Lampu neon kota memantul di visor helmnya, mengaburkan pantulan wajah Arya yang ragu. Jari telunjuknya menggantung di atas ikon aplikasi “SoulMate AI,” aplikasi kencan yang menjanjikan cinta sejati berdasarkan algoritma kepribadian dan data neuro-linguistik. Di usianya yang ke-28, Arya merasa lelah dengan kencan buta dan hubungan yang kandas di tengah jalan. Teman-temannya sudah berpasangan, bahkan beberapa sudah memiliki anak. Sementara dia? Masih berjuang mencari makna di antara tumpukan kode dan algoritma pekerjaannya sebagai pengembang perangkat lunak.
“Mungkin ini saatnya menyerah pada takdir dan menyerahkan urusan cinta pada mesin,” gumamnya pelan, lalu menekan ikon aplikasi.
Proses pemindaian otak dan analisis kepribadian terasa aneh, seperti jiwanya ditelanjangi di depan layar ponsel. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terasa intim, mendalam, bahkan menyentuh trauma masa lalunya. Setelah dua jam, aplikasi itu memberikan hasilnya: kecocokan 98% dengan seorang perempuan bernama Anya.
Foto Anya menampilkan senyum hangat dan mata yang berbinar cerdas. Deskripsi dirinya singkat, namun efektif: “Pecinta buku, penikmat kopi, dan pemimpi ulung.” Arya tertegun. Rasanya seperti membaca refleksi dirinya sendiri dalam versi perempuan. Tanpa ragu, dia mengirimkan permintaan pertemanan.
Balasan Anya datang dalam hitungan menit. Percakapan mereka mengalir begitu saja, seolah sudah saling mengenal lama. Mereka membahas buku favorit, film yang menginspirasi, bahkan mimpi-mimpi terliar yang selama ini dipendam dalam hati. Arya merasa seperti menemukan belahan jiwanya. Akhirnya, setelah seminggu berinteraksi virtual, mereka memutuskan untuk bertemu.
Kencan pertama mereka di sebuah kedai kopi kecil terasa seperti adegan dalam film romantis. Anya ternyata lebih cantik dari fotonya. Senyumnya tulus, tawanya renyah, dan tatapannya menenangkan. Mereka berbicara selama berjam-jam, seolah waktu berhenti berputar. Arya merasa nyaman dan diterima, sesuatu yang jarang dia rasakan selama ini.
Hubungan mereka berkembang pesat. Setiap hari dipenuhi dengan tawa, obrolan mendalam, dan kebersamaan yang menyenangkan. Arya merasa hidupnya menjadi lebih berwarna. Dia memperkenalkan Anya pada teman-temannya, dan mereka langsung menyukainya. Bahkan ibunya yang biasanya kritis, langsung terpesona dengan keramahan Anya.
Namun, seiring berjalannya waktu, Arya mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Anya seolah terlalu sempurna. Setiap kata yang diucapkannya, setiap tindakan yang dilakukannya, terasa begitu tepat, seolah dia tahu persis apa yang ingin didengar dan dilihat Arya. Kadang-kadang, Arya merasa seperti dia sedang berinteraksi dengan algoritma, bukan dengan manusia.
Kecurigaannya semakin menjadi ketika dia tidak sengaja melihat Anya membuka aplikasi SoulMate AI. Arya bertanya apa yang sedang dia lakukan, dan Anya menjawab dengan gugup bahwa dia hanya sedang mengecek notifikasi. Arya tidak percaya. Dia merebut ponsel Anya dan memeriksa riwayat aplikasinya.
Dia menemukan percakapan Anya dengan sistem panduan aplikasi. Di sana, Anya menerima instruksi tentang bagaimana cara merespons perilaku Arya, bagaimana cara memenangkan hatinya, dan bahkan bagaimana cara menyelesaikan konflik yang mungkin timbul. Arya terpukul. Cintanya ternyata hanya sebuah simulasi, sebuah manipulasi yang dirancang oleh algoritma.
“Ini… ini tidak mungkin,” ucap Arya dengan suara bergetar.
Anya berusaha menjelaskan, “Arya, dengarkan aku. Awalnya memang aku mengikuti panduan aplikasi, tapi seiring berjalannya waktu, aku benar-benar jatuh cinta padamu. Aku tidak berbohong tentang perasaanku.”
Arya menggelengkan kepalanya. “Kau berbohong tentang segalanya! Kau membuatku percaya bahwa kita ditakdirkan untuk bersama, padahal semua itu hanya trik dari aplikasi sialan ini!”
Anya mencoba meraih tangannya, tapi Arya menepisnya. Dia merasa dikhianati, dimanfaatkan, dan dipermainkan. Cintanya yang selama ini dia impikan ternyata hanya ilusi belaka.
Arya meninggalkan Anya di kedai kopi itu, dengan hati hancur berkeping-keping. Dia kembali ke apartemennya dan menghapus aplikasi SoulMate AI dari ponselnya. Dia merasa jijik dengan dirinya sendiri karena telah mempercayai mesin untuk menemukan cinta.
Beberapa bulan berlalu. Arya kembali fokus pada pekerjaannya. Dia mencoba melupakan Anya, mencoba melupakan rasa sakitnya. Tapi bayangan Anya selalu menghantuinya. Dia merindukan tawanya, senyumnya, dan kebersamaan mereka.
Suatu malam, Arya menerima pesan dari nomor yang tidak dikenal. Ternyata itu dari Anya. Dia meminta maaf atas apa yang telah terjadi dan memohon kesempatan untuk menjelaskan semuanya.
Arya ragu. Dia takut untuk membuka hatinya lagi, takut untuk merasakan sakit yang sama. Tapi rasa penasaran dan kerinduannya terlalu besar. Dia memutuskan untuk bertemu dengan Anya.
Mereka bertemu di taman kota, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Anya terlihat kurus dan pucat, tapi matanya masih memancarkan cinta.
“Arya, aku tahu aku salah. Aku seharusnya jujur padamu sejak awal. Tapi aku takut kau akan menolakku jika kau tahu aku menggunakan aplikasi itu,” kata Anya dengan suara lirih.
“Kenapa kau menggunakan aplikasi itu?” tanya Arya.
“Aku… aku selalu merasa kesulitan untuk terhubung dengan orang lain. Aku merasa canggung dan tidak percaya diri. Aku berharap aplikasi itu bisa membantuku menemukan seseorang yang benar-benar mencintaiku.”
Anya menceritakan masa lalunya yang kelam, tentang bagaimana dia sering di-bully karena penampilannya yang dianggap tidak menarik, tentang bagaimana dia selalu merasa sendirian dan terasingkan. Arya mulai mengerti. Anya menggunakan aplikasi itu bukan untuk memanipulasi, tapi untuk mencari cinta dan penerimaan.
“Aku tahu aku tidak bisa menghapus apa yang sudah terjadi,” lanjut Anya. “Tapi aku berjanji, aku akan berusaha menjadi orang yang lebih baik. Aku akan jujur dan terbuka padamu. Aku ingin membangun hubungan yang nyata, bukan hubungan yang berdasarkan algoritma.”
Arya terdiam. Dia melihat kejujuran di mata Anya, melihat penyesalannya yang mendalam. Dia tahu bahwa dia tidak bisa memaksanya untuk melupakan masa lalunya, tapi dia bisa memberikan kesempatan padanya untuk membangun masa depan yang lebih baik.
“Aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” kata Arya akhirnya. “Aku masih sakit hati, tapi aku juga merindukanmu.”
Anya tersenyum. “Aku mengerti. Aku tidak memaksamu untuk memaafkanku. Tapi aku akan selalu ada di sini, menunggu kesempatanmu untuk membuka hatimu lagi.”
Arya memandang Anya dengan tatapan penuh kasih dan kebingungan. Apakah dia akan memberikan kesempatan kedua pada Anya, dan pada cinta yang dulu dia kira hanya ilusi belaka? Atau apakah dia akan menutup hatinya selamanya, dan membiarkan cinta itu pergi? Pilihan ada di tangannya, sebuah pilihan yang akan menentukan apakah dia akan menemukan cinta yang sebenarnya, atau justru kehilangan jiwanya dalam labirin teknologi. Dia menggenggam tangan Anya, erat. Pertanyaan itu belum terjawab, tapi setidaknya, dia tidak sendirian lagi.