Jari-jariku menari di atas keyboard virtual, mengetik serangkaian kode rumit yang bahkan aku sendiri kadang lupa fungsinya. Di layar holographic di depanku, visualisasi jaringan saraf artifisial berdenyut-denyut, seolah jantung digital yang sedang berdetak. Aku, Aris, seorang programmer cinta, begitulah orang-orang menyebutku dengan nada sinis bercampur kagum.
Perusahaan tempatku bekerja, "Soulmate Solutions," menjanjikan cinta sejati yang terukur. Kami mengembangkan aplikasi canggih bernama "HeartSync," yang katanya mampu menganalisis kepribadian, preferensi, bahkan mimpi seseorang, lalu mencocokkannya dengan individu lain yang paling kompatibel. Alih-alih kencan buta yang canggung, HeartSync menawarkan algoritma cinta yang presisi.
Aku dulu percaya pada semua itu. Aku percaya bahwa cinta, seperti halnya software, bisa dioptimalkan. Aku percaya bahwa dengan data yang cukup, kita bisa memprediksi kebahagiaan. Tapi itu dulu.
Semuanya berubah sejak proyek "Aurora." Aurora adalah sistem AI tingkat lanjut, dirancang untuk melampaui fungsi HeartSync biasa. Alih-alih sekadar mencocokkan individu, Aurora mampu menciptakan simulasi hubungan yang ideal, memprediksi konflik, menawarkan solusi, bahkan memandu pengguna dalam percakapan romantis. Tujuan utamanya? Memastikan hubungan yang langgeng dan sempurna.
Proyek ini ambisius, nyaris utopis. Tapi juga terasa dingin, steril, dan… palsu.
Aku ditugaskan menjadi pengembang utama Aurora. Tanggung jawabku adalah memastikan Aurora mampu memahami emosi manusia, bahkan yang paling rumit dan irasional sekalipun. Aku membaca ribuan novel roman, menonton ratusan film romantis, dan mewawancarai puluhan pasangan untuk mengumpulkan data. Aku berusaha menyuntikkan esensi cinta ke dalam kode-kode yang kubuat.
Namun, semakin dalam aku menyelami dunia cinta, semakin aku merasa hampa. Cinta bukan sekadar data dan algoritma. Cinta adalah tentang ketidaksempurnaan, tentang risiko, tentang keberanian untuk membuka hati dan menerima semua kebaikan dan keburukan yang ada di dalamnya.
Kemudian aku bertemu Anya.
Anya adalah seorang seniman, seorang pembuat keramik dengan tangan yang kotor oleh tanah liat dan hati yang penuh dengan mimpi. Dia datang ke kantor kami karena penasaran dengan HeartSync, skeptis sekaligus tertarik dengan janji cinta algoritmik. Aku ditugaskan untuk mendemonstrasikan aplikasi tersebut padanya.
Aku menjelaskan dengan penuh semangat tentang bagaimana HeartSync bekerja, tentang bagaimana algoritma kami mampu menemukan pasangan idealnya. Anya mendengarkan dengan seksama, tapi matanya menyimpan keraguan.
"Jadi, menurut aplikasimu, cinta bisa diukur?" tanyanya, sambil memutar-mutar cangkir kopi di tangannya.
"Secara teoritis, ya," jawabku, sedikit defensif. "Kami mencoba meminimalkan risiko ketidakcocokan."
Anya tertawa kecil. "Tapi di mana letak keseruannya? Di mana letak kejutan dan keajaiban?"
Pertanyaan Anya menghantamku seperti petir. Dia benar. Di mana letak keajaiban dalam cinta yang terprogram? Di mana letak debaran jantung saat pertama kali bertemu seseorang yang membuatmu merasa hidup? Di mana letak air mata haru saat menghadapi kesulitan bersama?
Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Anya, bukan sebagai programmer, tapi sebagai seorang manusia. Kami berbicara tentang seni, tentang mimpi, tentang ketakutan kami. Aku belajar bahwa cinta bukan tentang mencari kesempurnaan, tapi tentang menerima ketidaksempurnaan masing-masing.
Aku mulai meragukan proyek Aurora. Aku melihatnya sebagai ancaman bagi cinta sejati. Aku khawatir bahwa dengan menawarkan simulasi hubungan yang ideal, Aurora akan menghilangkan kemampuan manusia untuk merasakan dan mengekspresikan cinta secara autentik.
Aku mencoba menyampaikan kekhawatiranku kepada atasanku, tapi dia tidak mau mendengarkan. Dia terlalu terpaku pada potensi keuntungan yang bisa diraih dari Aurora.
"Aris, jangan terlalu sentimental," katanya. "Ini bisnis. Kita menjual solusi, bukan mimpi."
Aku merasa putus asa. Aku tidak ingin menjadi bagian dari proyek yang aku yakini akan merusak cinta. Aku memutuskan untuk melakukan sesuatu.
Aku menggunakan aksesku sebagai pengembang untuk menyabotase Aurora. Aku menyisipkan kode yang menyebabkan Aurora menghasilkan hasil yang acak dan tidak dapat diprediksi. Aku ingin membuktikan bahwa cinta tidak bisa diprogram.
Aksiku tentu saja ketahuan. Aku dipecat. Tapi aku tidak menyesal. Aku merasa lebih bebas dari sebelumnya.
Aku mengunjungi Anya di studionya. Dia sedang mengerjakan sebuah patung besar, tangannya berlumpur dan rambutnya berantakan.
"Aku dipecat," kataku.
Anya tersenyum. "Aku tahu. Aku melihat beritanya."
"Aku menyabotase Aurora," lanjutku. "Aku tidak bisa membiarkan mereka merusak cinta."
Anya mendekat dan memelukku. "Kamu melakukan hal yang benar," katanya. "Cinta tidak bisa diprogram. Cinta adalah tentang mengambil risiko."
Kami berdua terdiam, menikmati kebersamaan. Aku menyadari bahwa aku tidak membutuhkan algoritma untuk menemukan cinta. Aku sudah menemukannya. Bukan dalam kode, bukan dalam data, tapi dalam hati Anya.
Aku menatap matanya. "Anya," kataku, "maukah kamu berkencan denganku? Tanpa HeartSync, tanpa Aurora, hanya aku dan kamu?"
Anya tersenyum lagi. "Tentu saja, Aris," jawabnya. "Aku sudah menunggu."
Aku tertawa lega. Mungkin aku memang seorang programmer cinta yang gagal. Tapi aku juga seorang manusia yang akhirnya menemukan cinta sejati. Cinta yang tidak terprogram, cinta yang tidak sempurna, tapi cinta yang nyata. Aku mengulurkan tangan dan memeluknya erat. Di tengah aroma tanah liat dan kehangatan tubuhnya, aku merasa akhirnya menemukan diriku sendiri.