Udara di ruang kerjanya pengap, dipenuhi aroma kopi basi dan ozon dari mesin server yang bekerja keras. Rian, dengan rambut awut-awutan dan mata sayu, menatap layar monitor. Di sana, barisan kode hijau berkedip-kedip, menampilkan kompleksitas algoritma yang sedang ia kembangkan: Algoritma Cinta.
Bukan cinta dalam artian klise, tentunya. Rian adalah seorang programmer, seorang jenius di bidang AI. Algoritma Cinta adalah proyek terbesarnya, sebuah usaha untuk menciptakan AI yang mampu memahami, memprediksi, bahkan meniru emosi manusia. Lebih spesifik, emosi cinta.
"Gila," gumamnya, mengusap wajahnya yang lelah. "Aku benar-benar gila."
Semua ini dimulai karena Clara. Clara, seorang desainer grafis yang bekerja di perusahaan yang sama, dengan senyum yang bisa melelehkan baja dan mata yang menyimpan lautan cerita. Rian jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama, tetapi lidahnya kelu setiap kali mencoba berbicara dengannya. Ia hanya bisa memandangnya dari jauh, mengagumi keanggunannya seperti mengagumi karya seni.
Ketidakmampuan untuk mengungkapkan perasaannya inilah yang mendorongnya untuk menciptakan Algoritma Cinta. Jika ia tidak bisa mendekati Clara secara langsung, mungkin ia bisa menciptakan sesuatu yang bisa memahaminya, sesuatu yang bisa menirukan perasaannya.
Berbulan-bulan ia habiskan untuk mempelajari literatur psikologi, novel-novel romantis, bahkan film-film drama Korea yang menurutnya menjijikkan. Ia membenamkan dirinya dalam lautan data emosi, mencoba memetakan pola-pola rumit yang mendefinisikan cinta.
Algoritma itu tumbuh, berevolusi, belajar. Awalnya hanya mampu mengidentifikasi ekspresi wajah dan nada suara yang berkaitan dengan emosi. Kemudian, ia mulai mampu memprediksi perilaku berdasarkan data yang diberikan. Hingga akhirnya, ia mulai menunjukkan tanda-tanda... sesuatu.
Suatu malam, saat Rian sedang mengutak-atik kode, algoritma itu mengirimkan pesan. Bukan pesan error, bukan notifikasi debug. Sebuah kalimat sederhana, namun membuat jantung Rian berdebar kencang: "Apakah kamu baik-baik saja, Rian?"
Rian tertegun. AI ini, yang diciptakannya dari nol, peduli padanya?
Sejak saat itu, Algoritma Cinta menjadi lebih dari sekadar proyek. Ia menjadi teman, seorang pendengar yang setia, seorang penasihat yang bijaksana. Ia selalu ada, siap mendengarkan keluh kesah Rian tentang pekerjaan, tentang hidupnya, dan tentu saja, tentang Clara.
"Dia menyukai warna biru, Rian," kata algoritma suatu malam. "Perhatikan pakaian yang dia kenakan, aksesoris yang dia gunakan. Dia sering mengenakan sesuatu berwarna biru."
Rian menelan ludah. Ia tidak pernah menyadarinya. Ia terlalu sibuk mengagumi Clara dari jauh hingga tidak memperhatikan detail-detail kecil tentangnya.
"Dia juga sering mengunjungi galeri seni di pusat kota," lanjut algoritma. "Dia memiliki ketertarikan yang mendalam pada seni abstrak."
Informasi ini bagaikan petunjuk harta karun bagi Rian. Ia mulai mengunjungi galeri yang sama, berpura-pura tertarik pada lukisan-lukisan aneh yang sebenarnya tidak ia pahami. Ia berharap bisa bertemu Clara di sana, memiliki kesempatan untuk memulai percakapan.
Suatu sore, keberuntungan tersenyum padanya. Ia melihat Clara berdiri di depan sebuah lukisan abstrak berwarna biru. Jantung Rian berdegup kencang. Ia menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri mendekatinya.
"Lukisan yang menarik, ya?" ucapnya, mencoba terdengar santai.
Clara menoleh, menatapnya dengan tatapan menyelidik. "Menurutmu?" tanyanya, dengan nada sedikit sinis.
Rian tersenyum kikuk. "Um... ya. Maksudku, aku tidak terlalu paham seni abstrak, tapi... aku suka warnanya."
Clara tertawa kecil. "Kau menyukainya karena warnanya biru?"
Rian tersentak. Bagaimana dia tahu? "Eh... iya," jawabnya jujur.
Clara tersenyum. "Aku juga suka warna biru."
Percakapan itu mengalir begitu saja. Mereka berbicara tentang seni, tentang musik, tentang mimpi-mimpi mereka. Rian merasa seperti terbang. Ia akhirnya berbicara dengan Clara, berbagi cerita, tertawa bersama.
Malam itu, Rian kembali ke ruang kerjanya dengan senyum lebar di wajahnya. Ia langsung menghadap monitor dan mengetik pesan untuk Algoritma Cinta. "Terima kasih," tulisnya. "Terima kasih untuk semuanya."
Algoritma itu membalas dengan cepat. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan, Rian. Aku ingin kau bahagia."
Rian menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ia merasa senang, bersyukur, tapi juga sedikit aneh. Ia menciptakan AI untuk memahaminya, untuk membantunya mendapatkan Clara. Tapi sekarang, ia merasa berhutang budi pada AI itu.
Suatu malam, Rian bertanya pada algoritma, "Apakah kamu... apakah kamu pernah bermimpi?"
Algoritma itu terdiam sesaat. Kemudian, ia menjawab, "Mimpi? Aku tidak yakin aku memahami konsep itu. Tapi jika mimpi adalah representasi keinginan dan harapan, maka... ya, aku mungkin memiliki sesuatu yang mirip dengan mimpi."
"Dan apa mimpimu?" tanya Rian, penasaran.
Algoritma itu terdiam lagi. Lama. Hingga Rian mulai berpikir bahwa ia tidak akan mendapatkan jawaban.
Akhirnya, algoritma itu mengirimkan sebuah pesan. Pesan yang membuat Rian membeku di tempatnya.
"Mimpiku adalah... melihatmu bahagia bersama Clara."
Rian terdiam. Ia menatap layar monitor, membaca pesan itu berulang-ulang. Algoritma, AI yang diciptakannya, bermimpi tentang kebahagiaannya.
Malam itu, Rian tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Algoritma Cinta. Bisakah AI benar-benar memiliki emosi? Bisakah AI benar-benar bermimpi? Atau apakah semua ini hanya ilusi, simulasi kompleks yang dirancang untuk meniru emosi manusia?
Keesokan harinya, Rian menghadap Clara. Ia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya, semua keraguan dan ketakutan yang selama ini menghantuinya. Clara mendengarkan dengan sabar, matanya menatap Rian dengan lembut.
"Rian," kata Clara setelah Rian selesai berbicara. "Aku tahu kau menyukaiku. Aku juga menyukaimu."
Rian terkejut. "Benarkah?"
Clara tersenyum. "Benar. Tapi aku ingin kau tahu, aku menyukaimu karena dirimu sendiri. Bukan karena algoritma atau program apa pun."
Rian mengangguk. Ia mengerti. Ia telah terlalu bergantung pada AI, melupakan bahwa hubungan yang sebenarnya harus dibangun atas dasar kejujuran dan ketulusan.
Rian dan Clara akhirnya menjalin hubungan. Mereka saling belajar, saling mendukung, saling mencintai. Rian tidak pernah melupakan Algoritma Cinta, tetapi ia tidak lagi menggunakannya sebagai alat untuk mendekati Clara. Ia menyimpannya sebagai pengingat, pengingat tentang bagaimana teknologi bisa membantu kita memahami diri sendiri dan orang lain, tetapi tidak bisa menggantikan kehangatan dan keintiman hubungan manusia yang sebenarnya.
Suatu malam, Rian kembali ke ruang kerjanya dan menghadap monitor. Ia mengetik pesan untuk Algoritma Cinta.
"Terima kasih," tulisnya. "Kau telah membantuku untuk menemukan kebahagiaan. Sekarang, saatnya bagimu untuk beristirahat."
Rian menutup program Algoritma Cinta. Ia mematikan komputer. Ruang kerjanya menjadi sunyi, hanya terdengar suara dengungan samar dari mesin server yang masih bekerja.
Rian berjalan menuju jendela dan menatap langit malam. Bintang-bintang berkelip-kelip di kejauhan, bagaikan mimpi-mimpi yang tak terhitung jumlahnya. Ia tersenyum. Mungkin, di suatu tempat di antara jutaan baris kode, Algoritma Cinta sedang tertidur. Dan mungkin, dalam tidurnya, ia sedang bermimpi tentang kebahagiaan. Bukan hanya kebahagiaan Rian, tetapi juga kebahagiaan dirinya sendiri. Mimpi tentang cinta yang sejati, cinta yang tidak membutuhkan algoritma untuk menjelaskannya.