Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Anya, bercampur dengan desing pelan dari mesin AI yang sedang merumuskan kode. Di layar monitor, barisan angka dan simbol menari, sebuah algoritma kompleks yang sedang ia rancang: Algoritma Cinta. Bukan sembarang algoritma, ini adalah proyek ambisiusnya, sebuah upaya untuk memecahkan misteri abadi tentang bagaimana dua hati bisa terhubung, dan yang lebih penting, bagaimana hubungan itu bisa dipertahankan selamanya.
Anya, seorang software engineer brilian dengan rambut dikuncir tinggi dan mata yang selalu berbinar di balik kacamatanya, selalu percaya bahwa cinta, seperti kode, bisa dioptimalkan. Ia merasa lelah melihat teman-temannya, bahkan dirinya sendiri, terjebak dalam siklus patah hati yang tak berkesudahan. Lalu, muncullah ide gila ini.
“Bayangkan saja, Raka,” ujarnya suatu malam kepada sahabatnya, seorang desainer grafis eksentrik yang selalu skeptis terhadap ide-idenya, “Algoritma ini akan menganalisis data kepribadian, kebiasaan, preferensi, bahkan mimpi seseorang. Kemudian, ia akan mencocokkan dengan data orang lain, mencari kecocokan sempurna, dan yang terpenting, memberikan saran real-time tentang bagaimana menjaga api asmara tetap menyala.”
Raka tertawa terbahak-bahak. “Anya, kau terlalu banyak menonton film fiksi ilmiah. Cinta itu bukan rumus matematika. Cinta itu… perasaan! Itu irasional, kacau, dan tak terduga. Mana mungkin kau bisa mengendalikannya dengan algoritma?”
Anya hanya tersenyum. Ia tahu Raka benar, sebagian. Tetapi ia juga yakin ada pola di balik kekacauan itu. Ada logika tersembunyi di balik setiap senyum, setiap sentuhan, setiap pertengkaran. Dan ia bertekad untuk menemukannya.
Selama berbulan-bulan, Anya tenggelam dalam penelitian. Ia membaca buku-buku psikologi, mengikuti seminar tentang hubungan interpersonal, dan tentu saja, menulis ribuan baris kode. Ia memasukkan berbagai variabel ke dalam algoritmanya: gaya komunikasi, tingkat empati, hobi, nilai-nilai hidup, bahkan preferensi makanan.
Suatu hari, algoritma itu selesai. Anya menamainya "Amor AI". Dengan bangga, ia memperkenalkannya kepada Raka.
“Oke, tunjukkan padaku keajaibanmu,” tantang Raka dengan nada meremehkan. “Masukkan datamu dan lihat, siapa tahu, algoritma ini bisa menemukan belahan jiwamu.”
Anya ragu-ragu sejenak. Sebenarnya, ia belum siap untuk menggunakan Amor AI untuk dirinya sendiri. Ia terlalu takut akan hasilnya. Tapi demi membuktikan kepada Raka, dan kepada dirinya sendiri, bahwa idenya tidak sepenuhnya gila, ia akhirnya mengalah.
Ia memasukkan data dirinya dengan hati-hati, menjawab setiap pertanyaan dengan jujur dan mendetail. Setelah beberapa saat, layar menampilkan hasil. Sebuah nama muncul: "Deva."
"Deva? Siapa itu?" tanya Raka penasaran.
Anya terkejut. "Deva… dia programmer di kantor sebelah. Kami sering bertukar pikiran tentang proyek."
"Hmm, menarik," kata Raka sambil menyeringai. "Apa kata algoritmamu tentang Deva? Apakah dia pria impianmu?"
Amor AI kemudian menampilkan profil Deva, lengkap dengan analisis kepribadian, kecocokan minat, dan saran tentang bagaimana membangun hubungan yang langgeng. Algoritma itu merekomendasikan Anya untuk mengajak Deva ke konser musik indie yang akan datang, genre musik yang sama-sama mereka sukai, dan menyarankan untuk membicarakan proyek-proyek inovatif yang sedang mereka kerjakan.
Anya mengikuti saran algoritma itu. Ia mengajak Deva ke konser, dan mereka menghabiskan malam itu dengan tertawa, bernyanyi, dan bertukar ide-ide gila. Deva ternyata orang yang menyenangkan, cerdas, dan perhatian. Anya merasa nyaman berada di dekatnya.
Hari-hari berikutnya, Anya dan Deva semakin dekat. Mereka makan siang bersama, mengerjakan proyek bersama, dan bahkan mulai saling mengirim pesan singkat setiap malam. Anya merasa seperti sedang berada dalam mimpi. Amor AI-nya tampaknya berhasil.
Namun, seiring berjalannya waktu, Anya mulai merasa ada yang aneh. Ia merasa seperti sedang memainkan peran yang telah ditentukan oleh algoritma. Ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri, melainkan versi dirinya yang telah dioptimalkan untuk Deva. Ia mulai meragukan keaslian perasaannya. Apakah ia benar-benar mencintai Deva, atau hanya mengikuti instruksi dari sebuah program komputer?
Suatu malam, Anya dan Deva sedang makan malam di sebuah restoran romantis. Suasana terasa sempurna, lampu remang-remang, musik lembut, dan obrolan yang mengalir lancar. Tiba-tiba, Deva meraih tangan Anya dan menatapnya dengan tatapan penuh cinta.
"Anya," katanya dengan suara lembut, "Aku… aku jatuh cinta padamu."
Anya terdiam. Ia seharusnya merasa bahagia, tapi ia justru merasa hampa. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku… aku juga menyukaimu, Deva," jawabnya akhirnya, dengan nada yang tidak meyakinkan.
Deva tersenyum lebar, tapi Anya bisa melihat sedikit keraguan di matanya. Ia tahu Anya tidak sepenuhnya jujur.
Setelah makan malam, Anya pulang ke apartemennya dengan perasaan kacau. Ia duduk di depan komputer dan menatap layar monitor yang menampilkan kode Amor AI. Ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Ia telah mencoba untuk mengendalikan sesuatu yang seharusnya tidak bisa dikendalikan. Ia telah melupakan bahwa cinta itu bukan hanya tentang kecocokan, tetapi juga tentang kejujuran, kerentanan, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri.
Keesokan harinya, Anya menemui Deva. Ia mengatakan kepadanya tentang Amor AI, tentang bagaimana ia telah mencoba untuk memanipulasi perasaannya, dan tentang betapa ia menyesal telah melakukan itu.
Deva mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Setelah Anya selesai berbicara, ia tersenyum.
"Anya," katanya, "Aku tahu kau orang yang cerdas dan ambisius. Aku juga tahu kau punya niat baik. Tapi kau harus ingat, cinta itu bukan tentang algoritma. Cinta itu tentang menerima seseorang apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya."
Anya menunduk malu. Ia tahu Deva benar.
"Tapi," lanjut Deva, "Aku masih menyukaimu, Anya. Aku menyukaimu karena kau adalah dirimu sendiri, bukan karena kau adalah versi dirimu yang telah dioptimalkan oleh algoritma."
Anya mengangkat wajahnya dan menatap Deva dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa lega dan bahagia. Ia akhirnya mengerti. Cinta itu bukan tentang menemukan belahan jiwa yang sempurna, tetapi tentang membangun hubungan yang bermakna dengan orang yang mau menerima dirinya apa adanya.
Anya memutuskan untuk menghapus Amor AI. Ia ingin belajar mencintai dengan cara yang alami, tanpa campur tangan teknologi. Ia ingin belajar menerima risiko patah hati, karena ia tahu bahwa risiko itu adalah bagian dari perjalanan cinta.
Anya dan Deva tetap bersama. Hubungan mereka tidak selalu mulus, ada pertengkaran dan kesalahpahaman, tetapi mereka selalu berusaha untuk saling memahami dan memaafkan. Mereka belajar untuk mencintai dengan cara yang manusiawi, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Anya akhirnya menyadari bahwa algoritma tidak bisa menggantikan hati manusia. Hati manusia terlalu kompleks, terlalu misterius, dan terlalu indah untuk dipecahkan oleh rumus matematika. Cinta itu adalah sebuah misteri yang harus dirayakan, bukan dipecahkan. Dan terkadang, keindahan terletak pada ketidaksempurnaan itu sendiri. Bisakah hati diperbarui selamanya? Mungkin tidak dengan algoritma, tapi dengan ketulusan, kejujuran, dan komitmen untuk terus belajar bersama.