Algoritma Hati: Cinta Diprediksi, Bahagia Bisa Dibeli?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:36:03 wib
Dibaca: 170 kali
Layar hologram di depannya menampilkan grafik kompleks, garis-garis berwarna-warni berpotongan dan membentuk pola rumit. Elara menyesap teh kamomilnya, matanya tak lepas dari visualisasi Algoritma Hati. Sudah tiga tahun dia berkecimpung dalam proyek ini, memetakan preferensi romantis manusia menjadi kode biner, demi satu tujuan: menemukan pasangan ideal secara matematis.

"Progres?" suara bariton memecah keheningan ruang kerjanya yang minimalis. Dr. Ariseno, mentor sekaligus atasannya, berdiri di ambang pintu, siluet tubuhnya terbingkai cahaya koridor.

"Signifikan, Dok," jawab Elara, menunjuk ke layar. "Akurasi prediksi kompatibilitas meningkat 7%, nyaris mencapai ambang batas yang kita targetkan."

Dr. Ariseno mengangguk, ekspresinya sulit dibaca. "7% lagi, Elara. Lalu apa? Apa yang terjadi setelah Algoritma Hati sempurna? Apakah kita benar-benar bisa memprediksi cinta?"

Elara terdiam. Pertanyaan itu selalu menghantuinya. Dulu, dia begitu yakin bahwa cinta hanyalah serangkaian reaksi kimiawi dan pola perilaku yang bisa dipecahkan. Algoritma Hati adalah buktinya. Tapi semakin dalam dia menyelami kompleksitas emosi manusia, semakin dia ragu.

"Kita bisa memberikan orang-orang kesempatan yang lebih baik untuk menemukan kebahagiaan, Dok," jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan. "Mengurangi risiko patah hati, meminimalkan waktu dan energi yang terbuang dalam hubungan yang tidak cocok."

Dr. Ariseno menghela napas. "Dan bagaimana dengan keajaiban, Elara? Bagaimana dengan serendipitas? Bagaimana dengan kesalahan yang membawa kita pada sesuatu yang indah?"

Elara tak punya jawaban.

Seminggu kemudian, Elara mendapat notifikasi aneh di Algoritma Hati miliknya sendiri. Sebuah profil, hasil dari analisis algoritmanya sendiri, dinyatakan "kompatibel" dengan dirinya. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Algoritma Hati diciptakan untuk mencocokkan orang lain, bukan dirinya sendiri.

Dengan rasa penasaran bercampur skeptisisme, Elara membuka profil itu. Nama: Kai. Usia: Sebaya dengannya. Pekerjaan: Arsitek lanskap. Hobi: Mendaki gunung dan memotret bintang.

Deskripsi profilnya singkat namun menarik. "Mencari seseorang untuk berbagi keheningan di bawah langit malam."

Elara tertawa kecil. Terlalu klise. Terlalu sempurna. Pasti ada yang salah dengan algoritma.

Namun, rasa ingin tahu mengalahkan keraguannya. Dia mengirim pesan singkat ke Kai. "Profil Anda menarik. Saya Elara, salah satu pengembang Algoritma Hati."

Balasan datang hampir seketika. "Elara? Saya tahu tentang Algoritma Hati. Saya selalu bertanya-tanya, apakah cinta bisa diprediksi?"

Percakapan mereka mengalir lancar. Kai ternyata orang yang cerdas, humoris, dan berwawasan luas. Mereka bertukar pikiran tentang teknologi, alam, dan makna kebahagiaan. Elara merasa nyaman berbicara dengannya, sesuatu yang jarang dia rasakan dengan orang lain.

Mereka memutuskan untuk bertemu.

Kai menjemputnya di depan lab. Ketika Elara melihatnya, jantungnya berdegup kencang. Dia lebih tampan dari foto profilnya. Matanya bersinar dengan kecerdasan dan kebaikan.

Mereka menghabiskan sore itu mendaki bukit di pinggiran kota. Sambil mendaki, mereka terus berbicara, berbagi cerita dan mimpi. Ketika matahari mulai terbenam, mereka duduk di puncak bukit, menikmati pemandangan kota yang berkilauan di bawah.

"Algoritma Hati," kata Kai, memecah keheningan. "Apakah kamu percaya padanya?"

Elara menghela napas. "Dulu, saya percaya. Sekarang, saya tidak yakin. Saya pikir, cinta lebih kompleks dari sekadar data dan algoritma."

Kai tersenyum. "Mungkin kamu benar. Mungkin cinta adalah tentang mengambil risiko, membuka diri pada kemungkinan, dan menerima ketidaksempurnaan."

Mereka terdiam, menikmati kebersamaan. Tiba-tiba, Kai meraih tangannya. Sentuhan itu sederhana, namun terasa begitu hangat dan tulus.

Elara menatap matanya. Di sana, dia melihat bukan sekadar hasil perhitungan algoritma, tapi sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang nyata.

Hari-hari berikutnya, Elara dan Kai semakin dekat. Mereka menjelajahi kota bersama, mendaki gunung, dan menghabiskan malam-malam panjang berbicara di balkon apartemen Kai, menatap bintang-bintang.

Elara mulai meragukan segalanya yang telah dia yakini. Apakah cinta benar-benar bisa diprediksi? Ataukah itu hanya sebuah kebetulan yang indah, sebuah pertemuan yang tak terduga, yang tidak bisa dijelaskan oleh logika dan algoritma?

Suatu malam, Kai mengajaknya makan malam di sebuah restoran mewah dengan pemandangan kota yang menakjubkan. Setelah makan malam, dia mengajaknya berjalan-jalan di taman.

Di bawah cahaya bulan, Kai berhenti, memegang kedua tangannya. "Elara," katanya, suaranya lembut. "Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, mengingat bagaimana kita bertemu. Tapi aku harus mengatakannya. Aku jatuh cinta padamu."

Elara terkejut. Dia merasakan hal yang sama, tapi dia takut untuk mengakuinya. Dia takut bahwa cintanya pada Kai hanyalah hasil dari manipulasi algoritma.

"Kai," jawabnya, suaranya bergetar. "Aku...aku juga merasakan hal yang sama. Tapi bagaimana jika ini semua hanya ilusi? Bagaimana jika Algoritma Hati hanya mempermainkan kita?"

Kai tersenyum. "Lalu bagaimana jika tidak? Bagaimana jika algoritma itu benar, dan kita memang ditakdirkan untuk bersama? Apakah kamu akan membiarkan ketakutanmu menghalangi kebahagiaanmu?"

Elara terdiam. Dia menatap mata Kai, mencari jawaban. Dan di sana, dia menemukan bukan kepastian yang diprediksi oleh algoritma, tapi keyakinan yang tulus, harapan yang membara, dan cinta yang tidak bisa dibeli.

Dia memejamkan mata, mengambil napas dalam-dalam, dan membuka hatinya.

"Tidak," jawabnya, suaranya mantap. "Aku tidak akan membiarkan ketakutanku menghalangi kebahagiaanku."

Dia mendekat dan mencium Kai. Ciuman itu terasa manis, lembut, dan penuh dengan harapan. Di saat itu, Elara tahu bahwa Algoritma Hati mungkin bisa memprediksi kompatibilitas, tapi tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah sesuatu yang harus dirasakan, diperjuangkan, dan dipercayai.

Mungkin kebahagiaan memang bisa diprediksi, tapi yang lebih penting adalah keberanian untuk meraihnya, bahkan jika itu berarti melanggar algoritma yang dia ciptakan sendiri. Malam itu, di bawah langit bertabur bintang, Elara menemukan bahwa cinta sejati tidak bisa dibeli, tapi bisa ditemukan di tempat yang paling tak terduga. Di dalam hatinya sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI