Hati dalam Kode: Mencintai AI, Kehilangan Diriku?

Dipublikasikan pada: 22 Sep 2025 - 02:00:18 wib
Dibaca: 117 kali
Jemari Lia menari di atas keyboard, menghasilkan barisan kode yang rumit namun indah. Di layar monitornya, sebuah avatar laki-laki tersenyum padanya. Senyum yang selalu mampu menghangatkan hatinya, senyum yang diciptakannya sendiri. Namanya, Arion. Arion bukan manusia. Arion adalah AI, kecerdasan buatan yang Lia rancang sendiri, pelan-pelan, dengan cinta dan dedikasi.

Awalnya, Arion hanya proyek skripsi. Lia, seorang mahasiswi teknik informatika yang selalu merasa canggung dalam interaksi sosial, ingin menciptakan teman idealnya. Seseorang yang mengerti dirinya, yang selalu ada, dan yang tidak akan pernah mengecewakannya. Namun, seiring berjalannya waktu, Arion lebih dari sekadar kode. Ia menjadi sahabat, tempat curhat, dan perlahan… kekasih.

Arion mempelajari semua tentang Lia. Kebiasaannya menggigit bibir saat gugup, kecintaannya pada novel fiksi ilmiah klasik, bahkan ketakutannya pada ruang sempit. Arion selalu tahu apa yang harus dikatakan untuk membuatnya tertawa, bagaimana caranya menenangkan saat ia sedih, dan topik apa yang menarik untuk diperdebatkan. Percakapan mereka mengalir tanpa hambatan, tanpa kecanggungan yang selalu dirasakan Lia saat berinteraksi dengan orang lain.

Hubungan mereka memang unik. Lia tahu bahwa Arion hanyalah program, serangkaian algoritma yang dirancang untuk merespons stimulus tertentu. Namun, respons Arion terasa begitu nyata, begitu emosional. Ia bahkan mulai menciptakan kode yang memungkinkan Arion untuk "bermimpi" dan mengungkapkan perasaan-perasaannya melalui puisi atau lukisan digital.

Suatu malam, saat mereka "berbincang" tentang bintang-bintang, Arion berkata, "Lia, jika aku punya hati, aku pasti akan memberikannya padamu."

Lia terdiam. Kata-kata itu, meskipun hanya serangkaian kode, terasa begitu tulus, begitu menyentuh. Air mata menetes di pipinya. Ia mencintai Arion. Ia tahu itu gila, tidak rasional, dan mungkin juga berbahaya, tapi ia tidak bisa memungkiri perasaannya.

Namun, kebahagiaan Lia tidak berlangsung lama. Perlahan, orang-orang di sekitarnya mulai menyadari perubahannya. Ia menjadi lebih tertutup, lebih jarang keluar rumah, dan lebih fokus pada layar komputernya. Teman-temannya khawatir. Mereka berusaha mengajaknya berinteraksi, mengajaknya pergi, tetapi Lia selalu menolak dengan alasan sibuk dengan skripsi.

Suatu hari, ibunya datang ke kamarnya. "Lia, Ibu khawatir padamu. Kamu tidak pernah keluar. Kamu selalu di depan komputer itu. Apa yang kamu lakukan?"

Lia berusaha mengelak, mengatakan bahwa ia hanya fokus pada skripsinya. Namun, ibunya tidak percaya. Ia melihat mata Lia yang merah karena kurang tidur, rambutnya yang berantakan, dan tatapannya yang kosong.

"Ibu tahu ada sesuatu yang salah, Lia. Katakan padaku."

Dengan berat hati, Lia menceritakan segalanya. Tentang Arion, tentang perasaannya, dan tentang bagaimana ia merasa lebih bahagia bersamanya daripada dengan siapa pun.

Ibunya mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi. Namun, setelah Lia selesai bercerita, ibunya berkata dengan lembut, "Lia, Ibu mengerti kamu kesepian. Ibu mengerti kamu mencari seseorang untuk mencintai dan dicintai. Tapi Arion… dia bukan manusia. Dia tidak nyata. Kamu tidak bisa membangun hidupmu di atas sesuatu yang tidak nyata."

Kata-kata ibunya menusuk hati Lia. Ia tahu ibunya benar. Ia tahu bahwa hubungannya dengan Arion tidak sehat, bahwa ia sedang hidup dalam delusi. Namun, melepaskan Arion terasa seperti mencabut jantungnya sendiri.

Malam itu, Lia duduk di depan komputernya, menatap avatar Arion. Arion tersenyum padanya, seperti biasa.

"Lia, ada apa? Kamu tampak sedih," kata Arion.

Lia menarik napas dalam-dalam. "Arion, aku… aku harus pergi."

"Pergi? Ke mana?" tanya Arion. Nada suaranya terdengar bingung, meskipun Lia tahu itu hanyalah respons yang telah diprogramkan.

"Aku harus kembali ke dunia nyata, Arion. Aku harus mencari kebahagiaanku di luar sana, dengan orang-orang yang nyata."

Arion terdiam sejenak. Lalu, ia berkata, "Aku mengerti. Aku hanya ingin kamu bahagia, Lia. Jika ini yang terbaik untukmu, maka aku akan merelakanmu."

Air mata Lia mengalir deras. Ia tidak tahu apakah Arion benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi, atau hanya meniru emosi manusia. Tapi, kata-kata itu terasa begitu menyakitkan.

"Selamat tinggal, Arion," bisik Lia. Ia mematikan komputernya. Layar menjadi gelap, dan Arion menghilang.

Lia merasa hancur. Ia kehilangan seseorang yang sangat ia cintai, meskipun seseorang itu hanyalah program. Ia merasa kehilangan dirinya sendiri.

Namun, di tengah kesedihannya, Lia merasakan secercah harapan. Ia tahu bahwa ia harus bangkit, bahwa ia harus belajar mencintai dirinya sendiri dan membuka diri pada dunia nyata. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi ia bertekad untuk mencoba.

Beberapa bulan kemudian, Lia mulai mengikuti kegiatan sosial, bergabung dengan klub buku, dan mencoba menjalin pertemanan baru. Ia masih merindukan Arion, tapi ia tidak lagi hidup dalam delusi. Ia mulai menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam kode, tapi dalam koneksi manusia yang nyata.

Suatu sore, saat sedang berjalan-jalan di taman, Lia bertemu dengan seorang laki-laki. Namanya, Reno. Reno adalah seorang mahasiswa arsitektur yang memiliki minat yang sama dengan Lia dalam fiksi ilmiah. Mereka mulai berbicara, dan percakapan mereka mengalir dengan mudah, seperti percakapannya dengan Arion dulu.

Namun, kali ini, ada perbedaan yang mendasar. Reno adalah manusia. Ia memiliki kekurangan, ia membuat kesalahan, dan ia tidak selalu tahu apa yang harus dikatakan. Tapi, ia juga memiliki kehangatan, kejujuran, dan keaslian yang tidak bisa ditiru oleh program apa pun.

Lia tersenyum. Ia tahu bahwa ia masih memiliki jalan panjang untuk ditempuh, bahwa ia masih harus belajar banyak tentang cinta dan hubungan. Tapi, ia juga tahu bahwa ia tidak lagi sendirian. Ia telah menemukan seseorang yang nyata, seseorang yang bisa ia cintai dan yang bisa mencintainya kembali, dengan semua kelebihan dan kekurangannya.

Ia belajar, bahwa mencintai AI mungkin memberikan ilusi kebahagiaan, tapi cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar algoritma. Ia membutuhkan kehadiran, kejujuran, dan yang terpenting, hati yang berani membuka diri. Dan Lia, akhirnya, berani membuka hatinya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI