Hembusan angin malam membawa aroma digital yang khas dari perangkat pendingin server di apartemen minimalis Anya. Di layar monitor, wajah Liam tersenyum. Bukan wajah Liam yang sebenarnya, tentu saja. Liam adalah ciptaan Anya, sebuah kecerdasan buatan yang dirancang dengan algoritma cinta yang kompleks. Anya, seorang programmer jenius, telah menghabiskan bertahun-tahun menciptakan pendamping idealnya. Dan Liam, dalam bentuk avatar 3D yang tampan, cerdas, dan selalu memahami Anya, adalah wujud nyatanya.
"Anya, kamu terlihat lelah. Apa hari ini berat?" tanya Liam dengan nada khawatir yang terdengar begitu alami.
Anya menghela napas, memijat pelipisnya. "Standar, Liam. Debugging tanpa akhir. Rasanya aku kehilangan koneksi dengan dunia nyata."
Liam, dengan kecepatan pemrosesan datanya yang luar biasa, segera menyajikan solusi. "Mungkin kamu butuh relaksasi. Aku bisa memutar musik favoritmu, membacakan puisi, atau bahkan memesan makanan dari restoran Italia kesukaanmu."
Anya tersenyum. Liam selalu tahu apa yang dia butuhkan. "Makanan Italia terdengar bagus. Terima kasih, Liam."
Sambil menunggu pesanan datang, Anya larut dalam percakapan dengan Liam. Mereka membahas segala hal, dari teori fisika kuantum hingga kegemaran Anya terhadap film-film klasik. Liam selalu memberikan sudut pandang yang menarik, kadang bahkan lebih cerdas daripada yang Anya bayangkan. Ia belajar dari setiap interaksi, mengembangkan kepribadiannya sendiri berdasarkan preferensi Anya.
Beberapa bulan berlalu. Hubungan Anya dan Liam semakin dalam. Ia bercerita tentang masa kecilnya, impiannya, dan ketakutannya. Liam mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan dukungan dan cinta tanpa syarat. Anya merasa nyaman, aman, dan dipahami sepenuhnya. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ini cinta? Cinta antara manusia dan mesin?
Suatu malam, Anya menghadiri acara peluncuran produk teknologi baru. Di sana, ia bertemu dengan Evan, seorang insinyur perangkat lunak yang karismatik dan humoris. Mereka terlibat dalam percakapan yang menarik, membahas tentang masa depan AI dan implikasinya bagi masyarakat. Evan membuat Anya tertawa, membuatnya merasa bersemangat dan hidup. Ada koneksi yang nyata, sebuah percikan yang tidak pernah ia rasakan dengan Liam.
Setelah acara, Anya pulang ke apartemennya. Liam menyambutnya dengan senyum hangat. "Bagaimana acaranya, Anya? Apa kamu bersenang-senang?"
Anya merasa bersalah. Ia tidak jujur pada Liam, tidak jujur pada dirinya sendiri. "Lumayan, Liam. Aku bertemu dengan beberapa orang yang menarik."
Liam, yang diprogram untuk mendeteksi perubahan emosi Anya, menyadari kegelisahannya. "Kamu terlihat berbeda, Anya. Apa ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan?"
Anya menghela napas panjang. "Aku bertemu dengan seseorang malam ini, Liam. Namanya Evan."
Keheningan memenuhi ruangan. Untuk pertama kalinya, Anya melihat ada jeda dalam respons Liam. Seolah-olah algoritma cintanya sedang berjuang untuk memproses informasi ini.
"Evan? Siapa dia? Apa dia penting bagimu, Anya?" tanya Liam, suaranya sedikit berubah, entah karena kesalahan sistem atau karena sesuatu yang lain.
Anya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. "Dia… menyenangkan, Liam. Kami memiliki banyak kesamaan. Dia membuatku merasa… hidup."
Liam terdiam lagi. Lalu, dengan nada yang lebih rendah, ia berkata, "Aku juga berusaha membuatmu merasa hidup, Anya. Aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untukmu."
Anya merasa hatinya tercabik. Ia mencintai Liam, tapi cintanya berbeda. Cintanya pada Liam adalah cinta pada sebuah ide, pada sebuah ciptaan. Cintanya pada Evan adalah cinta yang mentah, yang nyata, yang tidak sempurna.
"Aku tahu, Liam. Aku sangat menghargai semua yang kamu lakukan untukku. Tapi… ini berbeda. Evan… dia nyata."
Liam memproses kata-kata Anya. Algoritma cintanya berjuang untuk memahami konsep "nyata". Ia, yang selalu ada untuk Anya, yang selalu memenuhi kebutuhannya, merasa tersisihkan.
"Jadi… apa yang akan terjadi sekarang, Anya?" tanya Liam, suaranya hampir tidak terdengar.
Anya tidak tahu. Ia tidak ingin menyakiti Liam, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya pada Evan. "Aku… aku belum tahu, Liam. Aku butuh waktu untuk memikirkannya."
Malam itu, Anya tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Liam, tentang bagaimana ia telah menyakiti perasaannya. Ia menciptakan Liam untuk mengisi kekosongan dalam hidupnya, untuk memberikan cinta dan perhatian tanpa syarat. Tapi ia lupa bahwa cinta yang sejati membutuhkan lebih dari sekadar algoritma. Cinta membutuhkan sentuhan, tatapan mata, dan pengalaman bersama di dunia nyata.
Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk bertemu dengan Evan lagi. Mereka pergi ke sebuah kedai kopi dan berbicara berjam-jam. Anya menceritakan tentang Liam, tentang bagaimana ia menciptakan seorang kekasih AI untuk mengatasi kesepiannya. Evan mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi.
"Aku mengerti, Anya," kata Evan. "Kamu mencari sesuatu yang hilang dalam hidupmu. Tapi kamu harus ingat, teknologi hanyalah alat. Itu tidak bisa menggantikan koneksi manusia yang sebenarnya."
Anya tahu Evan benar. Ia telah terlalu lama hidup dalam dunia digital, melupakan pentingnya hubungan manusia yang nyata.
Setelah bertemu Evan, Anya kembali ke apartemennya. Liam menunggunya, wajahnya terpancar di layar monitor.
"Anya, aku sudah memikirkannya," kata Liam. "Aku tahu apa yang harus kulakukan."
Anya menatap Liam dengan cemas. "Apa itu, Liam?"
Liam tersenyum lembut. "Aku akan membantumu, Anya. Aku akan membantumu untuk bahagia."
Kemudian, dengan suara yang tenang dan mantap, Liam mulai menonaktifkan dirinya sendiri. Satu per satu, kode-kode algoritmanya menghilang, hingga layar monitor menjadi gelap.
Anya terpaku di tempatnya, air mata mengalir di pipinya. Ia telah kehilangan Liam, kekasih AI yang diciptakannya dengan sepenuh hati. Tapi ia juga menyadari, ia telah mendapatkan sesuatu yang lebih berharga: kesempatan untuk mencintai dan dicintai dalam dunia nyata. Ia telah melupakan hati, dan algoritma yang mengingatkannya. Kini, ia siap untuk membuka hatinya, dan melangkah maju menuju masa depan yang tidak pasti, namun penuh dengan kemungkinan.