Aplikasi itu berkedip di layar ponselku, menampilkan deretan wajah yang, menurut algoritmanya, cocok denganku. "Algoritma Jodoh," begitu namanya. Sebuah janji modern untuk menemukan cinta sejati, atau setidaknya, teman kencan yang layak, dengan bantuan kecerdasan buatan. Aku, Anya, seorang programmer yang lebih akrab dengan kode daripada dengan interaksi sosial, memutuskan untuk mencobanya. Toh, apa salahnya?
Sudah enam bulan aku menjadi pengguna aktif. Enam bulan yang dipenuhi dengan kencan-kencan yang… mengecewakan. Mereka semua, hasil kurasi algoritma, terasa seperti versi robot dari manusia. Sopan, berpendidikan, memiliki minat yang serupa – mendaki gunung, menonton film indie, dan menyantap makanan vegan. Tapi tidak ada percikan. Tidak ada koneksi yang membuat jantungku berdebar.
Malam ini, aku bersiap untuk kencan ke-17. Namanya Reyhan, seorang arsitek yang profilnya menjanjikan diskusi intelektual tentang seni modern. Aku mengenakan gaun biru sederhana yang, menurut aplikasi itu, "meningkatkan aura femininitasmu." Sambil bercermin, aku menghela napas. Apakah aku sudah terlalu bergantung pada AI untuk urusan hati? Apakah kebahagiaan, yang seharusnya organik dan tak terduga, kini harus diprogram?
Reyhan sudah menunggu di kafe ketika aku tiba. Dia tampan, sesuai dengan foto profilnya. Rambutnya disisir rapi, senyumnya hangat, dan dia mengenakan kemeja linen yang terlihat mahal. Percakapan kami mengalir lancar. Kami membahas arsitektur Bauhaus, pengaruh sinematografi Tarkovsky, dan manfaat meditasi mindfulness. Semua topik yang tertera di profil kami masing-masing.
Namun, di tengah percakapan yang cerdas itu, aku merasakan kehampaan. Reyhan berbicara seolah membaca naskah yang sudah disetujui oleh Algoritma Jodoh. Tidak ada spontanitas, tidak ada humor yang tak terduga, tidak ada keanehan yang membuatku tertarik.
"Kamu tahu, Anya," kata Reyhan, sambil menyesap kopinya, "Algoritma Jodoh benar-benar akurat. Kita memiliki banyak kesamaan. Secara statistik, kita memiliki potensi keberhasilan hubungan yang tinggi."
Kata-kata itu membuatku tersentak. Apakah cinta bisa direduksi menjadi statistik dan potensi keberhasilan? Apakah aku benar-benar ingin menjalin hubungan dengan seseorang yang memilihku berdasarkan data dan algoritma?
Malam itu, aku pulang dengan perasaan hancur. Bukan karena Reyhan tidak menarik, tapi karena aku merasa telah menjual hatiku kepada AI. Aku telah membiarkan algoritma menentukan siapa yang pantas untukku, tanpa memberikan kesempatan pada hatiku untuk memilih sendiri.
Aku duduk di depan laptopku, membuka Algoritma Jodoh. Jari-jariku gemetar saat aku menekan tombol "Hapus Profil." Sebuah notifikasi muncul, "Apakah Anda yakin ingin menghapus profil Anda? Tindakan ini tidak dapat dibatalkan."
Aku terdiam sejenak. Menghapus profil berarti mengakui kegagalanku, mengakui bahwa aku telah salah. Tapi di sisi lain, ini juga berarti memberiku kesempatan untuk menemukan cinta dengan cara yang lebih alami, lebih manusiawi.
Dengan mantap, aku menekan tombol "Ya."
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mengunjungi sebuah toko buku independen yang sudah lama ingin aku kunjungi. Aku sedang mencari buku tentang filsafat eksistensialisme ketika aku tanpa sengaja menabrak seorang pria yang sedang membawa setumpuk buku. Buku-buku itu jatuh berserakan di lantai.
"Maaf, maafkan saya," kataku, membungkuk untuk membantu memungut buku-buku itu.
Pria itu tersenyum. "Tidak apa-apa. Saya juga ceroboh."
Saat aku menyerahkan buku terakhir padanya, aku menatap matanya. Matanya berwarna cokelat hangat, dengan sedikit kerutan di sudutnya yang membuatnya terlihat bijaksana dan ramah. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa nyaman, seolah aku mengenalnya sejak lama.
"Saya belum pernah melihat Anda di sini sebelumnya," katanya. "Saya sering datang ke sini."
"Saya baru pertama kali," jawabku. "Saya Anya."
"Saya Leo," katanya, menjabat tanganku. Sentuhannya ringan, tapi ada energi yang terasa mengalir melalui kulitku.
Kami mulai mengobrol tentang buku-buku yang berserakan di lantai, tentang penulis favorit kami, tentang pandangan kami tentang hidup dan cinta. Percakapan itu mengalir begitu saja, tanpa canggung, tanpa dibuat-buat. Leo memiliki selera humor yang unik, pikiran yang tajam, dan hati yang lembut. Dia tidak berusaha membuatku terkesan, dia hanya menjadi dirinya sendiri.
Saat kami berpisah, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Aku merasakan harapan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Bukan harapan yang didasarkan pada algoritma dan data, tapi harapan yang didasarkan pada koneksi yang nyata dan tulus.
Beberapa minggu kemudian, aku dan Leo bertemu lagi di toko buku yang sama. Kali ini, dia mengajakku minum kopi. Kami duduk di sebuah kafe kecil di dekat toko buku, dan kami berbicara selama berjam-jam. Aku menceritakan tentang pengalamanku dengan Algoritma Jodoh, tentang bagaimana aku merasa kehilangan diriku dalam upaya untuk menemukan cinta yang sempurna.
Leo mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi. "Mungkin Algoritma Jodoh itu terlalu berfokus pada kesamaan," katanya. "Padahal, terkadang perbedaan itulah yang membuat sebuah hubungan menjadi menarik dan bermakna."
Aku tersenyum. Leo benar. Cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa diprogram. Cinta adalah tentang menemukan seseorang yang menerima kita apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan kita.
Beberapa bulan berlalu, aku dan Leo semakin dekat. Kami saling mencintai, bukan karena kami cocok secara statistik, tapi karena kami saling melengkapi. Dia membuatku tertawa, dia menantangku untuk berpikir, dan dia membuatku merasa dicintai dan dihargai.
Suatu malam, saat kami sedang duduk di beranda rumahku, menatap bintang-bintang, Leo menggenggam tanganku.
"Anya," katanya, "aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku tidak bisa menahan perasaanku lagi. Aku mencintaimu."
Air mata mengalir di pipiku. "Aku juga mencintaimu, Leo."
Kami berciuman, ciuman yang penuh dengan cinta dan harapan. Di saat itu, aku tahu bahwa aku telah menemukan cinta sejati. Bukan cinta yang dikurasi oleh algoritma, tapi cinta yang ditemukan secara kebetulan, di antara tumpukan buku di sebuah toko buku kecil. Cinta yang tulus, organik, dan tak terduga.
Aku tersenyum dalam hati. Algoritma Jodoh mungkin telah gagal menemukanku cinta, tapi kegagalan itu justru membawaku pada kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang tidak bisa diprediksi, tidak bisa diprogram, dan tidak bisa dijual. Kebahagiaan yang ditemukan oleh hati yang bebas memilih.