Jari Raya menari di atas layar ponselnya, menyaring profil-profil yang berkelebat dengan kecepatan cahaya. Senyumnya tipis, hampir tidak terlihat, saat algoritma "Soulmate AI" mempersempit pilihannya. Aplikasi kencan itu menjanjikan kesempurnaan: kecocokan berdasarkan data kepribadian, minat, bahkan gelombang otak. Raya, seorang programmer yang nyaris tenggelam dalam lautan kode, merasa ini adalah satu-satunya harapan untuk menemukan cinta.
"Liam," gumamnya, membaca deskripsi profil yang muncul. "Arsitek lansekap, pecinta kopi pahit, dan penggemar film klasik." Sempurna. Sesuai dengan semua kriteria yang ditetapkannya. Raya menekan tombol "Sukai" dengan jantung berdebar.
Tak lama kemudian, notifikasi muncul: "Liam menyukaimu kembali!" Chat box langsung aktif. Percakapan mereka mengalir deras seperti sungai. Mereka membahas segala hal, dari filosofi hidup hingga meme kucing. Raya merasa seperti menemukan belahan jiwanya. Liam mengerti lelucon-leluconnya yang aneh, menghargai kecerdasannya, dan bahkan tahu nama semua karakter pendukung dalam serial TV favoritnya.
"Kita harus bertemu," tulis Liam suatu malam. "Aku ingin melihat apakah senyummu seindah yang kubayangkan."
Raya menggigit bibirnya. Perasaan gugup dan gembira bercampur aduk. Inilah yang dia inginkan, bukan? Sebuah hubungan yang dibangun di atas fondasi kesamaan dan pemahaman. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal. Selama ini, mereka hanya berinteraksi melalui layar. Apakah percikan itu akan tetap ada di dunia nyata?
"Baiklah," balasnya, mencoba menyembunyikan keraguannya. "Bagaimana kalau hari Sabtu di kafe 'Senja'?"
Hari Sabtu tiba dengan begitu cepat. Raya menghabiskan berjam-jam untuk memilih pakaian yang tepat, menata rambutnya, dan memastikan tidak ada noda kopi di giginya. Saat dia tiba di kafe, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang.
Liam sudah duduk di meja dekat jendela, mengenakan jaket kulit dan tersenyum padanya. Raya berusaha menarik napas dalam-dalam dan berjalan mendekat.
"Raya?" tanya Liam, suaranya lebih rendah dari yang dia bayangkan.
"Liam," jawab Raya, mencoba tersenyum dengan natural.
Awalnya, semua berjalan baik. Mereka memesan kopi, membahas cuaca, dan bertukar pandang. Namun, seiring berjalannya waktu, keheningan mulai terasa canggung. Lelucon-lelucon yang dulu membuat mereka tertawa terbahak-bahak di dunia maya kini terasa hambar. Topik pembicaraan yang mengalir deras di chat box kini tersendat-sendat.
Raya memperhatikan detail-detail yang tidak terungkap di profil Liam. Cara dia menggigit kuku, kebiasaannya memainkan rambut, dan tatapannya yang tampak sedikit kosong saat tidak berbicara. Liam, di sisi lain, mungkin menyadari bahwa Raya lebih canggung dan pendiam dari yang dia bayangkan. Bahwa dia bukan sosok periang dan cerdas yang muncul di setiap pesannya.
"Jadi," kata Liam, memecah keheningan. "Kau masih mengerjakan proyek AI untuk pengenalan wajah?"
Raya mengangguk. "Ya, masih banyak bug yang harus diperbaiki."
"Menarik," balas Liam, terdengar kurang antusias. Dia kemudian beralih ke ponselnya, berpura-pura membaca notifikasi.
Raya merasa seperti karakter figuran dalam film yang salah. Dia dan Liam, yang dulunya terasa begitu dekat, kini terpisahkan oleh jurang yang tak kasat mata. Aplikasi "Soulmate AI" telah berhasil menciptakan ilusi kesempurnaan, tapi gagal menjembatani perbedaan antara dunia digital dan dunia nyata.
Mereka menghabiskan satu jam berikutnya dalam keheningan yang menyakitkan. Sesekali, mereka bertukar obrolan basa-basi, tapi tidak ada percikan, tidak ada keajaiban, hanya kekecewaan. Saat Liam menawarkan untuk mengantarnya pulang, Raya menolak dengan halus.
"Aku akan naik taksi saja," katanya. "Terima kasih."
Di dalam taksi, Raya menatap layar ponselnya. Chat box dengan Liam masih terbuka, dipenuhi dengan ratusan pesan yang penuh dengan tawa dan keintiman. Dia menarik napas panjang dan menghapus semua percakapan itu.
Mungkin, pikirnya, algoritma bisa membantu menemukan kesamaan, tapi tidak bisa menciptakan koneksi yang sebenarnya. Cinta membutuhkan lebih dari sekadar data dan kecocokan. Cinta membutuhkan keberanian untuk menerima kekurangan, untuk merangkul ketidaksempurnaan, dan untuk terhubung secara emosional di dunia yang nyata, bukan hanya di layar.
Raya membuka aplikasi "Soulmate AI" dan menonaktifkan akunnya. Dia kemudian menutup matanya, membiarkan malam dan kesunyian menyelimutinya. Mungkin, dia akan mencoba cara yang lama, cara yang lebih organik. Cara yang melibatkan bertemu orang di dunia nyata, tanpa filter, tanpa algoritma, hanya dengan kejujuran dan keberanian untuk menjadi dirinya sendiri. Mungkin, hanya mungkin, di sanalah dia akan menemukan cinta yang sejati.