Hati Beta: Cinta diuji, Algoritma Jadi Saksi?

Dipublikasikan pada: 10 Dec 2025 - 00:40:21 wib
Dibaca: 117 kali
Layar laptop Beta memantulkan cahaya rembulan yang menyelinap masuk melalui celah gorden. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, menulis baris demi baris kode. Fokusnya terpecah, antara menyelesaikan algoritma pencarian jodoh buatannya – Hati Beta – dan pesan terakhir dari Ara, kekasihnya.

“Beta, kita perlu bicara.”

Kalimat itu menggantung di udara, terasa lebih berat dari ribuan baris kode yang sedang ia susun. Ia tahu, nada bicara Ara selalu berubah drastis ketika ada masalah. Biasanya ceria dan penuh semangat, kini datar dan dingin.

Hati Beta adalah proyek idealisnya. Ia ingin menciptakan sebuah aplikasi yang tidak hanya mencocokkan preferensi dangkal seperti hobi dan makanan favorit, tetapi juga menganalisis kepribadian, nilai-nilai, dan tujuan hidup seseorang. Ia percaya, cinta sejati itu lebih dari sekadar ketertarikan fisik, melainkan resonansi jiwa. Ironisnya, di saat ia sibuk mencari formula cinta untuk orang lain, cintanya sendiri justru di ambang kehancuran.

Pertemuan mereka selanjutnya di sebuah kafe yang terletak di jantung kota. Ara sudah duduk di sana, menunggu. Wajahnya yang biasanya cerah, kini tampak muram. Beta menarik kursi dan duduk di hadapannya, jantungnya berdebar kencang.

“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Beta, berusaha terdengar tenang.

Ara menghela napas panjang. “Beta, aku rasa kita sudah tidak sejalan.”

Kata-kata itu menghantam Beta bagai palu godam. Ia membeku, tak mampu berkata apa pun.

“Kamu terlalu sibuk dengan Hati Beta. Kamu lupa, ada aku di sini. Dulu, setiap malam kita membahas mimpi-mimpi kita, sekarang, kamu hanya bicara tentang algoritma dan tingkat akurasi.” Ara menatap Beta dengan mata berkaca-kaca. “Aku merasa diabaikan, Beta. Aku merasa kamu lebih mencintai kode-kodemu daripada aku.”

Beta mencoba membela diri. “Ara, bukan begitu. Aku hanya ingin menciptakan sesuatu yang bermanfaat. Aku ingin orang lain merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang aku rasakan bersamamu.”

“Tapi kamu lupa, Beta. Kebahagiaan itu butuh perhatian, butuh waktu, butuh kehadiran. Kamu memberikan semuanya itu pada Hati Beta, bukan padaku.”

Perdebatan itu berlangsung panjang, dipenuhi dengan tuduhan, pembelaan, dan air mata. Pada akhirnya, keputusan Ara sudah bulat. Ia merasa tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini.

Beta pulang ke apartemennya dengan perasaan hancur. Hati Beta, aplikasi yang seharusnya membawa kebahagiaan bagi orang lain, justru menjadi penyebab kesedihannya sendiri. Ia menatap layar laptop yang masih menyala, kode-kode itu seolah mengejeknya.

Ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang gila. Ia memasukkan data dirinya dan Ara ke dalam Hati Beta. Ia ingin tahu, apakah algoritma buatannya sendiri akan membenarkan keputusan Ara.

Proses analisis memakan waktu beberapa menit. Beta menunggu dengan cemas, jantungnya berdegup kencang. Akhirnya, hasil keluar.

Tingkat kecocokan: 68%.

Beta terkejut. 68%? Bukankah itu angka yang cukup tinggi? Kenapa Ara merasa tidak cocok dengannya? Ia membaca detail analisisnya. Hati Beta menemukan bahwa mereka memiliki banyak kesamaan dalam nilai-nilai fundamental dan tujuan hidup. Namun, terdapat perbedaan signifikan dalam kebutuhan emosional dan cara mereka mengekspresikan cinta.

Ara membutuhkan perhatian dan validasi yang konstan, sementara Beta cenderung fokus pada pencapaian dan pemecahan masalah. Hati Beta menyimpulkan, meskipun mereka memiliki potensi untuk bahagia bersama, mereka perlu belajar untuk saling memahami dan memenuhi kebutuhan masing-masing.

Beta merenungkan hasil analisis tersebut. Hati Beta tidak sepenuhnya menyalahkan dirinya, juga tidak sepenuhnya menyalahkan Ara. Aplikasi itu hanya memberikan gambaran objektif tentang dinamika hubungan mereka.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. Ia menghubungi Ara dan memintanya untuk bertemu lagi.

“Ara, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu,” kata Beta, ketika mereka bertemu di kafe yang sama.

Ia membuka laptopnya dan menunjukkan hasil analisis Hati Beta. Ara menatap layar dengan bingung.

“Aku tahu ini mungkin terdengar aneh,” lanjut Beta, “tapi aku ingin kamu melihat ini. Hati Beta menunjukkan bahwa kita masih memiliki potensi untuk bahagia bersama. Tapi kita perlu berusaha lebih keras untuk saling memahami.”

Ara terdiam sejenak, lalu bertanya, “Kamu serius?”

“Serius, Ara. Aku tahu aku salah karena terlalu fokus pada Hati Beta. Aku janji, aku akan berusaha menjadi orang yang lebih baik. Aku akan memberikanmu perhatian yang kamu butuhkan. Aku akan belajar untuk lebih peka terhadap perasaanmu.”

Ara menatap Beta dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia ragu, tetapi ia juga melihat ketulusan di mata Beta.

“Aku tidak tahu, Beta,” kata Ara. “Aku butuh waktu untuk memikirkannya.”

“Aku mengerti, Ara. Aku akan menunggumu.”

Beberapa hari kemudian, Ara menghubungi Beta. Ia bersedia memberikan kesempatan kedua. Mereka sepakat untuk mengikuti konseling hubungan, dan Beta berjanji untuk meluangkan lebih banyak waktu untuk Ara.

Beta masih terus mengembangkan Hati Beta, tetapi kini ia melakukannya dengan perspektif yang berbeda. Ia sadar, teknologi hanyalah alat. Cinta yang sesungguhnya membutuhkan lebih dari sekadar algoritma. Ia membutuhkan hati yang terbuka, komunikasi yang jujur, dan komitmen yang kuat.

Beberapa bulan kemudian, Beta dan Ara terlihat bergandengan tangan, berjalan-jalan di taman. Mereka tertawa dan bercanda, seolah masalah di antara mereka tidak pernah ada. Hati Beta, aplikasi yang seharusnya menjadi saksi kehancuran cinta mereka, justru menjadi pengingat tentang pentingnya komunikasi dan pengertian dalam sebuah hubungan. Cinta mereka diuji, algoritma jadi saksi, dan pada akhirnya, cinta mereka menang. Beta belajar bahwa kode terbaik adalah kode yang ditulis dengan hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI