Jemari Anya menari di atas keyboard virtual. Layar holografik di hadapannya menampilkan baris kode yang rumit, labirin logika yang seharusnya memprediksi kecocokan cinta, tapi justru membawanya ke persimpangan tak terduga. Di sinilah dia, di apartemen studio minimalisnya yang didominasi warna abu-abu dan putih, di tengah malam yang sunyi, mempertimbangkan pertanyaan eksistensial yang dibungkus dalam algoritma: hapus aku, atau aku hapus kamu?
Pertanyaan ini muncul dari sistem "Soulmate 3.0", ciptaannya sendiri. Soulmate 3.0 bukan aplikasi kencan biasa. Ia menganalisis riwayat digital seseorang secara mendalam – unggahan media sosial, kebiasaan belanja daring, bahkan pola pikir yang terpancar dari tulisan – lalu mencocokkannya dengan profil pengguna lain, mencari resonansi sempurna. Anya, seorang jenius algoritma yang kerap disebut "Dewi Cinta Digital", telah menciptakan sesuatu yang, ironisnya, mengancam cintanya sendiri.
Masalahnya terletak pada Adrian, pria yang selama ini ia yakini sebagai belahan jiwanya. Mereka bertemu lewat Soulmate 1.0, versi primitif dari ciptaannya. Saat itu, algoritma hanya mempertimbangkan minat dan hobi yang sama. Mereka sama-sama menyukai film klasik, mendengarkan jazz era 1950-an, dan memiliki pandangan idealis tentang dunia. Chemistry mereka nyata, hangat, dan organik. Anya jatuh cinta pada Adrian yang cerdas, humoris, dan penuh perhatian.
Namun, seiring Anya mengembangkan Soulmate 3.0, ia semakin terpapar pada kompleksitas cinta sejati. Algoritma terbarunya tidak hanya mencari kesamaan, tapi juga mempertimbangkan potensi konflik, cara menyelesaikan masalah, dan bahkan ketakutan terpendam. Ketika ia memasukkan datanya dan data Adrian ke dalam Soulmate 3.0, hasilnya mengejutkan. Algoritma memberi mereka skor kompatibilitas 68%. Angka yang, dalam dunia Soulmate 3.0, berarti "cukup baik, tapi berpotensi menimbulkan kekecewaan di masa depan."
Yang lebih mengganggu, algoritma itu kemudian menawarkan dua pilihan ekstrem: "Optimalisasi Konflik" atau "Terminasi Hubungan". Optimalisasi Konflik akan secara agresif mengintervensi hubungan mereka, menyarankan perubahan perilaku, memberikan latihan komunikasi, dan bahkan, jika perlu, memicu pertengkaran kecil yang terkontrol untuk mempercepat proses adaptasi. Pilihan kedua, Terminasi Hubungan, terasa lebih kejam. Ia akan menghapus semua jejak digital hubungan mereka – foto, pesan, bahkan kenangan yang disimpan di cloud pribadi mereka. Seolah-olah mereka tidak pernah ada.
Anya terguncang. Ia menolak mempercayai algoritma. Cinta mereka terlalu nyata untuk direduksi menjadi angka dan pilihan biner. Namun, keraguan mulai merayap masuk. Ia melihat celah-celah kecil dalam hubungan mereka yang sebelumnya tidak ia perhatikan. Adrian terkadang bersikap keras kepala, Anya cenderung menghindar dari konflik. Apakah Soulmate 3.0 benar? Apakah mereka ditakdirkan untuk berpisah?
Pilihan "Hapus Aku, Atau Aku Hapus Kamu?" muncul sebagai puncak dari dilemma ini. Algoritma mengusulkan scenario di mana salah satu dari mereka secara sukarela menghapus diri dari sistem Soulmate 3.0, dengan konsekuensi semua data mereka, termasuk riwayat hubungan dengan yang lain, dihapus permanen. Ini berarti, Anya harus memilih: menghapus datanya, dan melupakan Adrian sepenuhnya, atau menghapus data Adrian, dan membiarkannya melupakannya.
Anya merasakan sakit di dadanya. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Adrian. Tapi, di sisi lain, ia juga takut akan potensi kekecewaan di masa depan. Apakah lebih baik mengakhiri semuanya sekarang, sebelum luka semakin dalam?
Ia menghabiskan berjam-jam berikutnya menatap layar, membaca kembali riwayat percakapan mereka, melihat foto-foto mereka yang penuh tawa. Ia mengingat kencan pertama mereka di museum seni modern, ciuman pertama mereka di bawah lampu jalan yang remang-remang, percakapan mereka tentang mimpi dan harapan. Kenangan-kenangan itu terasa begitu berharga, begitu nyata.
Tiba-tiba, Anya menyadari sesuatu. Algoritma memang pintar, tapi ia tidak memiliki esensi dari cinta sejati: pilihan. Cinta bukan sekadar resonansi sempurna, tapi juga komitmen untuk menghadapi ketidaksempurnaan bersama. Cinta adalah memilih untuk tetap bersama, bahkan ketika algoritma menyuruhmu untuk pergi.
Anya tersenyum. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan tekad baru, ia mengetikkan kode terakhir, menonaktifkan pilihan "Optimalisasi Konflik" dan "Terminasi Hubungan" di Soulmate 3.0. Ia kemudian menambahkan baris kode yang sama sekali baru: "Algoritma tidak memiliki hak untuk menentukan masa depan cinta. Cinta adalah pilihan manusia."
Ia kemudian berdiri, meninggalkan komputernya, dan berjalan ke balkon. Udara malam terasa dingin di kulitnya. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Adrian.
"Hai," sapa Anya, suaranya sedikit bergetar.
"Hai, Sayang. Ada apa? Kau terdengar aneh," jawab Adrian dengan nada khawatir.
"Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu," kata Anya. "Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu, Anya. Selalu."
Anya menarik napas dalam-dalam. "Dan aku memilihmu. Aku memilih kita. Terlepas dari apa yang dikatakan algoritma."
Di ujung sana, Adrian terdiam sejenak. Lalu, ia tertawa pelan. "Aku tahu itu. Aku selalu tahu itu. Kita lebih kuat dari algoritma apa pun."
Anya tersenyum lebar. Malam itu, di bawah langit yang bertaburan bintang, ia merasa lebih yakin dari sebelumnya. Algoritma bisa memprediksi, menganalisis, dan bahkan mencoba memanipulasi cinta. Tapi ia tidak bisa menciptakan atau menghancurkannya. Cinta adalah sesuatu yang jauh lebih kuat, sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh hati manusia. Dan hati Anya telah memilih. Ia telah memilih Adrian. Dan ia akan terus memilihnya, setiap hari.