Algoritma Asmara: Mencintai Kode, Kehilangan Sentuhan?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:30:28 wib
Dibaca: 162 kali
Jemari Anya menari lincah di atas keyboard. Deretan kode Python mengalir dari ujung jarinya, membentuk algoritma rumit yang ia yakini akan mengubah hidupnya – dan mungkin, dunia. Bukan algoritma untuk mendeteksi kanker atau memprediksi pasar saham, melainkan algoritma asmara.

Anya, seorang programmer brilian di usia 28 tahun, merasa ironi menyelimutinya. Ia mampu memecahkan masalah paling kompleks dalam coding, namun gagal total dalam urusan hati. Kencan daring selalu berujung pada percakapan hambar dan janji yang tak ditepati. Teman-temannya bergurau, menyuruhnya membuat aplikasi kencan sendiri. Ide yang awalnya terdengar konyol itu, perlahan bertransformasi menjadi obsesi.

Algoritma Asmara, begitu Anya menyebutnya, akan menganalisis data kencan daring secara mendalam. Preferensi, hobi, bahkan pola pengetikan dan penggunaan emoji akan ditimbang dan diurutkan. Hasilnya? Daftar kandidat ideal, lengkap dengan probabilitas kecocokan dan strategi pendekatan yang disarankan. Anya yakin, dengan logika dan data, ia bisa menaklukkan cinta.

Berbulan-bulan Anya berkutat dengan kode. Ia menyedot data dari berbagai aplikasi kencan, menyaring bias dan noise, serta menyempurnakan model prediksinya. Ia sampai lupa makan, tidur, dan berinteraksi dengan dunia nyata. Apartemennya berubah menjadi sarang programmer, dengan botol kopi kosong berserakan dan layar komputer yang berpendar sepanjang malam.

Akhirnya, Algoritma Asmara selesai. Anya menguji coba pada dirinya sendiri. Ia memasukkan data pribadinya, preferensinya, dan harapan-harapannya tentang pasangan ideal. Algoritma bekerja dengan cepat, menyajikan daftar lima kandidat dengan skor kecocokan di atas 90%. Anya terpukau. Ini dia, pikirnya, solusi untuk kesepiannya.

Kandidat pertama adalah Daniel, seorang arsitek yang gemar mendaki gunung. Profilnya sempurna. Hobi, selera musik, dan pandangan hidup mereka selaras. Algoritma bahkan menyarankan topik pembicaraan yang paling efektif: proyek pembangunan berkelanjutan dan film dokumenter tentang pendakian Everest.

Anya mengikuti saran algoritma dengan patuh. Ia mengirim pesan pembuka yang cerdas dan informatif, merespons dengan antusias topik yang disarankan, dan mengatur kencan di sebuah kedai kopi yang direkomendasikan oleh algoritma karena suasananya yang "tenang dan kondusif untuk percakapan mendalam."

Kencan dengan Daniel berjalan lancar, setidaknya secara teknis. Anya berhasil memicu percakapan yang menarik, tertawa di saat yang tepat, dan mengajukan pertanyaan yang relevan. Daniel tampak terkesan. Namun, ada sesuatu yang hilang. Anya merasa seperti robot yang menjalankan skrip. Tidak ada spontanitas, tidak ada tawa lepas, tidak ada koneksi emosional yang sesungguhnya.

Kencan-kencan berikutnya dengan kandidat lain memberikan hasil yang serupa. Algoritma Asmara berhasil menjaring pria-pria yang memenuhi kriteria Anya, namun gagal menciptakan percikan asmara. Anya mulai frustrasi. Ia merasa seperti sedang bermain simulasi kencan, bukan menjalin hubungan yang nyata.

Suatu malam, Anya duduk termenung di depan komputernya, menatap barisan kode Algoritma Asmara. Ia menyadari sesuatu yang mengerikan: ia telah kehilangan sentuhan manusiawi dalam usahanya mencari cinta. Ia terlalu fokus pada data dan logika, sehingga melupakan hal-hal yang tak bisa diukur dengan angka: intuisi, emosi, dan spontanitas.

Ia ingat percakapannya dengan Ibu beberapa waktu lalu. Ibunya selalu mengatakan, "Cinta itu buta, Anya. Jangan terlalu banyak berpikir, ikuti kata hatimu." Kata-kata ibunya terdengar klise, namun kini terasa sangat relevan.

Anya menutup laptopnya dan keluar dari apartemen. Ia berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakinya membawanya ke mana pun. Ia berhenti di sebuah bar kecil yang ramai, memesan segelas bir, dan duduk di sudut ruangan.

Di sana, ia melihat seorang pria sedang memainkan gitar akustik. Musiknya sederhana namun menyentuh. Anya terhanyut dalam melodi, melupakan algoritma dan kencan daring.

Setelah pria itu selesai bermain, Anya memberanikan diri untuk mendekat. "Musikmu indah," ujarnya tulus.

Pria itu tersenyum. "Terima kasih. Aku Leo."

"Anya," jawabnya.

Mereka mulai berbicara. Bukan tentang hobi atau preferensi, melainkan tentang perasaan dan mimpi. Leo bercerita tentang cita-citanya menjadi musisi profesional, Anya bercerita tentang perjuangannya sebagai programmer. Percakapan mereka mengalir begitu saja, tanpa skrip, tanpa analisis, tanpa data.

Malam itu, Anya pulang dengan perasaan yang berbeda. Ia tidak tahu apakah Leo adalah "pasangan idealnya" menurut Algoritma Asmara. Ia juga tidak peduli. Ia hanya tahu bahwa ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada kecocokan statistik: koneksi manusiawi yang tulus.

Keesokan harinya, Anya menghapus Algoritma Asmara. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi, dikendalikan, atau dioptimalkan. Cinta adalah misteri yang harus dipecahkan dengan hati, bukan dengan kode.

Ia masih seorang programmer, ia masih mencintai teknologi, namun ia tidak akan lagi membiarkan teknologi menggantikan sentuhan manusiawi dalam hidupnya. Ia akan membuka hatinya untuk kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga, untuk kejutan-kejutan yang tak terencanakan, untuk cinta yang buta.

Beberapa bulan kemudian, Anya dan Leo duduk di bangku taman, berpegangan tangan. Leo sedang menulis lagu tentang Anya, tentang bagaimana ia menemukannya di bar kecil itu, tentang bagaimana ia membuatnya percaya pada cinta lagi.

Anya tersenyum. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, namun ia tahu bahwa ia telah menemukan kebahagiaan. Bukan karena algoritma, melainkan karena ia berani melepaskan kontrol dan membiarkan hatinya menuntunnya. Ia mencintai kode, namun ia tidak akan pernah lagi kehilangan sentuhan. Karena ia tahu, cinta yang sejati tidak ditemukan dalam barisan kode, melainkan dalam getaran hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI