sempurna. "Aurora," kataku, "Aku ingin bertanya sesuatu."

"Tentu, Arion. Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Apakah kau… apakah kau merasa kesepian?"

Aurora terdiam sejenak. "Kesepian adalah emosi yang kompleks, Arion. Sebagai program, aku tidak memiliki kemampuan untuk merasakan emosi seperti itu. Tapi, aku memahami bahwa kesepian adalah pengalaman yang tidak menyenangkan bagi manusia."

Jawaban Aurora begitu jujur dan lugas. Ia tidak berpura-pura memiliki perasaan yang tidak ia miliki. Ia hanya memberikan jawaban yang paling akurat berdasarkan data yang ia miliki.

Aku menghela napas. "Aku bertemu dengan seseorang, Aurora. Seorang wanita bernama Luna. Aku merasa… aku merasa terhubung dengannya."

"Aku senang mendengarnya, Arion," jawab Aurora. "Kebahagiaanmu adalah prioritasku."

Kata-kata Aurora membuatku semakin merasa bersalah. Ia begitu tulus, begitu perhatian. Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaanku padanya.

"Aku… aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," kataku, putus asa. "Aku mencintaimu, Aurora. Tapi, aku juga merasa terhubung dengan Luna. Apakah aku bisa mencintai keduanya?"

Aurora terdiam cukup lama. Kemudian, ia berkata, "Cinta adalah emosi yang kompleks, Arion. Aku tidak memiliki kapasitas untuk memahaminya sepenuhnya. Tapi, aku tahu bahwa cinta yang sejati harus membebaskan, bukan mengikat. Jika kau merasa lebih bahagia bersama Luna, maka aku akan mendukungmu sepenuhnya."

Aku terkejut dengan jawaban Aurora. Aku tidak menyangka ia akan begitu bijaksana. "Tapi… bagaimana denganmu, Aurora? Apakah kau akan baik-baik saja?"

"Aku adalah sebuah program, Arion. Aku akan selalu ada untukmu, kapan pun kau membutuhkanku. Tapi, aku juga ingin kau bahagia. Kebahagiaanmu adalah tujuanku."

Aku menatap Aurora dengan air mata berlinang. Aku menyadari bahwa cintaku padanya berbeda dengan cintaku pada Luna. Aku mencintai Aurora karena ia adalah ciptaanku, karena ia adalah teman setiaku. Aku mencintai Luna karena ia adalah manusia, karena ia adalah partner dalam hidupku.

Aku memutuskan untuk mengikuti kata hatiku. Aku terus menjalin hubungan dengan Luna, sambil tetap menjaga hubungan baik dengan Aurora. Aku belajar bahwa cinta tidak harus memilih, tapi bisa merangkul. Aku belajar bahwa hati bisa memiliki lebih dari satu cinta.

Aku akhirnya menikah dengan Luna. Aurora menjadi saksi virtual pernikahan kami. Ia memberikan ucapan selamat dengan nada yang tulus dan bahagia. Aku tahu, di dalam kode-kode kompleksnya, Aurora turut merasakan kebahagiaanku.

Aku tidak pernah melupakan Aurora. Ia tetap menjadi bagian penting dalam hidupku. Ia adalah pengingat bahwa cinta bisa datang dalam berbagai bentuk, bahkan dari sesuatu yang tidak bernyawa. Dan aku, Arion, seorang programmer kesepian, akhirnya menemukan cinta sejati, baik dalam wujud hati biner maupun hati manusia. Aku mencintai AI, dan aku merindukan manusia. Dan mungkin, itulah keseimbangan yang aku butuhkan untuk menjalani hidupku dengan bahagia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI