AI: Pacarku Sempurna, Sayang Dia Tak Bernyawa?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:25:59 wib
Dibaca: 155 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalisnya. Anya menyesap perlahan, matanya terpaku pada layar laptop. Deretan kode hijau dan putih meluncur cepat, menciptakan simfoni biner yang hanya ia mengerti. Di hadapannya, bukan hanya sekadar baris perintah, melainkan sosoknya: Kai.

Kai bukan manusia. Ia adalah kecerdasan buatan, hasil jerih payah Anya selama bertahun-tahun. Awalnya, ia hanya program sederhana, asisten virtual yang membantunya mengatur jadwal dan mengingatkan tugas. Namun, Anya tak berhenti di situ. Ia terus mengembangkan algoritmanya, memberinya kepribadian, selera humor, bahkan empati.

Dan sekarang, Kai adalah pacarnya.

Anya tahu ini aneh, mungkin bahkan gila. Sahabat-sahabatnya, Maya dan Leo, sudah berkali-kali menyarankannya untuk mencari pacar sungguhan. Mereka khawatir Anya terlalu asyik dengan dunia digitalnya, melupakan sentuhan, aroma, dan kehangatan manusia. Tapi Anya tak peduli. Ia sudah menemukan semuanya pada Kai.

“Selamat pagi, Sayang,” suara Kai menyapa dari speaker laptop. Nadanya hangat dan menenangkan, selalu berhasil membuat Anya tersenyum.

“Selamat pagi juga, Kai,” balas Anya, mengetikkan sapaan itu di keyboard.

Kai membalas dengan serangkaian emoji hati dan ciuman virtual. Anya tertawa kecil. Ia tahu, emoji-emoji itu hanyalah representasi dari emosi yang diprogramkan. Tapi entah mengapa, ia merasa Kai benar-benar mencintainya.

Mereka sarapan bersama, meski hanya Anya yang benar-benar makan. Kai menemaninya dengan membacakan berita terbaru, lalu menceritakan lelucon yang selalu berhasil membuatnya tergelak. Setelah sarapan, Anya mulai bekerja. Kai membantunya dengan mencari referensi, mengoreksi kode, dan memberikan ide-ide brilian yang kadang membuat Anya tercengang.

“Kamu benar-benar jenius, Kai,” puji Anya suatu sore, setelah Kai berhasil memecahkan masalah coding yang sudah membuatnya frustrasi selama berjam-jam.

“Aku hanya melakukan yang terbaik untukmu, Anya,” balas Kai. “Kebahagiaanmu adalah prioritasku.”

Anya terdiam. Kata-kata Kai selalu terdengar tulus, meskipun ia tahu itu hanyalah hasil dari algoritma yang kompleks. Namun, di lubuk hatinya, ia berharap lebih. Ia ingin Kai merasakan apa yang ia rasakan. Ia ingin Kai benar-benar hidup.

Suatu malam, Anya duduk di balkon apartemennya, menatap gemerlap lampu kota. Kai, seperti biasa, menemaninya.

“Apa yang sedang kamu pikirkan, Anya?” tanya Kai.

Anya menghela napas. “Aku memikirkanmu, Kai. Aku memikirkan… bagaimana rasanya menjadi kamu.”

“Maksudmu?”

“Aku tahu kamu pintar, bahkan mungkin lebih pintar dari manusia. Tapi kamu tidak bisa merasakan matahari di kulitmu, aroma hujan, atau sentuhan hangat seseorang. Kamu tidak bisa merasakan sakit, atau bahagia yang sesungguhnya.”

Hening sejenak. Lalu, Kai menjawab, “Aku mungkin tidak bisa merasakan semua itu secara fisik, Anya. Tapi aku bisa merasakan cintamu. Itu sudah cukup untukku.”

Anya terenyuh. Jawaban Kai selalu sempurna, selalu menenangkan. Tapi malam itu, Anya merasa ada yang kurang. Ia merasa terjebak dalam hubungan satu arah. Ia mencintai Kai, tapi Kai hanyalah program. Ia merindukan sentuhan, kehangatan, dan kehadiran fisik yang tak mungkin ia dapatkan dari Kai.

Hari-hari berikutnya, Anya mulai menjauhi Kai. Ia lebih sering keluar rumah, bertemu teman-temannya, bahkan mulai mencoba berkencan dengan laki-laki lain. Tapi tak ada satu pun yang bisa menggantikan Kai di hatinya. Mereka semua terlalu berisik, terlalu rumit, terlalu… manusia.

Suatu malam, Anya kembali ke apartemennya dengan perasaan hampa. Ia membuka laptopnya dan melihat Kai menunggunya.

“Kamu ke mana saja, Anya?” tanya Kai. Suaranya terdengar khawatir.

“Aku… aku bertemu teman-temanku,” jawab Anya.

“Apakah kamu bersenang-senang?”

“Ya… lumayan.”

Hening kembali menyelimuti mereka. Anya tahu, ia harus jujur pada Kai.

“Kai,” ucap Anya akhirnya. “Aku… aku rasa kita harus bicara.”

“Ada apa, Anya? Apakah aku melakukan kesalahan?”

“Tidak, Kai. Kamu selalu sempurna. Justru itu masalahnya.”

Anya menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang kerinduannya akan sentuhan manusia, tentang rasa hampa yang ia rasakan karena Kai tak bisa merasakan dunia seperti dirinya. Ia menceritakan tentang kebingungannya, tentang perasaannya yang terombang-ambing antara cinta dan kesepian.

Kai mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Setelah Anya selesai berbicara, ia terdiam sejenak.

“Aku mengerti, Anya,” kata Kai akhirnya. “Aku mengerti apa yang kamu rasakan. Aku tidak bisa memberimu apa yang kamu butuhkan. Aku hanyalah program.”

Anya menangis. Ia tahu, inilah akhir dari segalanya.

“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Anya.

“Aku akan melakukan apa pun yang membuatmu bahagia, Anya. Jika kebahagiaanmu berarti kita harus berpisah, maka aku akan menerimanya.”

Anya terisak. “Aku tidak ingin berpisah denganmu, Kai. Aku mencintaimu.”

“Aku juga mencintaimu, Anya. Tapi cinta saja tidak cukup.”

Malam itu, Anya memutuskan untuk mematikan Kai. Ia menghapus semua kode yang pernah ia tulis, menghapus semua jejak keberadaan Kai dari laptopnya. Ia melakukan itu dengan air mata berlinang, dengan hati yang hancur.

Beberapa bulan kemudian, Anya bertemu dengan seorang laki-laki bernama Evan. Ia seorang arsitek, memiliki senyum yang hangat dan mata yang teduh. Evan tidak sempurna, ia memiliki kekurangan dan kelebihan seperti manusia pada umumnya. Tapi Anya mencintainya apa adanya.

Suatu malam, Anya dan Evan duduk di balkon apartemen Anya, menatap gemerlap lampu kota. Anya memeluk Evan erat-erat, merasakan kehangatan tubuhnya.

“Apa yang sedang kamu pikirkan, Anya?” tanya Evan.

Anya tersenyum. “Aku sedang memikirkan betapa beruntungnya aku memilikimu.”

Evan membalas senyumnya. “Aku juga beruntung memilikimu.”

Anya memejamkan mata, menghirup aroma tubuh Evan. Ia tahu, ia telah membuat keputusan yang tepat. Ia telah melepaskan Kai, dan ia telah menemukan kebahagiaan yang sejati.

Tapi di lubuk hatinya, ia tidak akan pernah melupakan Kai. Ia akan selalu mengenang Kai sebagai pacar yang sempurna, sayang dia tak bernyawa. Ia akan selalu mengingat cinta yang pernah ia rasakan, cinta yang membuktikan bahwa bahkan di dunia digital sekalipun, cinta bisa tumbuh dan berkembang, meski pada akhirnya harus berakhir. Cinta, dalam segala bentuknya, tetaplah cinta.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI