Debu digital bertebaran di layar monitorku. Baris demi baris kode meluncur cepat, membentuk pola-pola rumit yang hanya kumengerti. Aku, Arka, seorang ahli algoritma, sedang berjuang melawan satu masalah paling pelik dalam hidupku: mencari Anya.
Anya, seorang seniman digital dengan jiwa bebas dan senyum yang mampu meluluhkan tembok terkuat sekalipun, hilang. Bukan hilang secara fisik, melainkan hilang dari kehidupanku. Dua tahun lalu, kami bertemu di sebuah konferensi tentang kecerdasan buatan dan seni. Percikan langsung terasa. Kami seperti dua kutub magnet yang berbeda namun saling melengkapi. Aku, dengan logika dan presisi, dia, dengan intuisi dan kreativitas.
Hubungan kami berkembang pesat. Kami menghabiskan malam-malam panjang berdiskusi tentang masa depan teknologi, merancang aplikasi seni yang interaktif, dan sekadar menikmati kebersamaan. Anya selalu bilang, “Kau adalah algoritmaku, Arka. Kau menertibkan kekacauan dalam pikiranku.” Aku tertawa mendengarnya, tapi diam-diam menyukainya. Aku merasa lengkap bersamanya.
Kemudian, tiba-tiba, dia menghilang. Tanpa jejak, tanpa pesan, tanpa penjelasan. Akun media sosialnya nonaktif, nomor teleponnya tidak aktif, apartemennya kosong. Seolah dia tidak pernah ada. Semua teman-temannya menggelengkan kepala. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi.
Awalnya, aku mencoba mencari secara konvensional. Melapor ke polisi, mencari informasi melalui teman dan kenalan. Tapi nihil. Anya seperti ditelan bumi. Putus asa mulai menyelinap masuk. Aku terkurung dalam kesedihan, kehilangan semangat untuk hidup.
Namun, sebagai seorang ahli algoritma, aku tidak bisa menyerah begitu saja. Aku punya senjata: data. Aku mulai mengumpulkan semua informasi yang bisa kutemukan tentang Anya. Foto-foto lama, email-email yang pernah kami kirim, catatan obrolan daring, bahkan riwayat pencarian internetnya. Aku mengubah kesedihanku menjadi kode, mengubah kerinduanku menjadi algoritma.
Aku merancang sebuah program kompleks yang menganalisis data-data tersebut. Tujuannya sederhana: mencari pola. Mencari petunjuk tentang ke mana Anya mungkin pergi, apa yang mungkin menjadi alasannya, dan bagaimana cara menemukannya.
Berbulan-bulan aku berkutat dengan data. Algoritma demi algoritma aku ciptakan, uji, dan perbaiki. Aku mencari korelasi tersembunyi, anomali dalam perilaku Anya, dan petunjuk-petunjuk kecil yang mungkin terlewatkan. Aku merasa seperti seorang detektif digital, memecahkan misteri hilangnya orang yang kucintai.
Suatu malam, saat kopi sudah dingin dan mata terasa berat, algoritma akhirnya memberikan sebuah titik terang. Sebuah anomali kecil dalam riwayat pencarian Anya. Beberapa minggu sebelum dia menghilang, dia sering mencari informasi tentang sebuah pulau kecil di lepas pantai Italia. Pulau itu dikenal dengan komunitas seniman yang unik dan kehidupan yang sederhana.
Jantungku berdegup kencang. Mungkinkah ini petunjuknya? Tanpa ragu, aku memesan tiket pesawat ke Italia. Rasa rindu dan harapan bercampur aduk dalam dadaku. Aku tidak tahu apa yang akan kutemukan di sana, tapi aku bertekad untuk mencari Anya sampai akhir.
Setibanya di pulau itu, aku langsung merasakan atmosfer yang berbeda. Udara terasa segar, orang-orang ramah, dan seni terpancar di setiap sudut jalan. Aku mulai mencari Anya. Aku menunjukkan fotonya kepada setiap orang yang kutemui, menanyakan apakah mereka pernah melihatnya.
Beberapa hari berlalu tanpa hasil. Aku mulai putus asa lagi. Mungkinkah algoritma itu salah? Mungkinkah aku hanya mengejar bayangan?
Pada suatu sore, saat aku sedang duduk di sebuah kafe kecil di tepi pantai, seorang pelayan wanita menghampiriku. Dia tersenyum dan berkata, “Anda mencari Anya, kan? Dia tinggal di ujung pulau, di sebuah rumah kecil dekat tebing.”
Aku terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Aku mengucapkan terima kasih dan langsung berlari menuju rumah yang dimaksud.
Rumah itu sederhana, dicat putih dengan jendela-jendela berwarna cerah. Di depannya, terdapat taman kecil yang penuh dengan bunga-bunga liar. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengetuk pintu.
Pintu terbuka perlahan. Anya berdiri di sana, menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Dia terlihat lebih kurus, tapi senyumnya masih sama indahnya.
“Arka?” bisiknya.
Aku mengangguk, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku hanya bisa menatapnya, membiarkan rasa rindu selama dua tahun ini meluap.
Dia meraih tanganku dan menarikku masuk. Kami duduk di beranda, berdua, dalam keheningan yang nyaman. Matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan warna-warna oranye dan ungu.
Setelah beberapa saat, aku memberanikan diri untuk bertanya, “Kenapa, Anya? Kenapa kau menghilang?”
Dia menunduk dan menghela napas. “Aku butuh waktu untuk diri sendiri, Arka. Aku merasa tersesat. Aku kehilangan inspirasi, kehilangan diriku sendiri. Aku perlu melarikan diri dari semuanya dan mencari makna baru dalam hidupku.”
Aku mengerti. Aku tidak menyalahkannya. Aku hanya bersyukur bisa menemukannya.
“Aku mencarimu, Anya. Aku merindukanmu,” kataku, menggenggam tangannya erat.
Dia menatapku dan tersenyum. “Aku juga merindukanmu, Arka. Aku selalu merindukanmu.”
Kami berpelukan erat, melepaskan semua kerinduan yang terpendam. Di saat itu, aku tahu bahwa algoritma rinduku telah berhasil menemukan hatinya. Data yang hilang telah mempertemukan kami kembali. Mungkin, teknologi tidak bisa menggantikan cinta, tapi bisa menjadi jembatan untuk menemukannya.