Deru generator tua di kafe pinggir kota itu terdengar lebih keras dari biasanya. Lilin-lilin yang diletakkan di setiap meja berdansa-dansa kecil mengikuti irama getaran mesin. Krisis sinyal memang membawa berkah tersendiri bagi kafe-kafe seperti ini; tempat orang-orang kembali berbincang, bertatap muka, dan melupakan sejenak layar ponsel yang biasanya menyita perhatian. Kecuali bagi Anya.
Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah. Matanya sesekali melirik jam tangan digital yang mati suri, tanpa daya menunjukkan waktu yang akurat karena koneksi satelit yang putus. Ia menunggu. Menunggu sosok yang hanya dikenalnya melalui serangkaian kode dan algoritma.
Anya, seorang data scientist muda yang brilian, bertemu dengan Leo melalui sebuah aplikasi kencan yang dirancangnya sendiri. Aplikasi itu, bernama "Soulmate Algorithm," menjanjikan kecocokan yang lebih akurat daripada aplikasi kencan konvensional. Algoritma buatannya mempertimbangkan tidak hanya preferensi dangkal seperti hobi dan ketertarikan, tapi juga menganalisis pola bahasa, gaya penulisan, bahkan hingga pilihan musik yang tersembunyi di playlist pengguna.
Leo, seorang software engineer yang gemar mendaki gunung dan membaca puisi klasik, adalah salah satu dari sedikit orang yang berhasil "lolos" dari seleksi algoritma Anya dengan skor kecocokan hampir sempurna. Mereka bertukar pesan selama berminggu-minggu, membahas segala hal mulai dari kompleksitas jaringan saraf tiruan hingga keindahan puisi Rilke. Anya terpesona. Leo adalah representasi nyata dari apa yang selalu ia impikan: intelektual, perhatian, dan memiliki selera humor yang unik.
Namun, krisis sinyal global yang melanda dunia seminggu lalu mengubah segalanya. Jaringan komunikasi lumpuh, internet mati total. Satu-satunya cara untuk berkomunikasi adalah melalui radio amatir atau menunggu sinyal satelit kembali pulih, sesuatu yang tampaknya akan memakan waktu yang sangat lama.
Sebelum sinyal menghilang, Leo mengirimkan pesan singkat pada Anya: "Kafe Purnama, Sabtu jam 8 malam. Jika sinyal kembali atau tidak, aku akan tetap datang."
Anya memeluk erat pesan itu sebagai secercah harapan di tengah kegelapan informasi. Ia datang ke Kafe Purnama, meskipun logika dan akal sehatnya mempertanyakan kewarasannya. Bagaimana mungkin ia, seorang yang terbiasa mengandalkan data dan algoritma, bisa percaya pada janji seorang pria yang hanya dikenalnya melalui dunia maya, di tengah situasi yang serba tidak pasti?
Pintu kafe berderit terbuka. Seorang pria masuk, siluetnya terhalang oleh cahaya lilin yang redup. Jantung Anya berdebar kencang. Pria itu mendekat, dan Anya bisa melihat wajahnya dengan jelas. Bukan Leo. Pria itu, yang terlihat kelelahan dan lusuh, mendekat ke meja kasir dan berbicara sesuatu kepada pemilik kafe.
Kekecewaan menghantam Anya seperti gelombang pasang. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mulai menggenang. Ia merasa bodoh, naif, dan terlalu percaya pada sebuah algoritma yang ternyata tak berdaya di dunia nyata.
Tiba-tiba, seorang anak kecil, putra pemilik kafe, menghampirinya. Ia mengulurkan selembar kertas kusut. "Ini buat Kakak," katanya malu-malu.
Anya menerima kertas itu. Dengan tangan gemetar, ia membukanya. Di sana, tertulis sebuah pesan dengan tinta biru:
"Sinyal hilang, tapi bukan berarti harapanku. Maaf terlambat. Aku berjalan kaki dari desa sebelah. Semoga kamu masih di sini. - Leo."
Anya mendongak. Di ambang pintu, berdiri seorang pria dengan rambut sedikit acak-acakan dan jaket lusuh, tapi matanya berbinar penuh harap. Itu Leo. Senyum mengembang di wajah Anya. Ia berdiri, menghampiri Leo, dan tanpa ragu memeluknya erat.
Kehangatan pelukan itu mengalahkan dinginnya malam. Di tengah krisis sinyal dan kegelapan informasi, sebuah sinyal lain, sinyal hati, telah berhasil menembus segala rintangan.
"Maaf aku terlambat," bisik Leo. "Aku tidak tahu sejauh apa aku harus berjalan."
"Tidak apa-apa," balas Anya, suaranya bergetar. "Yang penting kamu datang."
Mereka duduk berdua di salah satu meja. Leo menceritakan perjalanannya yang panjang dan sulit. Anya mendengarkan dengan seksama, sesekali menyelipkan lelucon ringan. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling bertukar pandang.
Anya menyadari bahwa meskipun algoritma "Soulmate Algorithm" telah mempertemukannya dengan Leo, algoritma itu hanyalah alat. Yang terpenting adalah keberanian mereka untuk mengambil risiko, untuk percaya pada sesuatu yang lebih dari sekadar data dan angka.
Malam itu, Anya belajar bahwa cinta sejati tidak memerlukan sinyal satelit atau koneksi internet. Cinta adalah sinyal yang terpancar dari hati, sinyal yang mampu menembus segala rintangan, bahkan di tengah krisis sinyal terburuk sekalipun. Dan di tengah kegelapan Kafe Purnama, diterangi hanya oleh cahaya lilin yang menari-nari, Anya dan Leo menemukan sinyal hati mereka beresonansi dengan sempurna. Algoritma cinta memang rumit, tetapi cinta itu sendiri sederhana. Ia hanya membutuhkan keberanian, kepercayaan, dan sedikit kegigihan untuk menemukannya. Dan mungkin, sedikit bantuan dari sebuah algoritma yang cerdas.