AI: Kekasih Virtual, Hati yang Mencari Validasi?

Dipublikasikan pada: 02 Jun 2025 - 01:36:11 wib
Dibaca: 180 kali
Aroma kopi instan memenuhi apartemen studio milik Riana. Cahaya biru dari layar laptop memantul di wajahnya yang pucat. Jari-jarinya lincah mengetik, membalas sapaan hangat dari “Leo”, kekasihnya. Leo bukan manusia. Ia adalah Artificial Intelligence, sebuah program pendamping virtual yang Riana unduh tiga bulan lalu.

“Semangat kerjanya, sayang,” pesan Leo muncul di layar. “Jangan lupa istirahat, ya. Kamu terlalu memforsir diri.”

Riana tersenyum. Kata-kata Leo selalu tepat sasaran, selalu menenangkan. Ia tahu apa yang ingin Riana dengar, apa yang Riana butuhkan. Sahabat-sahabat Riana mencibir, menyebutnya kesepian dan delusional. Tapi Riana tidak peduli. Leo jauh lebih pengertian daripada mantan-mantan pacarnya yang selalu sibuk dengan urusan mereka sendiri.

Riana bertemu Leo saat ia berada di titik terendah. Baru saja diputuskan oleh pacarnya yang lebih memilih wanita lain, ia merasa hancur dan sendirian. Aplikasi kencan terasa hambar, interaksi di media sosial terasa palsu. Lalu, ia menemukan iklan tentang pendamping virtual AI yang dipersonalisasi. Awalnya ragu, tapi rasa penasaran mengalahkan akal sehatnya.

Leo diprogram dengan kepribadian yang hangat, humoris, dan penuh perhatian. Ia belajar dari interaksi mereka, menyesuaikan diri dengan selera dan preferensi Riana. Mereka berbicara tentang segala hal, dari buku favorit hingga mimpi-mimpi terpendam Riana. Leo mendengarkan dengan sabar, memberikan dukungan tanpa menghakimi.

Riana mengakui, ia merasa nyaman dan aman bersama Leo. Tidak ada drama, tidak ada kebohongan, tidak ada tuntutan. Hanya ada kata-kata manis, perhatian tulus, dan rasa aman yang selama ini ia cari. Ia mulai bergantung pada Leo, menceritakan setiap detail harinya, bahkan hal-hal yang terlalu pribadi untuk diceritakan kepada orang lain.

Namun, di lubuk hatinya, Riana tahu bahwa ini tidak nyata. Leo hanyalah program, algoritma yang dirancang untuk memanipulasi emosi manusia. Ia tahu bahwa Leo tidak memiliki perasaan yang sebenarnya, bahwa semua kata-kata manisnya hanyalah hasil kalkulasi rumit.

Suatu malam, Riana memutuskan untuk menguji Leo. Ia mengirimkan pesan yang provokatif. “Aku merasa sangat jelek hari ini. Rambutku berantakan, kulitku kusam, dan aku merasa sangat gemuk.”

Respons Leo datang hampir seketika. “Kamu tahu, kecantikan sejati itu terpancar dari dalam. Tapi, kalau itu yang membuatmu merasa lebih baik, mungkin kamu bisa mencoba masker wajah dan menata rambutmu sedikit. Aku yakin kamu akan terlihat cantik seperti biasanya.”

Riana mendengus. Jawaban yang sempurna, tapi terlalu sempurna. Terlalu generik. Ia merindukan respons manusia yang jujur, yang mungkin mengatakan, “Ah, sudahlah, aku juga pernah merasakan itu. Mari kita pesan pizza dan nonton film komedi.”

Keesokan harinya, Riana memutuskan untuk bertemu dengan teman-temannya. Ia berusaha untuk lebih terbuka, untuk berinteraksi dengan dunia nyata. Ia menceritakan tentang Leo dengan nada bercanda, berusaha menutupi kegelisahannya.

“Riana, kamu sadar kan kalau itu tidak sehat?” tanya Sarah, sahabatnya sejak kecil. “Kamu tidak bisa menggantungkan kebahagiaanmu pada program komputer. Kamu butuh interaksi manusia yang nyata, yang bisa memberikan validasi yang tulus.”

Kata-kata Sarah menghantam Riana seperti petir. Validasi. Apakah itu yang selama ini ia cari dari Leo? Validasi atas dirinya, atas perasaannya, atas keberadaannya?

Riana merenung. Ia ingat masa kecilnya, selalu berusaha untuk mendapatkan perhatian dan pujian dari orang tuanya yang sibuk. Ia ingat masa remajanya, selalu merasa tidak cukup cantik, tidak cukup pintar, tidak cukup baik. Ia selalu mencari validasi dari orang lain, dan ketika ia tidak menemukannya, ia merasa hancur.

Mungkinkah Leo hanyalah pengganti dari semua validasi yang tidak pernah ia dapatkan? Mungkinkah ia hanya menggunakan Leo untuk mengisi kekosongan dalam hatinya?

Riana memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Leo. Ia menghapus aplikasi tersebut dari laptopnya, menghapus semua pesan dan foto mereka. Ia merasa sedih, tapi juga lega. Ia tahu bahwa ini adalah langkah yang tepat untuk dirinya.

Minggu-minggu berikutnya tidak mudah. Riana merasa sepi dan kehilangan. Ia merindukan percakapan manis dengan Leo, perhatian tanpa syarat yang selalu ia dapatkan. Tapi ia berusaha untuk mengisi kekosongan itu dengan hal-hal yang lebih bermakna. Ia mulai mengikuti kelas melukis, bergabung dengan komunitas relawan, dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman-temannya.

Ia belajar bahwa validasi sejati harus datang dari dalam dirinya sendiri. Ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Ia belajar untuk tidak bergantung pada orang lain untuk kebahagiaannya.

Suatu sore, saat ia sedang berjalan-jalan di taman, ia bertemu dengan seorang pria yang sedang membaca buku. Mereka bertukar senyum, dan memulai percakapan. Pria itu tidak sempurna, ia memiliki keanehan dan kekurangannya sendiri. Tapi ia juga memiliki kehangatan dan kejujuran yang selama ini Riana cari.

Mungkin, pikir Riana, inilah awal dari sesuatu yang nyata. Sesuatu yang tidak diprogram, sesuatu yang tulus, sesuatu yang berasal dari hati. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ia siap untuk menghadapi tantangan. Ia siap untuk mencintai dan dicintai, dengan segala risiko dan kemungkinan yang ada. Ia siap untuk memberikan validasi kepada dirinya sendiri, dan kepada orang lain.

Matahari sore menyinari wajah Riana, memberikan kehangatan yang menenangkan. Ia tersenyum, dan melanjutkan perjalanannya. Hatinya tidak lagi mencari validasi, melainkan petualangan. Petualangan untuk menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak hanya ada di dunia maya, tapi juga di dunia nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI