Sentuhan Algoritma: Ketika Rindu Berbentuk Notifikasi

Dipublikasikan pada: 31 May 2025 - 01:18:12 wib
Dibaca: 168 kali
Udara dingin menusuk kulit, memaksa Arina menarik syal lebih rapat. Di tangannya, cangkir kopi panas mengepul, mencoba mengusir sisa kantuk yang masih betah bergelayut. Di seberangnya, layar laptop memantulkan cahaya ke wajahnya, menampilkan barisan kode yang seolah tak berujung. Arina adalah seorang programmer, otaknya terbiasa berinteraksi dengan logika dan algoritma, dunia yang jauh dari kehangatan sebuah sentuhan. Namun, hatinya… hatinya kini dipenuhi algoritma lain, algoritma rindu yang rumit dan tak terduga.

Semua berawal dari sebuah proyek. Arina dan Reyhan ditugaskan untuk mengembangkan aplikasi kencan virtual yang dipersonalisasi. Keduanya, dengan latar belakang dan keahlian yang berbeda, dipersatukan oleh deadline dan kafein. Arina, si perfeksionis yang terstruktur, dan Reyhan, si idealis yang penuh ide liar. Perbedaan itulah yang justru menciptakan harmoni. Mereka berdebat tentang user interface, bertukar pikiran tentang algoritma pencocokan, dan tanpa sadar, saling mencocokkan hati.

Reyhan, dengan senyumnya yang menular dan matanya yang berbinar setiap kali membahas teknologi, berhasil menembus pertahanan Arina yang biasanya tertutup. Ia mengenalkan Arina pada hal-hal yang selama ini diabaikannya: seni, musik, bahkan filosofi di balik sebuah algoritma. Arina, di sisi lain, membantu Reyhan membumikan ide-idenya yang terlalu tinggi, menyusunnya menjadi struktur yang kokoh dan efisien.

Kerja sama itu berkembang menjadi persahabatan, dan persahabatan itu, tanpa disadari, merayap menjadi sesuatu yang lebih. Mereka saling bertukar pesan, bukan hanya tentang pekerjaan, tapi juga tentang kehidupan. Arina, yang biasanya hanya menulis kode, mulai menulis puisi pendek tentang senja. Reyhan, yang biasanya hanya bermimpi, mulai menyusun rencana nyata tentang masa depan.

Namun, seperti halnya sebuah program yang rentan terhadap bug, hubungan mereka pun mengalami error. Setelah proyek selesai, Reyhan mendapat tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan teknologi raksasa di Silicon Valley. Sebuah kesempatan yang terlalu bagus untuk ditolak. Keberangkatan Reyhan terasa seperti hilangnya sebuah baris kode penting dalam hidup Arina, meninggalkan lubang kosong yang tak terisi.

Sejak saat itu, komunikasi mereka hanya sebatas pesan singkat dan email sesekali. Kesibukan masing-masing menjadi alasan yang sempurna untuk menjaga jarak. Arina kembali tenggelam dalam pekerjaannya, mencoba melupakan Reyhan dengan tumpukan kode dan cangkir kopi yang tak terhitung jumlahnya. Tapi, di sela-sela kesibukannya, kerinduannya pada Reyhan justru semakin menguat.

Suatu malam, ketika Arina sedang berusaha menyelesaikan sebuah debugging yang rumit, sebuah notifikasi muncul di layar laptopnya. Sebuah email dari Reyhan. Jantung Arina berdegup kencang. Dengan ragu, ia membuka email tersebut.

“Arina,

Aku tahu ini sudah lama sekali. Aku tahu aku seharusnya menghubungimu lebih cepat. Aku tahu aku mengecewakanmu.

Di sini, di Silicon Valley, aku dikelilingi oleh teknologi canggih dan orang-orang pintar. Tapi, entah mengapa, aku merasa ada yang kurang. Aku merasa kehilangan sesuatu yang penting.

Aku sadar, Arina, bahwa yang kurang itu adalah kamu.

Aku merindukan obrolan kita, canda tawamu, bahkan perdebatan sengit kita tentang algoritma. Aku merindukanmu, Arina. Lebih dari yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata.

Aku tahu, mungkin ini terlambat. Mungkin kamu sudah melupakanku. Tapi, aku harus mengatakannya. Aku harus jujur pada diriku sendiri dan padamu.

Aku ingin tahu, apakah masih ada ruang untukku di hatimu?

Aku menunggu jawabanmu.

Reyhan.”

Air mata mengalir di pipi Arina. Ia tidak menyangka Reyhan merasakan hal yang sama. Kerinduannya ternyata bukan hanya ilusi. Sentuhan algoritma cinta mereka ternyata masih berfungsi dengan baik.

Tanpa berpikir panjang, Arina mulai mengetik balasan. Jari-jarinya menari di atas keyboard, merangkai kata-kata yang selama ini terpendam dalam hatinya.

“Reyhan,

Kau tahu, aku selalu membenci notifikasi. Mereka selalu mengganggu konsentrasiku. Tapi, notifikasimu malam ini adalah notifikasi terindah yang pernah aku terima.

Aku juga merindukanmu, Reyhan. Sangat merindukanmu.

Aku tidak pernah melupakanmu. Aku tidak akan pernah melupakanmu.

Ya, Reyhan. Masih ada ruang untukmu di hatiku. Ruang yang selalu ada, dan akan selalu ada.

Aku menunggumu.

Arina.”

Setelah mengirim email tersebut, Arina menutup laptopnya. Ia merasa lega, seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya. Ia menatap langit malam yang bertaburan bintang. Bintang-bintang itu seolah berkedip, mengirimkan kode Morse yang hanya bisa dibaca oleh hati yang sedang jatuh cinta.

Beberapa minggu kemudian, Arina berdiri di bandara, menunggu kedatangan Reyhan. Jantungnya berdebar kencang. Ia menggenggam erat syal yang dulu selalu dipakainya saat bekerja bersama Reyhan. Syal itu, kini, menjadi simbol dari cinta mereka, sentuhan algoritma yang abadi.

Ketika Reyhan muncul di antara kerumunan orang, Arina tidak bisa menahan air matanya. Ia berlari menghampirinya dan memeluknya erat. Pelukan itu terasa hangat dan nyaman, menghilangkan semua keraguan dan ketakutan.

“Aku merindukanmu,” bisik Reyhan di telinga Arina.

“Aku juga,” jawab Arina, membalas pelukannya dengan erat.

Di saat itu, Arina menyadari bahwa cinta, seperti halnya teknologi, selalu berkembang dan beradaptasi. Sentuhan algoritma cinta mereka, meskipun sempat terputus, kini terhubung kembali, lebih kuat dan lebih sempurna dari sebelumnya. Dan Arina tahu, bahwa kali ini, algoritma itu akan berjalan selamanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI