Kode Hati: Cinta yang Diuji oleh Algoritma

Dipublikasikan pada: 12 Jun 2025 - 00:20:12 wib
Dibaca: 177 kali
Jari jemariku menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode. Di layar, sistem rekomendasi kencan buatanku berdenyut hidup. Namanya, "SoulMate Algorithm," dan aku mempertaruhkannya untuk mengubah cara orang menemukan cinta. Ironisnya, aku sendiri masih berkutat dengan kesendirian, padahal algoritma itu seharusnya tahu persis siapa yang paling cocok untukku.

Sudah enam bulan aku bekerja siang dan malam. Mimpi tentang sintaksis dan basis data menghantuiku. Tapi aku yakin, SoulMate Algorithm bukan sekadar aplikasi kencan biasa. Ini adalah sebuah revolusi. Algoritma ini tidak hanya menganalisis minat dan hobi, tapi juga pola komunikasi, nilai-nilai hidup, bahkan ekspresi wajah melalui foto. Tujuannya sederhana: menemukan pasangan yang benar-benar kompatibel, bukan sekadar cocok di permukaan.

Malam ini, aku berencana menjalankan versi beta SoulMate Algorithm pada diriku sendiri. Sedikit narsis memang, tapi ini untuk kepentingan riset. Aku memasukkan data diriku selengkap mungkin: preferensi buku, film, musik, pandangan politik, bahkan makanan favorit. Kemudian, aku membiarkan algoritma bekerja.

Layar berkedip, lalu menampilkan sebuah profil. Jantungku berdegup kencang. Namanya Anya. Foto profilnya memperlihatkan seorang wanita dengan mata cokelat hangat dan senyum yang menenangkan. Deskripsinya singkat namun padat: "Pecinta buku, pengagum senja, dan percaya pada kekuatan koneksi sejati."

Anya bekerja sebagai seorang arsitek lanskap. Dia suka mendaki gunung, membaca puisi, dan bermain piano. Nilai-nilai hidupnya sejalan dengan nilaiku. Algoritma mencatat tingkat kompatibilitas kami mencapai 98%. Hampir sempurna.

Aku ragu-ragu. Inilah momen yang menentukan. Haruskah aku mencoba?

Setelah menarik napas dalam-dalam, aku mengirimkan pesan singkat: "Hai Anya, saya Rey. Algoritma yang saya kembangkan merekomendasikan kita. Mungkin terdengar aneh, tapi apakah kamu tertarik untuk mengobrol?"

Balasannya datang hampir seketika: "Rey? Algoritma? Kedengarannya menarik. Saya penasaran."

Obrolan pertama kami berlangsung hingga larut malam. Kami membahas buku favorit, impian masa depan, dan ketakutan terbesar kami. Anya ternyata sangat cerdas, humoris, dan memiliki pandangan yang sama denganku tentang banyak hal. Aku merasa seperti menemukan seseorang yang selama ini kucari.

Beberapa hari kemudian, kami memutuskan untuk bertemu langsung. Aku gugup setengah mati. Bagaimana jika kenyataannya tidak seindah profil digitalnya? Bagaimana jika algoritma itu salah?

Saat Anya muncul di depan kedai kopi, semua kekhawatiran itu sirna. Dia bahkan lebih cantik dari fotonya. Senyumnya memancarkan kehangatan yang membuatku merasa nyaman.

Kencan pertama kami berjalan lancar. Kami tertawa, berbagi cerita, dan menemukan banyak kesamaan. Aku merasa seperti sudah mengenalnya seumur hidup. Setelah kencan itu, kami terus bertemu. Semakin aku mengenal Anya, semakin aku yakin bahwa algoritma itu benar. Dia adalah SoulMate-ku.

Namun, kebahagiaan ini tidak berlangsung lama.

Suatu malam, saat kami sedang makan malam, Anya bertanya tentang SoulMate Algorithm. Aku menjelaskan secara detail cara kerjanya, bagaimana aku memasukkan data diriku dan dirinya ke dalam sistem, dan bagaimana algoritma itu menentukan tingkat kompatibilitas kami.

Ekspresi Anya berubah. Matanya yang tadinya berbinar menjadi dingin. "Jadi, kamu memilihku berdasarkan algoritma?" tanyanya dengan nada datar.

"Bukan begitu, Anya. Algoritma hanya membantu menemukanmu. Aku yang memutuskan untuk mendekatimu. Aku yang jatuh cinta padamu," jawabku berusaha menjelaskan.

"Tapi bagaimana jika algoritma itu salah? Bagaimana jika suatu hari algoritma itu menemukan orang lain yang lebih kompatibel denganku? Apakah kamu akan meninggalkanku?"

Aku terdiam. Pertanyaan Anya sangat menusuk. Aku belum pernah memikirkan kemungkinan itu.

"Aku tidak tahu," jawabku jujur. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi yang aku tahu saat ini, aku mencintaimu."

Anya menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menjalani hubungan yang dibangun di atas algoritma. Aku ingin cinta yang alami, yang tumbuh dari hati, bukan dari perhitungan."

Dia berdiri dan pergi meninggalkanku. Aku terpaku di kursi, tak mampu berkata apa-apa.

Keesokan harinya, aku mematikan SoulMate Algorithm. Aku menghapus semua data dan kode yang telah kubuat. Aku sadar, cinta tidak bisa diukur dengan algoritma. Cinta adalah misteri, adalah perasaan yang tak terduga, adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi.

Aku merindukan Anya. Aku mencoba menghubunginya, tapi dia tidak menjawab panggilanku. Aku mengirimkan pesan, tapi tidak ada balasan. Aku tahu, aku telah kehilangan dia.

Beberapa minggu kemudian, aku menerima sebuah surat dari Anya. Di dalamnya, dia menulis: "Rey, aku tidak menyalahkanmu. Aku tahu kamu berniat baik. Tapi aku tidak bisa menerima cinta yang diatur oleh algoritma. Mungkin suatu hari nanti, kita akan bertemu lagi. Mungkin suatu hari nanti, kita bisa mencintai tanpa ada kode yang menguji hati kita."

Aku membaca surat itu berulang-ulang. Air mata menetes di pipiku. Aku mengerti. Cinta sejati tidak bisa ditemukan dengan teknologi. Cinta sejati harus dicari dengan hati.

Mulai saat itu, aku berhenti mengejar kesempurnaan. Aku belajar menerima ketidaksempurnaan. Aku belajar mencintai dengan sepenuh hati, tanpa syarat, tanpa algoritma. Aku percaya, suatu hari nanti, aku akan menemukan cinta yang sesungguhnya. Cinta yang diuji bukan oleh kode, tapi oleh waktu dan kesetiaan. Cinta yang abadi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI