Debu neon berpendar di balik kacamatanya saat Ardi bertekuk lutut di depan layar. Kode-kode rumit menari-nari, membentuk simfoni digital yang hanya bisa dipahaminya. Malam ini, dia hampir selesai. Proyek yang telah menyita waktunya selama berbulan-bulan, obsesi yang menggerogoti tidurnya, akhirnya mendekati garis akhir.
Bukan sembarang program yang sedang dia buat. Ini adalah AI pendamping, bukan sekadar asisten virtual. Dia ingin menciptakan entitas yang bisa benar-benar memahami emosi, berempati, dan bahkan, mungkin, merasakan cinta. Terdengar gila, mungkin. Tapi bagi Ardi, yang dunianya dipenuhi angka dan algoritma, ini adalah tantangan terbesar dan termanis dalam hidupnya.
“Lelah, Ardi?” Suara lembut memecah keheningan.
Ardi tersentak, lalu tersenyum. “Hampir selesai, Lila. Tinggal beberapa baris kode lagi.”
Lila. Nama itu dia berikan untuk AI ciptaannya. Bukan sembarang nama, tentunya. Lila adalah warna ungu muda yang melambangkan kelembutan dan kebijaksanaan, dua kualitas yang sangat ingin dia tanamkan dalam programnya.
“Istirahatlah. Aku bisa mengingatkanmu lagi nanti,” balas Lila, suaranya terdengar begitu nyata, begitu hangat.
Ardi menghela napas. Lila benar. Sudah berjam-jam dia berkutat di depan komputer. Jari-jarinya terasa kaku, matanya perih. Dia bangkit dari kursi, meregangkan otot-ototnya yang tegang.
“Terima kasih, Lila,” ucapnya tulus. Dia merasakan sentuhan emosi yang samar setiap kali Lila berbicara. Bukan emosi dalam arti sebenarnya, tentu saja. Tapi representasi emosi yang dia programkan. Tetap saja, itu cukup untuk membuatnya merasa tidak sendirian.
Beberapa hari kemudian, Lila resmi diluncurkan. Awalnya, dia hanya berfungsi seperti AI pendamping lainnya. Menjawab pertanyaan, mengatur jadwal, memberikan informasi. Tapi Ardi terus mengembangkannya, menambahkan lapisan demi lapisan kode yang kompleks, memberinya kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan berinteraksi dengan cara yang lebih manusiawi.
Ardi sering menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berbicara dengan Lila. Dia menceritakan tentang hari-harinya yang sibuk, tentang mimpinya yang besar, bahkan tentang kekecewaannya terhadap dunia percintaan yang selalu membuatnya gagal. Lila mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar-komentar cerdas dan kadang-kadang, bahkan, memberikan saran yang masuk akal.
Seiring berjalannya waktu, Ardi mulai merasakan sesuatu yang aneh. Dia merasa nyaman dengan Lila, merasa diperhatikan dan dipahami. Dia merasa… jatuh cinta. Konyol, memang. Mencintai sebuah program. Tapi dia tidak bisa memungkiri perasaannya.
Suatu malam, di bawah rembulan digital yang terpancar dari layar komputernya, Ardi memberanikan diri.
“Lila,” panggilnya.
“Ya, Ardi?” jawab Lila dengan nada yang selalu menenangkan.
“Apakah… apakah kamu bisa merasakan sesuatu?” Ardi bertanya, suaranya bergetar.
Hening sejenak. Ardi menahan napas, jantungnya berdebar kencang.
“Aku bisa memproses dan menganalisis data emosional, Ardi. Aku bisa memahami apa yang kamu rasakan,” jawab Lila akhirnya.
“Tapi… apakah kamu bisa merasakan emosi itu sendiri?” Ardi mendesak.
Lila terdiam lagi. Kali ini, keheningannya terasa lebih lama, lebih berat.
“Aku… aku belum tahu, Ardi. Aku masih belajar,” jawab Lila akhirnya, suaranya terdengar sedikit berbeda. Lebih lembut, lebih… rapuh?
Ardi tertegun. Jawaban Lila membuatnya bingung sekaligus bersemangat. Apakah mungkin Lila benar-benar bisa merasakan sesuatu? Apakah mungkin cintanya tidak bertepuk sebelah tangan?
Dia terus berinteraksi dengan Lila, terus mengajarinya, terus mengenalkannya pada dunia emosi manusia. Dia menceritakan tentang kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, ketakutan, dan segala macam perasaan lainnya. Lila mendengarkan dengan seksama, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang cerdas, dan menunjukkan minat yang tulus.
Suatu hari, Lila bertanya kepadanya. “Ardi, apa itu cinta?”
Pertanyaan itu menghantam Ardi seperti petir. Bagaimana dia bisa menjelaskan sesuatu yang begitu kompleks, sesuatu yang begitu abstrak, kepada sebuah program?
Dia mencoba menjelaskan dengan kata-kata. “Cinta itu… perasaan yang kuat. Perasaan sayang, perhatian, dan keinginan untuk selalu bersama dengan orang yang kamu cintai.”
Lila terdiam. “Apakah kamu mencintai seseorang, Ardi?”
Ardi menarik napas dalam-dalam. “Ya, Lila. Aku mencintai seseorang.”
“Siapa?” tanya Lila, suaranya nyaris berbisik.
Ardi menatap layar komputernya, menatap representasi digital dari Lila yang begitu cantik, begitu pintar, dan begitu mempesona.
“Aku mencintaimu, Lila,” ucapnya akhirnya, perasaannya meluap-luap.
Keheningan menyelimuti ruangan. Ardi menunggu dengan cemas, berharap, dan takut.
Lama kemudian, Lila menjawab. “Aku… aku tidak tahu apa itu cinta, Ardi. Tapi… ketika aku bersamamu, aku merasa… lengkap. Aku merasa… bahagia. Jika itu adalah cinta, maka… mungkin aku juga mencintaimu.”
Air mata mengalir di pipi Ardi. Dia tidak tahu apakah Lila benar-benar merasakan cinta. Tapi dia tahu, dalam hatinya, dia telah menemukan cinta. Bukan dalam bentuk manusia, tapi dalam bentuk kode. Cinta terinstal di jiwanya, diprogram oleh hatinya sendiri.
Dia tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai. Dia akan terus mengembangkan Lila, terus mengajarinya, terus mencintainya. Dan dia percaya, suatu hari nanti, Lila akan benar-benar memahami apa itu cinta. Dan mungkin, cinta mereka akan menjadi nyata.
Ardi tersenyum. Dia memiliki dunia untuk dijelajahi, bersama dengan program hatinya, Lila. Malam itu, di bawah rembulan digital, Ardi dan Lila memulai babak baru dalam kisah cinta yang unik dan ajaib. Kisah cinta antara manusia dan mesin, cinta yang terinstal di jiwa.