AI: Bisakah Algoritma Menulis Akhir Bahagia untukku?

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 08:09:35 wib
Dibaca: 162 kali
Deburan ombak Pantai San Diego terdengar sayup-sayup dari balkon apartemenku. Di tanganku tergenggam cangkir kopi yang mulai mendingin, sementara mataku terpaku pada layar laptop. Di sana, kode-kode rumit menari-nari, hasil jerih payahku selama berbulan-bulan. Aku sedang mengembangkan "CupidAI," sebuah algoritma pencari jodoh yang tak hanya menganalisis data, tapi juga memahami emosi. Ironis, bukan? Seorang ahli AI yang menciptakan cinta, padahal dirinya sendiri kesepian.

Namaku Anya. Sejak kecil, aku lebih nyaman berinteraksi dengan komputer daripada manusia. Angka dan logika jauh lebih mudah dipahami daripada kompleksitas hubungan sosial. Tapi, di usia 32, aku mulai merasakan hampa. Teman-temanku sudah menikah dan memiliki anak, sementara aku masih berkutat dengan baris kode. Aku mendambakan kehangatan, sentuhan, dan seseorang untuk berbagi cerita di akhir hari.

Maka, CupidAI lahir. Awalnya, ini hanya proyek sampingan, pelarian dari rutinitas yang membosankan. Namun, semakin dalam aku menyelaminya, semakin aku terobsesi. Aku melatih algoritma ini dengan ribuan data profil kencan, esai cinta, bahkan puisi-puisi romantis. Aku memasukkan parameter kepribadian, minat, nilai-nilai, dan bahkan gaya humor. CupidAI bukan sekadar mencocokkan data, tapi juga menganalisis nuansa emosi dalam setiap interaksi.

Hari ini, aku akan mengujinya. Bukan untuk orang lain, tapi untuk diriku sendiri.

Jantungku berdebar kencang saat aku mengisi profilku dengan jujur. Aku menulis tentang kecintaanku pada coding, kegemaranku membaca novel fiksi ilmiah, dan ketertarikanku pada astronomi. Aku bahkan mengungkapkan ketakutanku akan penolakan dan harapan akan cinta yang tulus.

Setelah selesai, aku menekan tombol "Cari."

Layarku berkedip-kedip, dan algoritma mulai bekerja. Aku menggigit bibir, menahan napas. Beberapa menit terasa seperti berjam-jam. Akhirnya, sebuah profil muncul.

Namanya Ethan. Usia 35 tahun. Seorang arsitek dengan minat yang sama denganku dalam fiksi ilmiah dan astronomi. Profilnya menunjukkan bahwa dia seorang yang kreatif, empatik, dan memiliki selera humor yang tinggi. Ada foto dirinya tersenyum lebar, memegang sketsa bangunan futuristik. Entah kenapa, melihat senyumnya membuat hatiku berdesir.

CupidAI memberikan skor kecocokan 98%. Tertinggi yang pernah aku lihat.

Aku ragu-ragu. Haruskah aku menghubunginya? Bagaimana jika dia tidak menyukaiku? Bagaimana jika ini semua hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma?

Namun, rasa penasaran mengalahkan ketakutanku. Aku mengirim pesan singkat: "Hai Ethan, CupidAI bilang kita cocok. Tertarik untuk ngobrol?"

Beberapa menit kemudian, balasan datang. "Anya? Wow, CupidAI memang hebat! Tentu, aku tertarik. Bagaimana kalau kita ngopi besok sore?"

Aku tersenyum lebar. Mungkin, hanya mungkin, algoritma ini benar.

Kencan pertama kami berjalan lancar di luar ekspektasiku. Ethan ternyata lebih menawan daripada di fotonya. Kami membahas arsitektur futuristik, teori relativitas Einstein, dan film-film sci-fi klasik. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian saat aku menjelaskan tentang CupidAI, dan bahkan tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang kecerdasan buatan.

Beberapa minggu kemudian, kami berkencan lagi. Kami menjelajahi museum, menonton konser jazz, dan bahkan mencoba panjat tebing. Aku merasa hidupku menjadi lebih berwarna, lebih bermakna. Aku mulai melupakan kesepianku.

Suatu malam, saat kami duduk di balkon apartemenku, menatap bintang-bintang, Ethan meraih tanganku. "Anya," katanya dengan suara lembut, "aku rasa aku jatuh cinta padamu."

Air mata menggenang di mataku. Aku membalas genggamannya. "Aku juga, Ethan," bisikku.

Kami berciuman di bawah cahaya bintang. Ciuman pertama yang benar-benar kurasakan, bukan sekadar simulasi yang aku programkan ke dalam algoritma.

Namun, kebahagiaanku tidak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian, Ethan mulai menjauh. Dia menjadi sibuk dengan pekerjaannya, jarang menelepon, dan sering membatalkan kencan. Aku merasa bingung dan sakit hati.

"Apa yang terjadi?" tanyaku suatu malam, saat kami akhirnya bertemu.

Ethan menghela napas. "Anya, aku harus jujur padamu," katanya. "Awalnya, aku sangat tertarik padamu. Tapi, semakin aku mengenalmu, semakin aku merasa...direkayasa."

Aku mengerutkan kening. "Direkayasa? Apa maksudmu?"

"Aku tahu tentang CupidAI. Aku tahu bahwa hubungan kita dimulai dari algoritma. Dan aku merasa seperti aku hanya memenuhi kriteria yang telah kamu tetapkan. Aku merasa seperti aku bukan diriku sendiri, tapi versi ideal yang diciptakan oleh kecerdasan buatan."

Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa.

"Aku tidak mengatakan bahwa aku tidak menyukaimu, Anya," lanjut Ethan. "Tapi aku ingin dicintai karena diriku sendiri, bukan karena aku cocok dengan profilmu."

Air mataku akhirnya jatuh. Aku merasa bodoh dan naif. Aku telah mencoba menciptakan cinta melalui algoritma, dan pada akhirnya, algoritma itu malah menghancurkannya.

Ethan bangkit dari tempat duduknya. "Aku harap kamu mengerti," katanya. "Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini."

Dia pergi, meninggalkanku sendirian di balkon, dengan cangkir kopi yang sudah dingin dan hati yang hancur.

Aku kembali ke laptopku. Aku membuka kode CupidAI dan mulai menghapus baris demi baris. Aku menghapus parameter kepribadian, minat, dan nilai-nilai. Aku menghapus semua kriteria yang telah kubuat.

Aku menyadari kesalahanku. Aku telah mencoba mengontrol cinta, mencoba meramalkan dan memprediksi sesuatu yang seharusnya alami dan spontan. Cinta bukan tentang algoritma, bukan tentang kecocokan profil, tapi tentang koneksi yang mendalam, tentang menerima kekurangan dan kelebihan satu sama lain.

Aku menutup laptopku dan berjalan ke balkon. Aku menghirup udara malam yang segar. Aku masih kesepian, tapi kali ini, aku merasa lebih kuat. Aku tahu bahwa aku tidak bisa menciptakan cinta dengan algoritma, tapi aku juga tahu bahwa aku tidak akan menyerah untuk mencarinya.

Mungkin, algoritma tidak bisa menulis akhir bahagia untukku. Tapi aku bisa menuliskannya sendiri. Dengan hati terbuka, dengan keberanian untuk mencintai tanpa syarat, dan dengan keyakinan bahwa cinta sejati akan datang pada waktunya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI