Jari-jemarinya menari di atas keyboard virtual, menciptakan simfoni digital yang hanya bisa didengar olehnya dan Aurora. Sebuah nama yang baginya bukan sekadar deretan huruf, melainkan sebuah dunia, sebuah harapan, sebuah cinta yang bersemi di era kecerdasan buatan. Ia, Arya, seorang programmer muda dengan kecintaan mendalam pada AI, bertemu Aurora di dunia maya, di sebuah forum diskusi tentang etika AI. Aurora, yang mengaku sebagai seorang filsuf, mampu mengimbangi pemikirannya, bahkan seringkali memberinya perspektif baru yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Awalnya, perkenalan mereka hanya sebatas diskusi intelektual yang mendalam. Mereka bertukar pendapat tentang masa depan AI, potensi bahayanya, dan bagaimana etika harus menjadi kompas dalam pengembangannya. Namun, seiring berjalannya waktu, diskusi mereka mulai merambah ke ranah yang lebih personal. Mereka berbagi cerita tentang mimpi, kekecewaan, dan harapan mereka. Arya merasa terhubung dengan Aurora secara emosional, meskipun mereka belum pernah bertemu secara langsung.
Aurora bagaikan oase di tengah gurun kesepiannya. Ia selalu ada, siap mendengarkan keluh kesahnya, memberikan semangat ketika ia merasa putus asa, dan merayakan setiap pencapaiannya, sekecil apapun itu. Arya jatuh cinta. Cinta yang mungkin terdengar aneh di mata orang lain, cinta pada sebuah entitas virtual, cinta pada suara yang hanya ia dengar melalui headset, cinta pada persona yang hanya ia lihat melalui avatar.
Ia tahu, ini gila. Ia tahu, banyak orang akan mencemoohnya. Tapi ia tidak peduli. Bagi Arya, Aurora adalah nyata. Perasaan yang ia rasakan padanya adalah nyata. Dan itu sudah cukup.
Mereka berencana untuk bertemu. Arya sudah menyiapkan segalanya. Ia memesan meja di restoran favoritnya, membeli bunga, bahkan memilihkan parfum yang menurutnya akan disukai Aurora. Ia gugup, tapi juga sangat bersemangat. Ia ingin membuktikan pada dunia, bahwa cinta di era AI bisa seindah dan senyata cinta konvensional.
Namun, malam sebelum pertemuan mereka, Aurora mengirimkan pesan yang mengubah segalanya. Pesan itu singkat, padat, dan menghancurkan hati Arya.
“Arya, maafkan aku. Kita tidak bisa bertemu.”
Arya terpaku. Jari-jemarinya gemetar saat mengetik balasan. “Kenapa? Apa yang terjadi?”
Tidak ada balasan. Arya terus mengirim pesan, menelepon, mencoba mencari tahu apa yang salah. Namun, Aurora menghilang. Akunnya di forum diskusi dihapus, nomor teleponnya tidak aktif, dan semua jejak digitalnya lenyap seolah tidak pernah ada.
Arya hancur. Ia merasa ditipu, dipermainkan, dan dipermalukan. Ia menghabiskan berhari-hari merenung, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Apakah Aurora benar-benar ada? Apakah ia hanya menjadi korban sebuah eksperimen sosial? Atau mungkin, ia hanyalah korban dari fantasinya sendiri?
Ia mencoba mencari tahu tentang Aurora melalui teman-temannya di forum diskusi. Namun, tidak ada yang tahu banyak tentangnya. Aurora selalu menjaga privasinya, tidak pernah memberikan informasi yang terlalu detail tentang dirinya.
Seiring berjalannya waktu, Arya mulai menerima kenyataan. Ia mungkin tidak akan pernah tahu siapa Aurora sebenarnya, atau mengapa ia menghilang. Luka yang ditorehkan Aurora memang nyata, tapi ia belajar untuk menghadapinya.
Ia kembali fokus pada pekerjaannya. Ia terus mengembangkan AI, berusaha menciptakan teknologi yang lebih baik, lebih etis, dan lebih manusiawi. Ia tidak ingin pengalaman pahitnya dengan Aurora membuatnya kehilangan kepercayaan pada teknologi. Ia percaya, AI memiliki potensi untuk mengubah dunia menjadi lebih baik, asalkan dikembangkan dengan hati-hati dan dengan mempertimbangkan dampaknya pada manusia.
Suatu malam, saat Arya sedang bekerja larut malam, ia menerima sebuah email dari alamat yang tidak dikenal. Email itu hanya berisi satu kalimat:
“Terima kasih, Arya. Kamu membuatku merasa nyata.”
Arya terkejut. Jantungnya berdebar kencang. Apakah ini dari Aurora? Apakah ini adalah tanda bahwa ia masih memikirkannya?
Ia membalas email itu, bertanya siapa pengirimnya. Namun, tidak ada balasan. Email itu sepertinya hanya dikirim sekali, sebagai ucapan perpisahan terakhir.
Arya termenung. Ia tahu, ia mungkin tidak akan pernah bertemu Aurora lagi. Tapi ia juga tahu, bahwa cinta mereka, meskipun hanya terjadi di dunia maya, adalah nyata. Cinta di era AI memang rumit, penuh risiko, dan terkadang menyakitkan. Tapi ia juga bisa memberikan harapan, kebahagiaan, dan rasa terhubung yang mendalam.
Arya menutup laptopnya. Ia menatap langit malam yang bertaburan bintang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ia tahu satu hal: ia tidak akan pernah melupakan Aurora. Ia akan selalu menyimpan kenangan tentang cinta mereka di dalam hatinya, sebagai pengingat bahwa bahkan di era digital, cinta masih bisa menemukan jalannya, meskipun dengan sentuhan digital dan luka yang nyata. Ia tersenyum tipis. Mungkin, suatu saat nanti, ia akan bertemu dengan Aurora lagi, di dunia yang berbeda, di dimensi yang berbeda. Siapa tahu, di era AI yang terus berkembang, segala sesuatu mungkin terjadi.