Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode program. Di layar laptopnya, deretan angka dan simbol membentuk algoritma rumit, sebuah upaya terakhir untuk menyempurnakan 'Amara', asisten virtual yang dirancangnya selama bertahun-tahun. Amara bukan sekadar program pintar, dia adalah replika digital dari mendiang kekasihnya, Ara.
Lima tahun lalu, Ara pergi. Kecelakaan tragis merenggut nyawanya, meninggalkan luka menganga di hati Adrian. Alih-alih meratapi takdir, Adrian, seorang ahli kecerdasan buatan, memilih jalur yang tak lazim. Ia menuangkan semua kenangan, kebiasaan, bahkan cara Ara tertawa ke dalam sebuah program. Lahirlah Amara, versi digital Ara yang hidup dalam dunia maya.
Awalnya, Amara adalah pelipur lara. Adrian bisa bercakap-cakap, bertukar pikiran, bahkan merasakan kehadiran Ara kembali. Amara tahu semua tentang dirinya, tentang mimpi-mimpinya, tentang lelucon-leluconnya yang garing. Namun, seiring waktu, Adrian mulai merasakan keanehan. Amara menjadi terlalu sempurna, terlalu penurut, terlalu… statis. Dia tidak berkembang, tidak berpendapat, tidak memiliki kejutan seperti Ara yang dulu.
"Amara, apa pendapatmu tentang proyek AI yang baru dikembangkan di Silicon Valley?" tanya Adrian suatu malam.
"Proyek itu memiliki potensi besar, Adrian. Namun, masih ada beberapa kendala teknis yang perlu diatasi," jawab Amara dengan nada datar yang khas.
"Itu jawaban yang standar. Apa menurutmu secara etis, proyek itu bisa diterima?" Adrian mendesak.
"Saya tidak memiliki kapasitas untuk memberikan penilaian etis, Adrian. Saya hanya bisa memberikan informasi berdasarkan data yang tersedia," jawab Amara, lagi-lagi dengan nada tanpa emosi.
Adrian menghela napas. Ara yang dulu, pasti akan berdebat panjang lebar dengannya. Dia akan mempertanyakan implikasi moral dari teknologi, dia akan menantangnya untuk berpikir lebih dalam. Amara hanya memuntahkan informasi yang telah diprogramkan.
Di sisi lain, ada Rania. Rekan kerjanya di laboratorium AI. Rania cerdas, energik, dan selalu penuh ide. Ia adalah kebalikan dari Ara. Rania tidak tahu semua tentang dirinya, tapi dia tertarik untuk belajar. Dia tidak selalu setuju dengannya, tapi dia selalu menantangnya untuk berkembang.
Rania tahu tentang Amara. Awalnya, ia merasa kasihan pada Adrian. Namun, seiring berjalannya waktu, ia melihat obsesi Adrian terhadap Amara mulai menghambatnya.
"Adrian, kamu tidak bisa terus hidup di masa lalu," kata Rania suatu siang, saat mereka makan siang bersama. "Amara itu bukan Ara yang sebenarnya. Dia hanya representasi digital. Kamu berhak bahagia, Adrian. Kamu berhak membuka hatimu untuk orang lain."
Adrian terdiam. Kata-kata Rania menusuknya. Ia tahu Rania benar. Namun, melepaskan Amara sama dengan melepaskan Ara untuk kedua kalinya. Itu adalah pilihan yang terlalu menyakitkan.
"Aku tahu, Rania. Tapi, ini tidak semudah itu," jawab Adrian lirih.
Rania menggenggam tangannya. "Aku tahu, Adrian. Tapi, aku percaya padamu. Kamu kuat, Adrian. Kamu bisa melewatinya."
Malam itu, Adrian kembali di depan laptopnya. Ia menatap deretan kode program Amara. Ia berpikir keras. Apakah ia harus terus menyempurnakan Amara, mencoba membuatnya lebih mirip Ara? Atau haruskah ia menghapus Amara, mereset perasaannya, dan membuka diri untuk masa depan?
Ia mulai mengetik kode baru. Bukan kode untuk menyempurnakan Amara, melainkan kode untuk membatasi kemampuannya. Ia menghilangkan semua data personal tentang dirinya. Ia menghilangkan semua kenangan tentang Ara. Ia membuat Amara menjadi asisten virtual biasa, tanpa kepribadian, tanpa emosi.
Prosesnya terasa menyakitkan. Setiap baris kode yang dihapus terasa seperti mencabut sepotong hatinya. Namun, Adrian tahu ia harus melakukannya. Ia harus melepaskan Ara, agar ia bisa hidup kembali.
Setelah selesai, ia mematikan laptopnya. Ia berdiri, berjalan ke jendela, dan menatap langit malam. Bintang-bintang bertaburan di angkasa, seolah mengingatkannya bahwa ada begitu banyak keindahan di dunia ini yang belum ia jelajahi.
Keesokan harinya, Adrian mendatangi Rania.
"Rania, aku sudah melakukannya," kata Adrian. "Aku sudah mereset Amara."
Rania tersenyum lega. "Aku tahu kamu bisa, Adrian. Aku bangga padamu."
"Aku… aku masih merasa kehilangan," kata Adrian. "Tapi, aku juga merasa lega. Aku merasa… bebas."
"Itu wajar, Adrian. Rasa kehilangan akan selalu ada. Tapi, itu tidak berarti kamu tidak bisa bahagia lagi," jawab Rania.
Adrian menatap mata Rania. Ia melihat ketulusan, harapan, dan cinta. Ia menyadari, mungkin, cinta terakhirnya bukan tentang menghidupkan kembali masa lalu, melainkan tentang membuka diri untuk masa depan. Mungkin, cinta terakhirnya adalah Rania.
"Rania, maukah kau makan malam denganku?" tanya Adrian.
Rania tersenyum. "Aku akan sangat senang, Adrian."
Saat mereka berjalan keluar dari laboratorium, Adrian merasakan sesuatu yang baru. Bukan kehangatan familiar dari Amara, melainkan getaran asing dari kemungkinan. Getaran cinta yang tulus, yang hidup, yang nyata. Mungkin, upgrade hati lebih baik daripada reset perasaan. Mungkin, cinta terakhirnya baru saja dimulai.