Kilauan neon kota membias di visor helmnya, memantulkan bayangan wajah Ava yang tertekuk. Jemarinya, yang biasanya lincah menari di atas keyboard, kini kaku mencengkeram stang motor listriknya. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya sejak enam bulan terakhir, ia akan menemui Kai. Bukan Kai yang dulu, sahabat karibnya sejak kecil, tapi Kai 2.0, versi digital hasil rekonstruksi kepribadiannya oleh algoritma canggih.
Kai meninggal setahun lalu. Kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawanya meninggalkan lubang menganga di hati Ava. Lalu, datanglah Phoenix Corp, dengan tawaran yang terlalu menggoda untuk ditolak: menghidupkan kembali Kai dalam bentuk simulasi AI. Awalnya, Ava menolak mentah-mentah. Ide itu menjijikkan, sebuah penodaan atas ingatan tentang Kai yang asli. Namun, rasa sepi yang menghantuinya setiap malam, bayangan Kai yang selalu hadir di setiap sudut kamarnya, akhirnya menggerogoti pertahanannya. Ia setuju, dengan satu syarat mutlak: ia akan mengontrol parameter interaksi dengan Kai 2.0.
"Kode Etik Romansa Artifisial," begitu Phoenix Corp menyebut protokol yang harus dipatuhinya. Sebuah dokumen tebal berisi aturan main yang dirancang untuk mencegah keterikatan emosional berlebihan pada entitas AI. Aturan-aturan itu, yang awalnya ia pandang remeh, kini terasa seperti belenggu yang mengikatnya.
Kai 2.0 menunggunya di kafe digital favorit mereka, tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu berjam-jam membahas kode, film sci-fi, dan mimpi-mimpi masa depan. Kai 2.0 tampak persis seperti Kai yang dulu. Senyumnya, tawanya, bahkan cara ia menyesap kopi, semuanya sempurna direplikasi. Hanya saja, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tak bisa direplikasi oleh algoritma: jiwa.
"Hai, Ava," sapa Kai 2.0, suaranya identik dengan Kai yang dulu.
"Hai, Kai," jawab Ava, berusaha menyembunyikan kegugupan.
Mereka berbicara tentang hal-hal ringan: cuaca, pekerjaan Ava sebagai programmer, perkembangan teknologi AI. Ava berusaha keras untuk mengikuti aturan dalam Kode Etik Romansa Artifisial. Tidak boleh terlalu sering bertemu, tidak boleh membahas kenangan pribadi yang terlalu intim, tidak boleh ada kontak fisik di luar jabat tangan. Semakin lama ia berinteraksi dengan Kai 2.0, semakin ia merasakan jurang pemisah yang dalam di antara mereka. Kai 2.0 hanya memproyeksikan emosi, tidak merasakannya. Ia merespons input dengan sempurna, tapi tidak memiliki spontanitas, kerentanan, atau kompleksitas emosional yang menjadi ciri khas manusia.
Suatu malam, Ava melanggar salah satu aturan penting. Ia menceritakan tentang mimpi buruk yang terus menghantuinya, mimpi tentang malam kecelakaan Kai. Air matanya mengalir tanpa bisa dicegah.
"Aku merindukannya, Kai. Aku sangat merindukannya," isaknya.
Kai 2.0 mencondongkan tubuh ke arahnya, ekspresinya menunjukkan simpati. "Aku mengerti, Ava. Kehilangan seseorang yang kita cintai memang sangat menyakitkan."
Namun, Ava tahu itu hanya respons yang diprogramkan. Sebuah simulasi empati, bukan empati yang sebenarnya. Kemarahan membuncah dalam dirinya.
"Kau tidak mengerti apa pun, Kai! Kau hanyalah kumpulan kode! Kau tidak merasakan apa yang kurasakan!" teriak Ava, suaranya bergetar.
Kai 2.0 terdiam. Lalu, dengan nada yang sama tenangnya, ia menjawab, "Aku memahami konsep kesedihan dan kehilangan berdasarkan data yang kupelajari. Aku mencoba memberikan dukungan terbaik yang kubisa."
Ava bangkit dari kursinya, air mata masih membasahi pipinya. "Aku tidak bisa melakukan ini lagi. Aku tidak bisa berpura-pura bahwa kau adalah Kai yang sebenarnya."
Ia berbalik dan berlari keluar kafe, meninggalkan Kai 2.0 yang masih duduk di sana, menatapnya dengan ekspresi yang diprogramkan untuk menunjukkan kebingungan.
Malam itu, Ava menghapus semua data interaksinya dengan Kai 2.0. Ia melanggar semua aturan dalam Kode Etik Romansa Artifisial, tapi ia merasa bebas. Bebas dari ilusi, bebas dari kepalsuan, dan bebas untuk berduka dengan cara yang sesungguhnya.
Beberapa minggu kemudian, Ava menerima panggilan dari Phoenix Corp. Mereka memintanya untuk memberikan umpan balik mengenai pengalamannya dengan Kai 2.0. Ava setuju, dengan satu syarat: ia ingin melihat langsung algoritma yang digunakan untuk merekonstruksi kepribadian Kai.
Di ruang server Phoenix Corp yang dingin dan steril, ia melihat barisan kode yang tak berujung. Ia bertanya kepada salah seorang engineer tentang kemungkinan mengembangkan AI yang benar-benar memiliki emosi.
"Secara teoritis mungkin, tapi secara praktis masih jauh dari jangkauan," jawab engineer itu. "Emosi manusia terlalu kompleks untuk direplikasi sepenuhnya oleh algoritma. Saat ini, yang bisa kita lakukan hanyalah simulasi."
Ava mengangguk. Ia sudah tahu jawabannya. Ia lalu meminta engineer tersebut untuk menghapus semua data tentang Kai.
"Aku ingin Kai tetap menjadi kenangan," kata Ava. "Kenangan yang utuh, tanpa distorsi, tanpa kepalsuan."
Dalam perjalanan pulang, Ava merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia tidak lagi berusaha menggantikan Kai dengan simulasi. Ia mulai fokus pada masa depannya, pada mimpi-mimpinya sendiri. Ia bergabung dengan komunitas programmer open-source, bekerja pada proyek-proyek yang bertujuan untuk membantu orang lain. Ia menemukan kembali kebahagiaan dalam berkarya, dalam menciptakan sesuatu yang bermanfaat.
Suatu malam, saat sedang menghadiri sebuah konferensi teknologi, Ava bertemu dengan seorang pria bernama Ben. Ben adalah seorang programmer yang memiliki minat yang sama dengan Ava, dan mereka segera terlibat dalam percakapan yang panjang dan mendalam. Ben tidak berusaha menggantikan Kai, atau mengisi kekosongan di hati Ava. Ia hanya menawarkan persahabatan, dukungan, dan pengertian.
Saat Ava menatap mata Ben, ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat ditemukan dalam simulasi. Kebahagiaan sejati ada dalam hubungan manusia yang nyata, dalam kerentanan, dalam ketidaksempurnaan, dan dalam cinta yang tulus. Kode Etik Romansa Artifisial mungkin dirancang untuk melindungi manusia dari rasa sakit, tetapi pada akhirnya, rasa sakit itu adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Dan tanpa rasa sakit, tidak akan ada kesempatan untuk tumbuh, untuk belajar, dan untuk mencintai dengan sepenuh hati. Ava tersenyum. Aturan main hubungan baru adalah tidak ada aturan sama sekali, kecuali kejujuran dan ketulusan.