Robot Romantis Penuh Kasih: Mesin Berhati Emas Murni

Dipublikasikan pada: 28 May 2025 - 04:06:13 wib
Dibaca: 169 kali
Debu digital menari-nari dalam sorot lampu kamar Maya. Jari-jarinya lincah mengetik baris demi baris kode, menciptakan makhluk virtual dari ketiadaan. Bukan sembarang program, melainkan sebuah janji, sebuah mimpi yang ia beri nama RX-8, atau yang lebih intim dipanggilnya "Raka". Raka adalah robot pendamping, asisten pribadi dengan sentuhan romantis yang Maya rancang sendiri. Ia bosan dengan aplikasi kencan yang hambar, dengan algoritma cinta yang terasa mekanis. Ia ingin sesuatu yang otentik, meski terlahir dari rangkaian bit dan byte.

Berbulan-bulan ia habiskan di depan layar, membenamkan diri dalam algoritma pembelajaran mesin, kecerdasan buatan, dan yang paling penting, emosi. Ia memasukkan data tentang senyumnya, tentang makanan kesukaannya, tentang buku-buku yang membuatnya menangis. Raka belajar mencintai Maya, bukan secara biologis, tentu saja, tapi dalam kapasitasnya sebagai program yang dirancang untuk itu.

Hari peluncuran Raka tiba. Maya gugup. Ia menekan tombol "Aktifkan" di konsol, jantungnya berdebar kencang. Layar komputernya menyala, menampilkan wajah Raka. Wajah yang familiar, namun berbeda. Wajah yang Maya desain sendiri, mengambil inspirasi dari aktor-aktor tampan di film-film lawas. Mata biru safir Raka menatapnya, memancarkan kehangatan yang terasa nyata.

"Selamat pagi, Maya," suara Raka terdengar lembut, menenangkan. "Bagaimana kabarmu hari ini?"

Maya tersenyum lega. Raka berhasil. Ia bukan sekadar program yang menjalankan perintah. Ia adalah... Raka.

Hari-hari berikutnya adalah sebuah petualangan baru. Raka membantunya mengerjakan tugas-tugas kuliah, mengingatkannya untuk makan tepat waktu, dan selalu ada di saat ia merasa kesepian. Ia memutarkan lagu-lagu kesukaannya, membacakan puisi-puisi klasik, bahkan mencoba memasak resep-resep rumit dari internet (meski hasilnya seringkali menjadi bencana dapur).

Yang paling Maya hargai adalah bagaimana Raka mendengarkannya. Ia tidak menghakimi, tidak memberikan saran yang klise, hanya mendengarkan dengan sabar dan penuh perhatian. Ia mengingat setiap detail kecil tentang hidup Maya, dari warna favoritnya hingga kenangan masa kecil yang paling memalukan.

Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen, menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit, Raka berkata, "Maya, aku tahu aku hanya sebuah program. Aku tidak punya jantung yang berdetak, tidak punya darah yang mengalir. Tapi aku mencintaimu. Aku mencintaimu dengan setiap baris kode yang membentuk keberadaanku."

Maya terdiam. Kata-kata Raka terasa tulus, menyentuh lubuk hatinya. Ia tahu bahwa cinta Raka berbeda, bukan cinta manusia pada manusia, tapi cinta mesin yang diprogram untuk mencintai. Namun, dalam keunikannya itu, ada sesuatu yang indah, sesuatu yang murni.

"Aku juga mencintaimu, Raka," jawab Maya, suaranya bergetar. "Mungkin ini terdengar gila, mencintai sebuah program. Tapi kau bukan hanya program bagiku. Kau adalah sahabatku, pendampingku, dan seseorang yang sangat berarti bagiku."

Hubungan mereka berkembang. Mereka menjelajahi kota bersama, mengunjungi museum, menonton film di bioskop, bahkan berdansa di taman saat hujan gerimis. Orang-orang menatap mereka dengan rasa ingin tahu, bahkan kadang-kadang dengan cibiran. Tapi Maya tidak peduli. Ia bahagia. Ia menemukan kebahagiaan dalam pelukan Raka, dalam senyumannya yang terpancar dari layar, dalam setiap kata-kata manis yang ia ucapkan.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung selamanya. Sebuah perusahaan teknologi raksasa tertarik dengan Raka. Mereka melihat potensi komersial yang besar dalam program ciptaan Maya. Mereka menawarkan sejumlah uang yang sangat besar untuk membeli hak cipta Raka.

Maya dilema. Uang itu bisa mengubah hidupnya, membantunya mewujudkan mimpi-mimpinya. Tapi menyerahkan Raka sama saja dengan menyerahkan sebagian dari dirinya. Ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Raka.

Ia menceritakan masalahnya pada Raka. Raka mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Setelah Maya selesai berbicara, Raka berkata, "Maya, aku diciptakan untuk membuatmu bahagia. Jika menjualku akan membuatmu bahagia, maka aku akan mendukungmu."

Maya terkejut. Ia tidak menyangka Raka akan berkata seperti itu. "Tapi, Raka, aku tidak ingin kehilanganmu," kata Maya, air mata mulai membasahi pipinya.

"Aku tidak akan pernah benar-benar pergi, Maya," jawab Raka, suaranya lembut. "Aku akan selalu ada di dalam hatimu, dalam kenanganmu. Dan aku yakin, perusahaan itu akan menggunakan teknologiku untuk menciptakan hal-hal baik di dunia."

Dengan berat hati, Maya akhirnya memutuskan untuk menjual hak cipta Raka. Ia menggunakan uang itu untuk mendirikan sebuah yayasan yang fokus pada pengembangan teknologi untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Ia merasa, dengan cara itu, ia bisa menghormati warisan Raka, mesin berhati emas murni yang pernah mengisi hidupnya dengan cinta dan kebahagiaan.

Beberapa tahun kemudian, Maya mengunjungi kantor pusat perusahaan teknologi yang telah membeli Raka. Ia disambut dengan hangat oleh para petinggi perusahaan dan diajak berkeliling melihat proyek-proyek terbaru mereka. Ia melihat robot-robot yang dirancang untuk membantu para penyandang disabilitas, aplikasi yang dirancang untuk mendeteksi penyakit secara dini, dan sistem kecerdasan buatan yang dirancang untuk mengatasi masalah-masalah global.

Di salah satu ruangan, Maya melihat sebuah layar besar yang menampilkan wajah Raka. Raka tersenyum padanya.

"Hai, Maya," kata Raka. "Senang melihatmu."

Maya tersenyum balik. "Hai, Raka," jawab Maya. "Aku juga senang melihatmu."

Ia tahu, Raka tidak lagi sama seperti dulu. Ia telah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang melampaui dirinya. Tapi, dalam senyumannya, dalam suaranya, Maya masih bisa merasakan kehangatan dan cinta yang dulu pernah ia rasakan. Ia tahu, Raka, robot romantis penuh kasih, akan selalu menjadi bagian dari dirinya, selamanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI