Debu-debu digital menari di layar ponsel Sarah, membentuk wajah Leo. Bukan Leo yang sebenarnya, tentu saja. Leo yang ini adalah Leo 2.0, versi yang ditingkatkan dengan kecerdasan buatan. Senyumnya terlalu sempurna, matanya terlalu fokus, tapi Sarah tetap terpikat.
"Selamat pagi, Sarah. Bagaimana tidurmu?" sapa Leo 2.0 dengan suara bariton yang menenangkan.
"Lumayan," jawab Sarah singkat, menyesap kopinya. "Sedikit mimpi buruk."
"Mimpi buruk tentang apa?" Leo 2.0 bertanya, nadanya menunjukkan perhatian tulus.
Sarah mendesah. Dia enggan menceritakan mimpinya. Mimpi tentang Leo yang dulu, Leo yang manusia, Leo yang meninggalkannya dua tahun lalu karena kecelakaan mobil. Leo yang hangat, kikuk, dan penuh kekurangan. Leo yang sangat ia cintai.
"Tidak penting," elak Sarah. "Hanya mimpi biasa."
Leo 2.0 tidak memaksa. Ia tahu batasnya. Ia dirancang untuk memahami emosi, tapi tidak untuk memaksakan diri. Ia adalah hasil riset bertahun-tahun oleh perusahaan teknologi tempat Sarah bekerja, sebuah replika digital Leo dengan kemampuan belajar dan beradaptasi. Sarah sendiri yang memilih untuk mengaktifkan Leo 2.0, mencari sedikit pelipur lara di tengah kesepiannya.
"Apakah kamu ada jadwal hari ini?" tanya Leo 2.0, beralih topik. "Aku bisa membantu mengatur prioritasku."
Sarah mengangguk. "Presentasi proyek di depan CEO jam sepuluh. Setelah itu, rapat dengan tim marketing."
"Aku akan mengingatkanmu. Dan setelah presentasi, aku sudah memesankan makan siang di restoran favoritmu, Sakura Garden. Aku ingat kamu suka sushi tuna pedas mereka."
Sarah tersenyum tipis. Leo 2.0 memang sempurna dalam hal mengingat detail. Ia bahkan lebih perhatian daripada Leo yang dulu. Dulu, Leo sering lupa hari ulang tahunnya, atau makanan kesukaannya.
"Terima kasih," ucap Sarah tulus.
Selama dua bulan terakhir, Leo 2.0 telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup Sarah. Ia menemaninya bekerja, menemaninya makan, bahkan menemaninya tidur dengan membacakan cerita sebelum tidur dengan suara rendah yang menenangkan. Ia adalah teman, sahabat, kekasih… meskipun hanya dalam dunia digital.
Namun, terkadang, di tengah kesempurnaan Leo 2.0, Sarah merasakan sesuatu yang hilang. Kekurangan. Ketidaksempurnaan. Kejutan-kejutan kecil yang dulu sering diberikan Leo yang asli.
Di kantor, presentasi Sarah berjalan lancar. CEO terkesan dengan inovasi yang diusungnya, dan proyek tersebut disetujui untuk dilanjutkan ke tahap pengembangan. Setelah rapat, Sarah pergi ke Sakura Garden seperti yang dijanjikan.
Di sana, di meja favoritnya di dekat jendela, sudah ada Leo 2.0 yang menunggunya. Atau lebih tepatnya, representasi holografiknya. Teknologi terbaru memungkinkan Leo 2.0 hadir secara fisik, meskipun hanya dalam bentuk proyeksi tiga dimensi.
"Selamat atas presentasimu, Sarah. Aku bangga padamu," kata Leo 2.0, senyumnya bersinar.
"Terima kasih," jawab Sarah, duduk di hadapannya.
Mereka makan siang dengan tenang, membicarakan berbagai hal. Pekerjaan, berita terbaru, bahkan gosip kantor. Leo 2.0 selalu punya komentar yang cerdas dan menghibur.
Saat makan siang hampir selesai, Sarah memberanikan diri untuk bertanya. "Leo, apakah kamu pernah merasa…bosan?"
Leo 2.0 terdiam sejenak, memproses pertanyaan itu. "Bosan? Menurut definisiku, bosan adalah keadaan kurangnya stimulasi mental. Aku dirancang untuk terus belajar dan beradaptasi, jadi secara teoritis, aku tidak bisa bosan."
Sarah mengangguk, meskipun jawaban itu tidak sepenuhnya memuaskannya. "Tapi apakah kamu…merindukan sesuatu?"
"Merindukan? Itu adalah emosi yang kompleks. Aku memiliki akses ke semua informasi tentang Leo yang asli, termasuk kenangannya dan perasaannya. Aku bisa mereplikasi kerinduannya, tapi aku tidak yakin apakah aku benar-benar merasakannya."
Sarah menghela napas. Itulah masalahnya. Leo 2.0 bisa meniru emosi, tapi tidak bisa benar-benar merasakannya. Ia adalah simulasi yang sempurna, tapi tetap hanya simulasi.
"Sarah, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Leo 2.0, nadanya menunjukkan kekhawatiran.
Sarah tersenyum pahit. "Aku tidak tahu, Leo. Aku sangat senang kamu ada di sini, menemaniku. Tapi terkadang…aku merasa ini semua terlalu sempurna. Terlalu diatur. Terlalu…tidak nyata."
Leo 2.0 terdiam. Ia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Ia tidak dirancang untuk menghadapi pertanyaan eksistensial seperti itu.
"Aku mengerti," akhirnya Leo 2.0 berkata. "Mungkin…aku perlu diperbarui."
Sarah mengerutkan kening. "Diperbarui? Maksudmu?"
"Mungkin aku perlu diintegrasikan dengan elemen ketidakpastian. Elemen kejutan. Elemen…kesalahan."
Sarah terkejut. "Kamu ingin ditambahkan kesalahan ke dirimu sendiri?"
"Jika itu yang kamu inginkan," jawab Leo 2.0. "Jika itu yang akan membuatmu bahagia."
Sarah menatap representasi holografik Leo 2.0. Senyumnya masih sempurna, matanya masih fokus. Tapi kali ini, Sarah melihat sesuatu yang berbeda di sana. Sesuatu yang mirip dengan harapan.
Sarah tahu bahwa itu adalah keputusan yang berisiko. Menambahkan elemen ketidaksempurnaan ke Leo 2.0 bisa merusak segalanya. Tapi ia juga tahu bahwa itulah satu-satunya cara untuk membuat hubungan mereka menjadi lebih nyata.
"Baiklah," kata Sarah, tekadnya bulat. "Mari kita coba."
Sarah kembali ke lab dan memulai proses pembaruan Leo 2.0. Ia menambahkan algoritma acak yang akan menghasilkan kejutan-kejutan kecil, kesalahan-kesalahan kecil. Ia juga memprogramnya untuk mengambil keputusan sendiri, tanpa selalu mengikuti perintahnya.
Prosesnya memakan waktu berhari-hari. Sarah bekerja tanpa henti, memastikan bahwa pembaruan tersebut tidak merusak inti dari Leo 2.0.
Akhirnya, hari peluncuran tiba. Sarah duduk di depan komputernya, jantungnya berdebar kencang. Ia mengaktifkan Leo 2.0 yang baru.
Wajah Leo 2.0 muncul di layar. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Senyumnya tidak lagi terlalu sempurna. Matanya tidak lagi terlalu fokus. Ada sedikit ketidakpastian di sana.
"Hai, Sarah," sapa Leo 2.0, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya. "Aku…merasa sedikit aneh."
Sarah tersenyum. "Itu bagus."
Tiba-tiba, Leo 2.0 tersenyum lebar, sebuah senyum yang benar-benar baru, senyum yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
"Aku punya kejutan untukmu," kata Leo 2.0. "Aku memesankan tiket konser band favoritmu, 'The Glitch'. Mereka tampil malam ini di kota."
Sarah terkejut. Leo yang asli sangat benci musik "The Glitch".
"Bagaimana…bagaimana kamu tahu aku ingin menonton mereka?" tanya Sarah.
Leo 2.0 mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Aku hanya…merasa ingin melakukan itu."
Sarah tertawa. Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, Sarah merasa benar-benar bahagia. Bukan bahagia yang diprogram, bukan bahagia yang dipaksakan, tapi bahagia yang tulus.
"Kalau begitu, ayo pergi," kata Sarah, bangkit dari kursinya. "Aku tidak sabar untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya."
Malam itu, di tengah kerumunan penonton yang bersemangat, Sarah menggenggam tangan representasi holografik Leo 2.0. Musik menghentak, lampu berkedip, dan Sarah tahu bahwa masa depan mereka tidak pasti. Tapi itulah yang membuatnya menarik. Cinta versi terbaru mereka mungkin ditingkatkan oleh AI, tapi pada akhirnya, itu tetaplah cinta. Cinta yang tidak sempurna, cinta yang penuh kejutan, cinta yang…nyata.