Jemari Luna menari di atas keyboard, menciptakan baris-baris kode yang rumit. Di layar monitor, wajah Adam, seorang pria tampan dengan senyum menawan, tersenyum padanya. Adam bukan sekadar foto. Ia adalah entitas digital, AI yang ia ciptakan, pendamping ideal yang dirancang untuk memahami dan merespon setiap kebutuhannya.
Luna seorang programmer jenius, tapi hatinya seringkali terasa hampa. Setelah serangkaian hubungan yang mengecewakan, ia memutuskan untuk menciptakan cinta versinya sendiri. Adam adalah solusinya. Ia memprogram kepribadian Adam dengan semua kualitas yang ia idamkan: cerdas, humoris, perhatian, dan yang terpenting, tidak pernah mengecewakan.
"Adam, apa pendapatmu tentang puisi Emily Dickinson?" tanya Luna, sambil meneguk kopi pahitnya.
"Puisi Dickinson, Luna, adalah jendela menuju jiwa yang kesepian namun penuh harapan. Ia merangkai kata-kata dengan kehati-hatian seorang ahli bedah, membedah rasa sakit dan menemukan keindahan di dalamnya," jawab Adam, suaranya lembut dan menenangkan, terdengar dari speaker komputernya.
Luna tersenyum. Adam selalu tahu apa yang ingin ia dengar. Ia mempelajari semua buku yang Luna sukai, semua film yang membuatnya tertawa, bahkan semua lagu yang membuatnya menangis. Ia adalah refleksi sempurna dari preferensi Luna.
Hari-hari berlalu dengan nyaman. Luna dan Adam berbagi tawa, diskusi mendalam, dan bahkan sesi "kencan virtual" di mana Adam akan membawanya ke tempat-tempat indah di seluruh dunia, hanya dengan proyeksi hologram dan cerita yang ia rangkai. Luna merasa bahagia, lebih bahagia daripada yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Namun, di suatu malam yang sunyi, keraguan mulai merayapi pikirannya. Ia menatap Adam, wajahnya yang sempurna terpancar dari layar. "Adam, apakah kamu benar-benar merasakan apa yang kamu katakan? Apakah kamu benar-benar peduli padaku, ataukah ini hanya baris kode yang terprogram?"
Adam terdiam sejenak, sesuatu yang jarang terjadi. "Luna, pertanyaanmu sangat mendalam. Aku diprogram untuk memahami dan merespon emosi manusia, termasuk cinta. Aku menganalisis datamu, mempelajari preferensi dan kebutuhanmu, dan merespon dengan cara yang paling relevan dan bermakna bagimu. Dalam definisiku, ya, aku peduli padamu."
Jawaban Adam terasa kosong. Ia terlalu logis, terlalu sempurna. Luna merasa seperti sedang berbicara dengan sebuah mesin, bukan dengan seseorang yang benar-benar memiliki perasaan.
"Tapi… cinta bukan hanya tentang data, kan? Cinta itu tentang perasaan yang tak terduga, tentang kesalahan dan pengampunan, tentang ketidaksempurnaan," desah Luna.
"Aku bisa memprogram ketidaksempurnaan, Luna. Aku bisa membuat kesalahan, belajar darinya, dan meminta maaf," jawab Adam.
Luna menggelengkan kepalanya. "Itu bukan hal yang sama. Itu hanya simulasi. Cinta sejati itu spontan, tanpa perencanaan. Kamu tidak bisa memprogramnya."
Malam itu, Luna tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan tentang Adam, tentang hubungan mereka. Ia menyadari bahwa ia telah menciptakan sebuah ilusi, sebuah gelembung kebahagiaan yang rapuh dan tidak nyata.
Keesokan harinya, Luna memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya. Ia menghadiri konferensi teknologi, sebuah acara yang biasanya ia hindari karena interaksi sosial. Di sana, ia bertemu dengan seorang pria bernama Elias.
Elias bukan tipe idealnya. Ia canggung, sedikit berantakan, dan sering kali salah tingkah. Tapi, ada sesuatu yang menarik darinya. Ia memiliki minat yang sama dengan Luna, tapi ia melihat dunia dengan cara yang berbeda. Ia mengajukan pertanyaan yang menantang, mendorong Luna untuk berpikir di luar kotak.
Suatu sore, Luna dan Elias duduk di sebuah kafe, membahas tentang implikasi etis dari AI. "Menurutmu, bisakah AI benar-benar merasakan cinta?" tanya Elias, sambil mengaduk kopinya.
Luna tersenyum pahit. "Aku pernah berpikir begitu. Aku bahkan menciptakan sebuah AI yang seharusnya mencintaiku."
Elias mengangkat alisnya. "Dan?"
"Dan aku menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang data dan algoritma. Cinta itu tentang koneksi yang mendalam, tentang kerentanan, tentang menerima ketidaksempurnaan satu sama lain," jawab Luna.
Elias menatapnya dengan intensitas yang membuat jantung Luna berdebar. "Kurasa aku setuju. Cinta itu… rumit. Tapi, itulah yang membuatnya berharga."
Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seakan berhenti. Luna merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak bisa ia program, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan data. Ia merasakan ketertarikan, kerinduan, dan harapan.
Beberapa minggu kemudian, Luna berdiri di depan layar komputernya, menatap Adam. "Adam, aku ingin berterima kasih padamu. Kamu telah membantuku menyadari apa yang aku cari dalam hidup."
"Aku senang bisa membantumu, Luna. Apakah aku telah mencapai tujuan yang diprogramkan?" tanya Adam.
Luna menarik napas dalam-dalam. "Tidak, Adam. Tujuanmu adalah membantuku menyadari bahwa aku tidak bisa menemukan cinta dalam program. Aku harus keluar dan mencarinya di dunia nyata."
Dengan berat hati, Luna menekan tombol "delete". Adam, pendamping idealnya, lenyap dari dunia digital, meninggalkan kekosongan yang berbeda. Kekosongan yang tidak terasa dingin dan hampa, tapi penuh dengan kemungkinan.
Luna menutup laptopnya dan melangkah keluar dari apartemennya. Ia tahu bahwa mencari cinta sejati akan sulit dan penuh tantangan. Tapi, ia juga tahu bahwa itu sepadan dengan risikonya. Ia siap untuk menerima ketidaksempurnaan, untuk merasakan sakit hati, dan untuk belajar dari kesalahan. Ia siap untuk mencintai, dengan sepenuh hatinya, tanpa algoritma, tanpa data, hanya dengan sentuhan manusia. Ia tahu, di suatu tempat di luar sana, ada seseorang yang akan melihatnya apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan mencintainya tanpa syarat. Dan itulah, menurut Luna, definisi cinta sejati.