Aplikasi Algoritma Jodoh berkedip-kedip di layar ponsel Anya, memamerkan deretan wajah dan profil yang menurut sistem "paling cocok" dengannya. Anya mendengus. "Cocok" dalam parameter apa? Kesamaan hobi lari pagi dan menyukai kopi tanpa gula? Atau algoritma rumit yang menimbang-nimbang preferensi berdasarkan riwayat pencarian online dan postingan media sosialnya?
Ia sudah setahun menggunakan aplikasi itu, mengikuti saran sepupunya, Rina, yang meyakini kekuatan algoritma dalam menemukan cinta sejati. "Anya, zaman sekarang cari jodoh bukan lagi kayak nyari jarum di tumpukan jerami. Ada teknologi! Manfaatkan!" kata Rina waktu itu, matanya berbinar penuh semangat.
Namun, hasilnya nihil. Puluhan kencan buta, percakapan membosankan tentang pekerjaan dan cuaca, serta senyum dipaksakan demi menyenangkan algoritma. Semuanya terasa hampa. Ia merindukan sentuhan manusiawi, kejutan tak terduga, dan percakapan yang mengalir begitu saja tanpa dipandu data.
Malam itu, Anya memutuskan untuk menghapus aplikasi Algoritma Jodoh. Jari telunjuknya melayang di atas ikon aplikasi, ragu. Bagaimana jika Rina benar? Bagaimana jika ia melewatkan kesempatan menemukan "belahan jiwa" yang sempurna, yang telah dihitung secara matematis untuknya?
Tiba-tiba, notifikasi muncul. Sebuah pesan dari pengguna bernama "Arjuna_Pixel". Anya jarang membaca pesan dari aplikasi itu, biasanya langsung menghapus dan menunggu "kecocokan" baru muncul. Namun, ada sesuatu dalam nama pengguna itu yang menarik perhatiannya.
"Hai, Anya. Saya tahu kita 'cocok' menurut algoritma, tapi saya lebih tertarik dengan foto kamu yang sedang membaca buku Neil Gaiman di taman. Apa kamu juga penggemar 'American Gods'?"
Jantung Anya berdegup lebih kencang. Neil Gaiman? American Gods? Seseorang yang tertarik dengan bacaannya, bukan hanya hobi larinya? Ini terlalu bagus untuk menjadi kenyataan.
Ia membalas, "Hai, Arjuna_Pixel. Ya, saya sangat menyukai 'American Gods'. Bagaimana kamu bisa tahu?"
Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Mereka membahas karakter favorit, teori-teori tentang mitologi modern, dan impian-impian yang belum terwujud. Anya merasa terhubung dengan Arjuna_Pixel dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ini bukan hanya tentang data dan algoritma. Ini tentang minat yang sama, pikiran yang selaras, dan humor yang saling melengkapi.
Keesokan harinya, mereka memutuskan untuk bertemu di taman yang sama tempat Anya membaca buku Neil Gaiman. Arjuna_Pixel ternyata seorang pria bernama Ardi, seorang programmer yang juga skeptis terhadap kekuatan algoritma dalam percintaan.
"Saya membuat akun Algoritma Jodoh karena penasaran," kata Ardi sambil tersenyum malu. "Saya ingin membuktikan bahwa cinta tidak bisa dihitung. Tapi, ternyata, aplikasi itu justru mengantarkan saya padamu."
Anya tertawa. "Ironis sekali. Kita bertemu karena algoritma, tapi terhubung karena sesuatu yang lebih dalam."
Mereka menghabiskan sore itu berjalan-jalan di taman, berbicara tentang segala hal dan tidak sama sekali. Anya merasa nyaman berada di dekat Ardi, seolah mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Tidak ada kecanggungan, tidak ada paksaan. Semuanya terasa alami dan spontan.
Beberapa minggu kemudian, Anya dan Ardi semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, dan berbagi cerita tentang masa lalu. Anya mulai menyadari bahwa cinta sejati bukanlah tentang menemukan seseorang yang "sempurna" menurut algoritma, tetapi tentang menemukan seseorang yang menerima dirinya apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di balkon apartemen Ardi, menatap bintang-bintang, Ardi menggenggam tangan Anya.
"Anya," katanya lembut, "Saya tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi saya ingin jujur padamu. Aku jatuh cinta padamu."
Anya menatap mata Ardi, merasakan kehangatan dan ketulusan yang terpancar darinya. "Aku juga, Ardi," jawabnya. "Aku juga jatuh cinta padamu."
Mereka berciuman, di bawah cahaya bintang-bintang. Ciuman yang bukan hasil perhitungan algoritma, tetapi lahir dari rasa cinta yang tulus dan mendalam.
Anya masih menggunakan ponselnya, tetapi ia sudah menghapus aplikasi Algoritma Jodoh. Ia tidak lagi membutuhkan data dan rumus untuk menemukan cinta. Ia telah menemukannya dalam diri Ardi, seorang pria yang memahami dirinya lebih dari sekadar preferensi online dan riwayat pencarian.
Anya menyadari bahwa algoritma bisa saja membantu menemukan seseorang dengan minat yang sama, tetapi hati manusia terlalu kompleks untuk diprediksi atau dikendalikan oleh kode-kode rumit. Cinta adalah misteri yang tidak bisa dipecahkan, sebuah keajaiban yang tidak bisa dihitung. Dan terkadang, keajaiban itu muncul di tempat yang paling tidak terduga, bahkan melalui sebuah aplikasi yang awalnya ia skeptis.
Ia tersenyum, menatap Ardi yang sedang memeluknya. Hati tidak bisa dilogaritma, pikirnya. Hati hanya bisa dirasakan. Dan ia merasakan cinta yang tulus dan mendalam bersama Ardi, cinta yang tidak membutuhkan algoritma untuk membuktikannya.