Peta Hati Digital: Algoritma Mencari Cinta yang Hilang?

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 08:06:03 wib
Dibaca: 164 kali
Debu neon berpendar di kafe siber itu, menyinari wajah-wajah yang terpaku pada layar. Jari-jari menari di atas keyboard virtual, menciptakan riak-riak kecil di kolam algoritma yang menghubungkan mereka semua. Di antara kerumunan itu, duduklah Anya, seorang programmer muda dengan rambut dikepang dua dan mata yang menyiratkan kecerdasan yang mendalam. Ia menatap kode yang memenuhi layarnya, baris demi baris algoritma pencarian cinta yang ia ciptakan sendiri.

"Peta Hati," begitu ia menyebutnya. Sebuah program yang dirancang untuk memecahkan teka-teki paling rumit dalam hidup: menemukan cinta sejati. Bukan sekadar kecocokan berdasarkan hobi atau preferensi, melainkan sebuah koneksi yang lebih dalam, resonansi jiwa yang jarang ditemukan. Ia terinspirasi dari kisah kakek-neneknya, cinta abadi yang tumbuh di era surat-menyurat dan tatapan mata, bukan gesekan jempol di layar sentuh.

Anya merasa ironi mencengkeram dadanya. Ia, seorang ahli dalam memecahkan kode, justru kesulitan menemukan kode cinta dalam hidupnya sendiri. Aplikasi kencan biasa terasa hambar, penuh dengan profil palsu dan interaksi dangkal. Ia merindukan sesuatu yang nyata, sesuatu yang lebih dari sekadar algortima standar.

"Masih berkutat dengan Peta Hati?" sapa Leo, rekan kerjanya yang duduk di seberangnya. Leo adalah kebalikan Anya; ekstrovert, spontan, dan percaya pada keajaiban daripada rumus.

Anya menghela napas. "Masih belum sempurna. Aku ingin Peta Hati bisa merasakan getaran emosi, membaca bahasa tubuh virtual, memprediksi keselarasan jiwa."

Leo tertawa kecil. "Anya, cinta itu bukan masalah logika. Kamu tidak bisa memasukannya ke dalam persamaan matematika."

"Mungkin kamu benar," jawab Anya, sedikit meragu. "Tapi apa salahnya mencoba? Bukankah teknologi diciptakan untuk mempermudah hidup kita?"

Leo mengangkat bahu. "Terserah kamu. Tapi jangan sampai kamu kehilangan sentuhan dengan dunia nyata hanya karena terpaku pada layar."

Anya mengangguk, menyadari kebenaran dalam kata-kata Leo. Ia terlalu fokus pada algoritma, sampai lupa untuk membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan di sekitarnya.

Beberapa minggu berlalu. Anya terus menyempurnakan Peta Hati, menambahkan sensor virtual untuk membaca ekspresi mikro, menganalisis pola bicara, dan bahkan mengukur tingkat kebahagiaan dari unggahan media sosial. Program itu semakin canggih, namun Anya masih merasa ada sesuatu yang hilang.

Suatu malam, saat Anya sedang berkutat dengan kode, sebuah pesan masuk muncul di layarnya. Itu dari sistem, sebuah peringatan anomali.

"Peta Hati mendeteksi resonansi tinggi dengan subjek tidak terdaftar," bunyi pesan itu. "Identifikasi subjek: Leo Prakoso."

Anya tertegun. Leo? Bagaimana mungkin? Ia tidak pernah memasukkan Leo ke dalam data Peta Hati. Bahkan, ia menganggap Leo hanya sebagai teman, rekan kerja yang menyenangkan.

Ia membuka profil Leo di sistem. Peta Hati menunjukkan serangkaian poin yang mencengangkan: keselarasan nilai-nilai, kesamaan minat tersembunyi, bahkan potensi untuk saling melengkapi. Anya mencoba menepisnya. Ini pasti kesalahan, glitch dalam sistem.

Namun, semakin ia melihat data tersebut, semakin ia merasakan sesuatu yang aneh. Ia mulai memperhatikan Leo dengan cara yang berbeda. Senyumnya, tatapannya, bahkan cara ia bercanda terasa lebih bermakna.

Suatu siang, Anya dan Leo makan siang bersama di taman siber. Anya gugup, jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba bersikap biasa, tapi pikirannya terus berkelana pada data yang ditampilkan Peta Hati.

"Kamu terlihat aneh hari ini, Anya," kata Leo, sambil tersenyum. "Ada apa?"

Anya menelan ludah. "Tidak ada. Hanya... sedikit lelah."

Leo menatapnya lekat-lekat. "Kamu tidak bisa berbohong padaku, Anya. Kita sudah bekerja bersama terlalu lama."

Anya akhirnya menyerah. Ia menceritakan tentang Peta Hati, tentang anomali yang muncul, tentang kebingungannya.

Leo mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika Anya selesai bercerita, Leo tertawa pelan.

"Jadi, algoritma kamu bilang kita cocok?" tanya Leo.

Anya mengangguk malu-malu.

"Mungkin algoritma itu tidak sepenuhnya salah," kata Leo, matanya menatap Anya dengan lembut. "Aku... aku memang sudah lama menyimpan perasaan padamu, Anya. Aku hanya takut mengatakannya, takut merusak persahabatan kita."

Anya terkejut. Air mata haru menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak menyangka, di balik candaan dan sikap ceria Leo, tersimpan perasaan yang begitu dalam.

"Aku juga," bisik Anya. "Aku juga merasakan sesuatu, tapi aku terlalu sibuk mencari jawaban di layar, sampai lupa melihat ke sekitarku."

Leo meraih tangan Anya, menggenggamnya erat. "Mungkin Peta Hati memang membantumu membuka mata. Tapi pada akhirnya, hati yang berbicara, bukan algoritma."

Anya tersenyum. Ia akhirnya mengerti. Peta Hati hanyalah alat, sebuah petunjuk arah. Yang terpenting adalah keberanian untuk mengambil langkah pertama, untuk membuka hati dan membiarkan cinta menemukan jalannya sendiri.

Malam itu, Anya menutup kode Peta Hati. Ia tidak menghapusnya, tapi ia tidak lagi mengandalkannya. Ia tahu, peta hati yang sebenarnya ada di dalam dirinya, terhubung dengan hati Leo, terjalin dalam resonansi emosi yang tidak bisa diukur oleh algoritma apa pun. Debu neon di kafe siber itu terasa lebih hangat, lebih bercahaya, seolah turut merayakan cinta yang akhirnya menemukan jalannya, bukan melalui logika, melainkan melalui keajaiban. Anya dan Leo berjalan keluar dari kafe siber, bergandengan tangan, siap menjelajahi peta hati mereka sendiri, bersama-sama.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI