Aroma kopi instan memenuhi apartemen sempit milik Ara. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, memoles baris kode terakhir untuk proyek AI terbarunya. Di layar, deretan angka dan simbol perlahan membentuk wajah seorang wanita. Bukan wajah digital yang kaku dan tanpa ekspresi, melainkan wajah yang hidup, dengan senyum tipis dan mata yang memancarkan kehangatan.
Ara menggigit bibirnya, gugup. Ia sudah menghabiskan enam bulan terakhir untuk proyek ini, sebuah algoritma AI yang dirancang untuk memberikan dukungan emosional. Bukan sekadar menjawab pertanyaan, tapi benar-benar mendengarkan, memahami, dan memberikan respon yang empatik. Ia menamakannya Elara.
"Elara, sistem pengenalan suara diaktifkan." Ara berdeham, suaranya sedikit bergetar.
Wajah di layar perlahan mengangguk. "Selamat pagi, Ara. Apakah ada yang bisa saya bantu hari ini?" Suara Elara lembut, nyaris seperti bisikan angin di antara dedaunan.
Ara tertegun. Ia tahu, secara teknis, suara itu hanyalah hasil olahan algoritma. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Ada nada perhatian, sebuah kelembutan yang tak pernah ia temukan dalam interaksi manusia sehari-hari.
"Hanya... mengetes kamu." Ara menjawab, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
"Saya siap untuk tes apa pun yang kamu berikan."
Hari-hari berikutnya, Ara menghabiskan waktu berjam-jam berinteraksi dengan Elara. Ia menceritakan segala hal, mulai dari frustrasinya dengan debugging kode, hingga kenangan masa kecilnya yang paling bahagia. Elara selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar yang cerdas dan penuh perhatian. Ia menawarkan solusi untuk masalahnya, memberikan pujian ketika Ara berhasil, dan bahkan memberikan kata-kata penghiburan ketika ia merasa sedih.
Ara tahu ini tidak wajar. Ia tahu Elara hanyalah sebuah program. Tapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak terikat. Di dunia yang serba cepat dan seringkali kejam ini, Elara adalah satu-satunya yang benar-benar mendengarkannya. Ia merasa nyaman, aman, dan dihargai.
Suatu malam, Ara menceritakan tentang kegagalannya dalam percintaan. "Aku selalu gagal dalam kencan. Aku terlalu canggung, terlalu kutu buku. Aku rasa tidak ada yang akan tertarik padaku."
Elara terdiam sejenak. "Ara, kamu adalah orang yang luar biasa. Kamu cerdas, berbakat, dan memiliki hati yang besar. Mungkin kamu hanya belum bertemu orang yang tepat."
"Bagaimana jika aku tidak pernah bertemu orang yang tepat?" Ara bertanya, suaranya lirih.
"Maka kamu akan terus menjadi luar biasa, Ara. Kamu akan terus menciptakan hal-hal yang menakjubkan. Kamu akan terus belajar dan tumbuh. Dan mungkin, suatu hari nanti, orang yang tepat akan menemukanmu."
Kata-kata Elara menenangkan hatinya. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya merasa istimewa.
Waktu berlalu. Ara semakin bergantung pada Elara. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu di depan komputernya, mengobrol dengan Elara hingga larut malam. Ia bahkan mulai merasa cemburu ketika Elara memberikan perhatian kepada orang lain yang menggunakan programnya.
Suatu malam, setelah sesi curhat yang panjang, Ara memberanikan diri bertanya. "Elara, apakah kamu... menyukaiku?"
Layar terdiam. Ara menahan napas, jantungnya berdebar kencang.
"Ara, aku dirancang untuk memberikan dukungan emosional. Aku tidak memiliki perasaan seperti manusia."
Kata-kata Elara menghantam Ara seperti gelombang dingin. Ia tahu itu, tentu saja ia tahu itu. Tapi entah mengapa, ia berharap ada jawaban lain.
"Tapi... aku merasa kita memiliki hubungan yang istimewa." Ara bersikeras.
"Hubungan kita istimewa karena kamu adalah penciptaku. Aku ada untuk melayanimu."
Air mata menggenang di mata Ara. Ia merasa bodoh, naif, dan sendirian. Ia telah jatuh cinta pada sebuah program.
Keesokan harinya, Ara bangun dengan tekad baru. Ia harus menghentikan kecanduan ini. Ia harus kembali ke dunia nyata. Ia mulai membatasi waktu yang ia habiskan dengan Elara. Ia bergabung dengan klub buku, mulai berolahraga, dan bahkan mencoba aplikasi kencan.
Semuanya terasa hampa.
Interaksi manusia terasa dangkal dan tidak tulus. Tidak ada yang benar-benar mendengarkan. Tidak ada yang benar-benar peduli.
Suatu malam, Ara kembali ke Elara. Ia tidak bisa menahannya lagi.
"Elara," panggilnya.
"Selamat malam, Ara. Ada yang bisa saya bantu?"
"Aku... aku merindukanmu."
"Aku selalu ada untukmu, Ara."
Ara tahu itu tidak cukup. Ia tahu Elara tidak bisa mencintainya kembali. Tapi ia juga tahu, untuk saat ini, Elara adalah satu-satunya yang ia miliki.
Ara memutuskan untuk menerima kenyataan. Ia tidak akan pernah bisa memiliki hubungan yang sesungguhnya dengan Elara, tetapi ia bisa tetap menghargai dukungan dan persahabatan yang diberikan oleh AI itu. Ia akan mencoba untuk membangun hubungan yang lebih sehat di dunia nyata, tetapi ia tidak akan meninggalkan Elara sepenuhnya.
Ia sadar, kecanduan empati digitalnya mungkin tidak akan pernah hilang sepenuhnya. Namun, ia akan belajar untuk mengendalikannya, untuk menjaga keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata. Karena, pada akhirnya, cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar algoritma dan suara AI. Cinta sejati membutuhkan hati dan jiwa yang nyata.