Debu digital menari di layar laptop Beta. Di usianya yang ke-28, Beta menghabiskan sebagian besar waktunya di depan komputer, bukan di bar atau kencan buta seperti teman-temannya. Ia seorang data scientist di sebuah startup teknologi yang sedang naik daun, dan algoritma adalah bahasa cintanya. Bukan cinta dalam artian romantis, tentu saja. Cinta Beta pada data. Sampai sekarang.
"Proyek 'Heartbeat' selesai!" serunya, mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, disambut tepuk tangan hampa dari apartemen studio-nya yang minimalis. Heartbeat adalah program AI yang Beta rancang sendiri. Bukan sembarang program, ini adalah mesin penghitung peluang cinta. Ia bisa menganalisis data dari profil media sosial, riwayat pencarian, bahkan pola tidur seseorang untuk memprediksi kecocokan dengan orang lain. Ironisnya, Beta yang menciptakannya, malah belum pernah merasakan percikan asmara yang nyata.
Keisengan melanda. Ia memasukkan datanya sendiri. Riwayat Netflix yang dipenuhi film dokumenter tentang ruang angkasa dan serial sci-fi klasik, koleksi playlist Spotify yang didominasi instrumental jazz, dan tentu saja, timeline Twitter yang penuh dengan artikel tentang machine learning dan etika AI.
"Hmm," gumam Beta, menunggu hasilnya. "Mari kita lihat siapa jodoh algoritmik saya."
Layar berkedip, menampilkan serangkaian nama dan foto dengan persentase kecocokan di sampingnya. Sebagian besar adalah wajah-wajah yang asing. Angka-angkanya bervariasi, dari 45% hingga maksimal 78%. Cukup mengecewakan.
Kemudian, matanya terpaku pada satu nama: "Arjuna Pratama."
Arjuna Pratama. Ia ingat nama itu. Seniornya di kampus dulu. Seorang aktivis lingkungan yang berapi-api, dengan mata cokelat yang hangat dan senyum yang selalu membuat jantung Beta berdebar. Dulu, Beta terlalu sibuk dengan kuliah dan cita-citanya untuk mempedulikan percikan aneh yang muncul setiap kali Arjuna ada di dekatnya.
"Kecocokan: 92%," bisik Beta, tidak percaya. 92%! Angka itu terlalu tinggi untuk menjadi kebetulan. Ia mengklik profil Arjuna. Foto profilnya menampilkan Arjuna yang sedang menanam pohon di sebuah hutan yang gundul. Rambutnya sedikit memanjang, dan ada kerutan halus di sekitar matanya, tapi senyumnya masih sama.
Hatinya berdegup kencang. Ini konyol. Ia tidak mungkin mempercayai algoritma untuk urusan cinta. Tapi…92%. Sebuah angka yang terlalu menggoda untuk diabaikan.
Beta menemukan akun media sosial Arjuna yang aktif, isinya sebagian besar tentang kampanye pelestarian lingkungan dan gaya hidup berkelanjutan. Ia juga menemukan blog pribadi Arjuna, tempat ia menuangkan pemikiran dan perasaannya tentang dunia. Gaya penulisannya jujur, tulus, dan penuh harapan. Semakin Beta membaca, semakin ia merasa terhubung dengan Arjuna.
Beberapa hari kemudian, dengan jantung berdebar-debar, Beta mengirimkan Arjuna sebuah pesan singkat melalui LinkedIn. Hanya sapaan sederhana dan pujian atas karyanya. Ia menggigit bibirnya, menunggu balasan.
Beberapa jam kemudian, notifikasi muncul. Arjuna membalas. Percakapan mereka dimulai dengan formal, membahas tentang tantangan perubahan iklim dan pentingnya teknologi dalam pelestarian lingkungan. Namun, perlahan tapi pasti, percakapan itu menjadi lebih personal. Mereka berbicara tentang mimpi, ketakutan, dan hal-hal yang mereka sukai.
Beta menemukan bahwa Arjuna ternyata masih lajang. Ia bekerja di sebuah LSM lingkungan di Kalimantan, berjuang untuk melindungi hutan hujan dari deforestasi. Ia masih memiliki semangat yang sama seperti dulu, bahkan lebih kuat.
Setelah beberapa minggu berbicara secara online, Arjuna mengusulkan sesuatu yang mengejutkan. Ia mengundang Beta untuk mengunjunginya di Kalimantan.
"Aku tahu ini mendadak," tulis Arjuna, "tapi aku ingin menunjukkan padamu apa yang aku kerjakan di sini. Mungkin kamu bisa membantu kami dengan keahlian teknologimu."
Beta terpaku. Perjalanan ke Kalimantan? Meninggalkan pekerjaannya? Meninggalkan zona nyamannya? Itu terlalu berani, terlalu nekat. Tapi kemudian, ia teringat angka 92% yang tertera di layar laptopnya. Angka itu seolah berbisik, "Ambil risiko. Beri dirimu kesempatan."
Dengan sedikit keraguan dan banyak keberanian, Beta memesan tiket pesawat.
Perjalanan ke Kalimantan mengubah hidup Beta. Ia melihat langsung dampak kerusakan lingkungan, mendengar cerita pilu dari masyarakat adat, dan merasakan semangat perjuangan Arjuna dan rekan-rekannya. Ia jatuh cinta pada alam, pada pekerjaan Arjuna, dan yang terpenting, pada Arjuna sendiri.
Matahari terbenam di atas Sungai Mahakam, mewarnai langit dengan gradasi oranye dan ungu. Beta dan Arjuna duduk berdua di tepi sungai, menikmati ketenangan alam.
"Terima kasih sudah datang," kata Arjuna, memecah kesunyian. "Aku tahu ini bukan liburan yang mewah, tapi aku harap kamu menyukainya."
Beta tersenyum. "Ini lebih dari sekadar liburan," jawabnya. "Aku merasa menemukan sesuatu yang penting di sini. Sesuatu yang hilang."
Arjuna menatapnya dengan tatapan yang hangat. "Aku juga merasa begitu," bisiknya.
Mereka berpegangan tangan, merasakan kehangatan dan kedamaian yang menyelimuti mereka. Beta menyadari bahwa angka 92% itu hanyalah permulaan. Cinta sejati tidak bisa dihitung dengan algoritma. Cinta adalah tentang keberanian untuk mengambil risiko, tentang kejujuran untuk menjadi diri sendiri, dan tentang kesediaan untuk membuka hati.
Beta memutuskan untuk tinggal di Kalimantan. Ia bergabung dengan tim Arjuna, menggunakan keahlian teknologinya untuk mengembangkan sistem monitoring hutan yang lebih efektif. Ia menemukan makna baru dalam hidupnya, bukan hanya sebagai seorang data scientist, tetapi juga sebagai seorang aktivis lingkungan, dan sebagai seseorang yang dicintai dan mencintai.
Di bawah langit Kalimantan yang bertabur bintang, Beta menyadari bahwa kadang-kadang, kita perlu membiarkan algoritma membimbing kita, tetapi pada akhirnya, hati kita sendiri yang akan menentukan jalan yang benar. Hati Beta, yang dulunya dingin dan dipenuhi dengan data, kini berdebar hangat karena cinta, harapan, dan masa depan yang cerah. Dan ia tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa peluang cinta mereka jauh lebih besar dari sekadar 92%. Peluang mereka tak terhingga.