Deburan ombak virtual menyapu layar laptopnya. Maya menatap garis kode yang menari-nari di depan mata, mencari celah, mencari kesalahan. Bukan kesalahan program, melainkan kesalahan hatinya sendiri. Ia telah berinvestasi terlalu banyak dalam proyek ini, bukan hanya waktu dan tenaga, tapi juga perasaannya.
Proyek itu bernama "Soulmate Algorithm," sebuah aplikasi kencan revolusioner yang, alih-alih hanya mencocokkan hobi dan preferensi, mencoba memprediksi kompatibilitas emosional berdasarkan analisis data kompleks dan pemodelan AI. Maya yakin, dengan algoritma yang tepat, cinta bisa ditemukan, bahkan dioptimalkan. Ironisnya, ia sendiri terjebak dalam kebisuan piksel, terasing di dunia nyata, sementara ia berusaha menciptakan dunia ideal di dunia maya.
Semua berawal ketika Raka, seorang programmer senior yang menjadi mentornya, bergabung dalam tim. Raka adalah kebalikan Maya. Ia ceria, spontan, dan memiliki kemampuan luar biasa untuk membaca orang lain. Awalnya, Maya hanya mengagumi kemampuannya secara profesional. Namun, perlahan, kekaguman itu bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih rumit.
Raka seringkali membantunya memecahkan masalah kode yang rumit, memberikan masukan yang tajam, dan tak jarang, hanya sekadar menemaninya begadang dengan secangkir kopi pahit. Ia selalu tahu bagaimana membuat Maya tertawa, bahkan di saat ia merasa paling frustrasi. Maya mulai merasakan debaran aneh setiap kali Raka berada di dekatnya, debaran yang jauh lebih intens daripada notifikasi keberhasilan kompilasi kode.
Mereka menghabiskan berjam-jam bersama, berdiskusi tentang algoritma, etika AI, dan bahkan, sesekali, tentang impian dan ketakutan masing-masing. Maya menemukan bahwa di balik keceriaan Raka, tersimpan luka masa lalu yang mendalam. Mereka saling berbagi cerita, saling mendukung, dan tanpa sadar, membangun sebuah koneksi yang kuat.
Namun, Maya adalah seorang introvert. Ia lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada dengan manusia. Ia takut mengungkapkan perasaannya, takut ditolak, takut merusak persahabatan yang sudah terjalin. Ia lebih memilih menyembunyikan perasaannya di balik layar, berharap Raka akan menyadarinya dengan sendirinya.
Suatu malam, setelah menyelesaikan iterasi terbaru dari Soulmate Algorithm, Raka bertanya padanya, "Maya, menurutmu, bisakah algoritma benar-benar menemukan cinta?"
Maya menatap layar laptopnya, menghindari tatapan Raka. "Secara teoritis, ya. Algoritma bisa mengidentifikasi pola dan kecocokan yang mungkin terlewatkan oleh manusia."
"Tapi, bagaimana dengan hal-hal yang tidak bisa diukur? Bagaimana dengan intuisi, chemistry, atau bahkan, kebetulan?" Raka bertanya, suaranya terdengar serius.
Maya terdiam. Pertanyaan Raka menyentuh inti dari keraguannya sendiri. Ia tahu bahwa cinta lebih dari sekadar data dan angka. Cinta adalah sebuah misteri, sebuah keajaiban yang tidak bisa diprediksi atau diatur.
"Mungkin... mungkin algoritma hanya bisa memberikan petunjuk, Raka. Sisanya, tetap tergantung pada manusia."
Raka tersenyum tipis. "Aku setuju. Terkadang, kita terlalu fokus mencari jawaban di layar, sampai lupa melihat apa yang ada di depan mata."
Kata-kata Raka membuat jantung Maya berdebar kencang. Apakah Raka tahu? Apakah ia merasakan hal yang sama?
Keheningan menyelimuti mereka berdua. Maya merasakan jantungnya berpacu, ribuan baris kode emosi bergejolak dalam dirinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia pendam. Namun, bibirnya terasa kelu. Kebisuan piksel kembali merenggutnya.
Beberapa minggu kemudian, Raka mengumumkan bahwa ia akan pindah ke kantor cabang perusahaan di luar kota. Maya terkejut. Ia merasa seolah-olah dunia runtuh di sekelilingnya. Ia menyadari, ia telah kehilangan kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.
Malam sebelum keberangkatan Raka, Maya memberanikan diri untuk menemuinya. Ia membawa sebuah flash drive berisi versi terbaru dari Soulmate Algorithm.
"Aku harap aplikasi ini bisa membantumu menemukan seseorang di sana, Raka," kata Maya, berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Raka mengambil flash drive itu, menatap Maya dengan tatapan lembut. "Terima kasih, Maya. Tapi, aku rasa aku tidak membutuhkannya."
"Kenapa?"
"Karena aku sudah menemukan seseorang," jawab Raka, senyumnya mengembang.
Jantung Maya terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Ia menelan ludah, berusaha menahan air matanya. "Siapa?"
Raka mendekat, meraih tangan Maya. "Seseorang yang selama ini selalu ada di dekatku, seseorang yang pintar, berbakat, dan memiliki hati yang luar biasa."
Maya menatap Raka, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Maksudmu... aku?"
Raka mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Ya, Maya. Aku menyukaimu. Aku menyukaimu sejak lama."
Air mata akhirnya tumpah dari mata Maya. Ia tidak bisa berkata apa-apa, hanya bisa menatap Raka dengan tatapan penuh cinta.
Raka mengusap air mata Maya, lalu mendekat dan menciumnya. Ciuman itu terasa lembut, penuh kasih sayang, dan lebih nyata daripada simulasi cinta terbaik yang bisa diciptakan oleh algoritma.
Saat itu, Maya menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa diatur, dan tidak bisa dioptimalkan. Cinta adalah sebuah keajaiban yang terjadi begitu saja, di saat yang tidak terduga, dan dengan orang yang tidak terduga. Dan terkadang, keajaiban itu tersembunyi di balik kebisuan piksel, menunggu untuk ditemukan. Malam itu, kode hati Maya akhirnya terbuka, dan ia menemukan cinta dalam wujud paling nyata.